Oleh: Rudi Hartono
Kelompok Cipayung lahir dari sebuah diskusi bertema “Indonesia yang Kita Cita-Citakan”. Ada empat ormas pemuda yang menyelenggarakan diskusi pada tanggal 19-22 Januari 1972 itu di Cipayung, Puncak, Jawa Barat. Sejumlah tokoh diundang, antara lain, Emil Salim yang membahas masalah pembangunan dan TB Simatupang (kini almarhum) yang berbicara masalah politik. Pertemuan itu kemudian menghasilkan kesepakatan terbentuknya “Kelompok Cipayung”. Kesepakatan tersebut ditanda-tangani oleh pimpinan keempat organisasi itu, yakni Akbar Tanjung (HMI, kini Menteri Perumahan Rakyat), Soerjadi (GMNI, Ketua Umum PDI versi Kongres Medan), Chris Siner Key Timu (PMKRI, tokoh Petisi 50) dan Binsar Sianipar (GMKI).
Dorongan kuat lahirnya Kelompok Cipayung ini adalah banyaknya ketimpangan yang terjadi. Korupsi yang meluas, yang kemudian melahirkan Komite Anti Korupsi pada akhir tahun 1971. Empat organisasi ini ketika itu terkenal karena sebuah pernyataan keprihatinan yang dikeluarkan 10 Januari 1972. Di tahun itu juga Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bergabung dengan kelompok tersebut.
Dalam perkembangannya, seiring dengan politik Floating Mass(Massa mengambang) kelompok gerakan mahasiswa cipayung ini semakin terfragmentasikan dalam alur elit-elit politik yang notabene senior-senior mereka. Kendati, muara dari konsolidasi elit pada masa itu berada di bawah rejim Orde baru, namun bentuk persatuan kelompok Cipayung ini hanya diatas kertas, tetapi di lapangan praktek berjalan sendiri-sendiri. Beberapa tokohnya terutama dari Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam(HMI) seperti Akbar Tanjung dan Abdul Gafur masuk dalam pemerintahan.
Dari Gerakan Kritik hingga Menjadi Pendukung Orde Baru
Tidak bisa di nafikan, kemunculan kelompok ini adalah situasi politik yang semakin menunjukkan merebaknya korupsi di kalangan pemerintahan Orde baru. Beberapa tokoh yang tergabung dalam eskpone cipayung seperti Ahmad Wahid (HMI) sangat getol dalam mengkritik rejim Orde baru dan menyalahkan orientasi gerakan mahasiswa. Namun, Orde baru tidak tinggal diam, Pemberlakuan NKK/BKK mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi). Organisasi mahasiswa intra-kampus, yakni Dewan Mahasiswa (DEMA DM) yang banyak memegang peranan dalam mobilisasi-mobilisasi massa mahasiswa di bekukan.
Niat Orde Baru membekukan gerakan mahasiswa tidak main-main, Dengan mendasarkan pada konsep Ali Murtopo, penasihat khusus Soeharto dalam bidang intelejen, mengepalai unit Operasi Chusus (Opsus) selama beberapa tahun, memegang posisi sebagai Ajudan Pribadi Presiden selama hampir 10 tahun dan kemudian menjadi Menteri Penerangan pada masa pemerintahan Soeharto. Di dalam bukunya “25 Tahun Akselerasi Modernisasi Pembangunan”, terdapat gagasan-gagasan “Floating Mass”. Inti dari konsep tersebut adalah gagasan ”massa mengambang”. Konsep ini mengharuskan kehidupan politik kampus harus jauh dari persoalan-persoalan politik, organisasi mahasiswa harus di satukan dalam payung untuk mendukung program pembangunan nasional Orde Baru.
Pada saat Pemberlakuan Azas tunggal “Pancasila”, kelompok Cipayung di haruskan oleh senior-seniornya yang ada didalam pemerintahan, untuk menjadi pelopor penggunaan Azas tunggal. Di HMI, Kabarnya, Menpora Abdul Gafur (waktu itu) berpesan “wanti-wanti” agar HMI menjadi pelopor penerimaan azas tunggal Pancasila. Menjelang Kongres HMI ke-16 di Padang pada tahun 1986, Gafur menegaskan,”Pokoknya HMI harus menerimanya. Jangan ditawar lagi.” Praktis, persoalan asas tunggal Pancasila itu memecah dua tubuh HMI. Bahkan, sehari menjelang kongres, terbentuklah apa yang dinamakan Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) — yang menolak asas tunggal — dan dipelopori oleh sembilan cabang, antara lain Jakarta , Bandung , Yogyakarta , dan Ujungpandang. Disamping “menguasasi” kantor pusat PB HMI di Jalan Diponegoro, mereka juga membuat pernyataan tidak mengakui kepemimpinan Ketua Umum PB HMI Harry Azhar Aziz.
Menjelang Akhir tahun 1980-an keberadaan kelompok Cipayung sudah tidak terdengar lagi elang pergerakannya. Malah, di pemerintahan dan Parlemen, tokoh-tokoh mahasiswa dari kelompok Cipayung mendominasi. Tentu saja, situasi ini mempersulit posisi mereka dalam mengkritik rejim Orde Baru dan memang mereka memilih untuk patuh pada rejim orde baru. Kehidupan kampus hanya di isi dengan kegiatan-kegiatan mahasiswa non politik, seperti olahraga dan kesenian. Bahkan muncul organisasi mahasiswa semi-militer yakni Resimen Mahasiswa(MENWA), penggemblengannya lansung dalam penanganan orang militer aktif.
