Poster diskusi HMI Komisariat Fisipol UGM di Kampus |
EVALUASI ATAU BUBARKAN DENSUS 88
Kasus tewasnya
Siyono (34 Tahun), Warga Klaten, jawa Tengah, oleh Detasemen khusus 88
antiteror (Densus 88) menyita perhatian publik. Kronologinya sebelum tewas
Siyono dijemput oleh tiga petugas densus 88 pada selasa (8/3), esoknya (9/3)
densus 88 menggeledah tempat tinggal siyono yang juga merupakan lokasi TK
Roudhatul Athfal Terpadu Amanah Ummah saat jam pelajaran, hal tersebut
menyebabkan kepanikan dari murid-murid TK yang masih dibawah umur. Polisi
meminta Siyono menunjukkan lokasi tempat penyimpanan senjata api yang ternyata
tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Kemudian Siyono dibawa pergi dan
dikembalikan keadaan sudah meninggal. Kabarnya karena Siyono melakukan
perlawanan di dalam mobil sehingga terjadi perkelahian yang menyebabkan ia
tewas.
Keluarga Siyono
meminta polisi melakukan otopsi forensik karena berdasarkan pengamatan dari
kuasa hukum keluarga Siyono, Sri Kalono, pihaknya menemukan banyak kejanggalan
pada kondisi jenazah Almarhum Siyono. Bahkan Sri Kalono menungkapkan hingga pemakaman
Almarhum pada ahad (13/3) dini hari, keluarganya belum menerima surat
keterangan kematian dari institusi yang bersangkutan.
Menanggapi isu
yang berkembang di masyarakat, menurut berita yang dilansir Republika pada (15/3) pihak mabes Polri mengakui ada kelalaian petugas yang berujung pada
kematian Siyono. Bukan kali ini saja Densus 88 melakukan proses penangkapan dan
tindakan yang melanggar HAM. Data yang
dilansir oleh Kontras menyatakan bahwa sejak awal pendiriannya densus 88 telah
melakukan banyak pelanggaran hukum.
Kontras mencatatnya dalam rilis “Potret Buram Densus 88”. Beberapa
dugaan pelanggaran hukum dan HAM yang kerap dilakukan oleh kesatuan ini antara
lain, Satu, penggunaan kekuatan berlebih (excessive Use Force) yang
mengakibatkan tewasnya si tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman dan
tenang di masyarakat. kedua, penembakan salah sasaran (shooting innocent
civillians). Ketiga, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
Keempat, penangkapan dan penahanan paksa serta salah tangkap.
Pada tahun 2013 saja Kontras mencatat telah terjadi 93 peristiwa
kekerasan dalam memberantas tindak terorisme oleh anggota densus 88, pada
agustus 2013 densus 88 sudah mengakibatkan 201 orang tewas tanpa pernah diadili.
Data dari Komnas HAM sudah ada 118 Orang terduga teroris yang tewas sampai hari
ini tanpa pernah disidangkan.
Tuntutan
Semua pihak menuntut kepada pemerintah untuk segera dilakukan
evaluasi terhadap densus 88, tidak hanya itu, anggarannya pun harus di audit
total. Hal ini menjadi kontra prestasi terhadap tuntutan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan
Luhut Binsar Panjaitan yang meminta dukungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk penambahan sarana prasarana dan anggaran bagi Densus 88 antiteror
(antaranews.com).
Analisa secara yuridis, pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan
oleh densus 88, diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya, tidak ada
mekanisme evaluasi terhadap standar operasional prosedur (SOP) yang memberi kewenangan
terhadap densus 88 dalam melakukan kontak senjata.
Kedua, terdapat kelemahan mendasar dalam UU tentang terorisme Nomor
15 tahun 2003, dimana definisi terorisme sangat luas (lihat pasal 6 dan 7)
menjadi ancaman terhadap kebebasan sipil dan politik (pasal 26) ancaman terhadap
kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat dimuka umum (pasal 20) dan
keterlibatan aktor intelejen dalam proses hukum.
Ketiga, mengakibatkan seseorang
meninggal dunia tanpa proses hukum merupakan pelanggaran terhadap hak untuk
hidup sebagaimana amanat Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Keempat sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Kapolri 23 tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana
Terorisme Bab IV ayat 3 yang berbunyi: penindakan yang menyebabkan
matinya Seseorang/Tersangka harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Dari berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Densus 88 maka wajarlah
berkembang opini di masyarakat bahwa Densus 88 telah menjadi suatu bentuk
terror yang baru.
Maka kami mewakili masyarakat dari unsur
mahasiswa mendesak pemerintah melakukan evaluasi dan pengawasan yang sangat
ketat terhadap densus 88. Jika tuntutan supervisi maupun evaluasi terhadap
kinerja Densus 88 selalu diabaikan sehingga ada kesan tidak terkontrol dan
semena-mena maka pilihannya tinggal satu, dibubarkan.
Faizal Akbar, Ketua HMI Komisariat Fisipol UGM
Cabang Bulaksumur Sleman
0 komentar:
Posting Komentar