Tergilas Oleh Sejarah, Atau Merubah Diri
Gerakan Mahasiswa tahun 1998, telah menjadi inspirasi baru bagi kebangkitan kembali gerakan mahasiswa Indonesia . Keberhasilan gerakan mahasiswa yang notabene hanya kurang dari 2 % dari populasi Indonesia , telah memberikan gemblengan semangat baru bagi gerakan mahasiswa. Namun, dalam proses perjuangan ini, keberadaan organisasi mahasiswa dari kelompok Cipayung sangat minimal perananannya. Kepemimpinan gerakan justru di tangan kelompok baru di gerakan mahasiswa yakni kelompok radikal yang kebanyakan berbentuk komite aksi seperti Forum Kota, Komite Aksi Mahasiswa-Rakyat(KOMRAD—cikal bakal LMND), KB-UI (LMND), Front Aksi Mahasiswa dan Rakyat Untuk Demokrasi(FAMRED), Forbes, dan lain-lain.
Keberadaan kelompok radikal ini sangat mencolok, dengan keberaniannya dalam menantang rejim Orde baru. Dalam tataran konsep pergerakan, konsep mereka lebih Asli(genuine) dan lebih konfrehensif ketimbang konsep dari kelompok lama (Cipayung). Bahkan, realitas bahwa kelompok Cipayung terlibat dalam persekutuan dengan rejim Orde Baru lewat senior-senior mereka semakin menurunkan apresiasi massa Mahasiswa terhadap kelompok Cipayung. Dalam hal metode perjuangan pun sangat menonjol perbedaannya; kelompok radikal kokoh menggunakan metode perjuangan aksi massa sebagai metode perjuangannya, sedangkan kelompok Cipayung menekankan lobby-lobby politik, dan jalur kompromi dengan elit politik sebagai alat perjuangannya.
Meski masih memiliki pendukung dan basis massa , namun eksistensi kelompok Cipayung semakin kehilangan wibawa di tengah-tengah Gerakan Mahasiswa. Masih adanya dukungan dan perekrutan tidak lebih karena posisi politik dan metode mereka yang sangat moderat sehingga meminimalkan refresi dari negara maupun pihak Universitas. Pendapat Victor Tanja, pendeta yang menulis disertasi soal HMI, menarik disimak. Kedekatan HMI dengan pemerintah, juga dengan ABRI, kata Victor adalah konsekuensi dari sejarah berdirinya HMI. Jika ormas pemuda yang lain berdiri pasca perang kemerdekaan, HMI justru berdiri ketika republik bergolak. Dan sekarang ini, menurut Tanja, HMI melihat apa yang dilakukan pemerintah sekarang ini dengan memberikan tempat “terbaik” untuk Islam, sudah sesuai dengan apa yang dicita-citakan HMI: Sebuah Indonesia yang pro Islam, meskipun bukan negara Islam. Banyaknya anggota HMI dan umat Islam di kabinet dan pemerintahan adalah bukti bahwa pemerintah memang mengakomodasi Islam, khususnya HMI (Lihat wawancara Victor Tanja: “Orde Baru Sesuai Dengan Cita-Cita HMI”). Sedangkan Nurcholis Madjid, Mantan ketua umum PB-HMI, menilai bahwa sikap HMI sekarang masih ambivalensi terhadap pemerntah, sama halnya dengan sikap yang di tunjukkan oleh banyak seniornya di ICMI.
Saat ini, Organisasi mahasiswa kelompok Cipayung berhadapan dengan situasi ekonomi-politik baru. Pertama formasi ekonomi neoliberal yang menempatkan dominasi lansung pemilik modal asing terhadap kekayaan alam negara kita. Keberadaan borjuasi nasional setidaknya beralih sekedar makelar, sedangkan Orde baru dan kroninya mulai tersingkir dari gelanggang. Hal ini mempengaruhi fragmentasi kedekatan ormas Cipayung dengan seniornya yang juga terfragmentasikan dalam berbagai kelompok politik dan partai politik. Kedua liberalisasi politik (meskipun dalam batasan tertentu) telah membuka ruang bagi munculnya begitu banyak organisasi massa termasuk di gerakan mahasiswa. Di mahasiswa setidaknya ada beberapa kelompok gerakan mahasiswa demokratik yang memiliki jaringan nasional yang signifikan yakni Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi(LMND) yang meliputi 23 propinsi dan 53 Kota di seluruh Indonesia, front Perjuangan Pemuda Indonesia(FPPI) yang jaringannya Jogjakarta, Jombang, dan Mataram, ada Front Mahasiswa Nasional(FMN) yang jaringannya di jogjakarta, Lampung, medan, jawa barat, Palu, dan NTB. Selain itu, Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) yang merupakan gabungan komite aksi di semarang , Jakarta , Jogjakarta . Kalau organisasi cipayung tidak berbenah diri, maka tentunya mereka akan tergilas oleh sejarah.***
Penulis adalah Ketua 1 EN Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)