Minggu, 20 Maret 2016

EVALUASI ATAU BUBARKAN DENSUS 88

BY HMI Komisariat Fisipol UGM No comments

Poster diskusi HMI Komisariat Fisipol UGM di Kampus


EVALUASI ATAU BUBARKAN DENSUS 88

            Kasus tewasnya Siyono (34 Tahun), Warga Klaten, jawa Tengah, oleh Detasemen khusus 88 antiteror (Densus 88) menyita perhatian publik. Kronologinya sebelum tewas Siyono dijemput oleh tiga petugas densus 88 pada selasa (8/3), esoknya (9/3) densus 88 menggeledah tempat tinggal siyono yang juga merupakan lokasi TK Roudhatul Athfal Terpadu Amanah Ummah saat jam pelajaran, hal tersebut menyebabkan kepanikan dari murid-murid TK yang masih dibawah umur. Polisi meminta Siyono menunjukkan lokasi tempat penyimpanan senjata api yang ternyata tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Kemudian Siyono dibawa pergi dan dikembalikan keadaan sudah meninggal. Kabarnya karena Siyono melakukan perlawanan di dalam mobil sehingga terjadi perkelahian yang menyebabkan ia tewas.

            Keluarga Siyono meminta polisi melakukan otopsi forensik karena berdasarkan pengamatan dari kuasa hukum keluarga Siyono, Sri Kalono, pihaknya menemukan banyak kejanggalan pada kondisi jenazah Almarhum Siyono. Bahkan  Sri Kalono menungkapkan hingga pemakaman Almarhum pada ahad (13/3) dini hari, keluarganya belum menerima surat keterangan kematian dari institusi yang bersangkutan.

            Menanggapi isu yang berkembang di masyarakat, menurut berita yang dilansir Republika pada (15/3) pihak mabes Polri mengakui ada kelalaian petugas yang berujung pada kematian Siyono. Bukan kali ini saja Densus 88 melakukan proses penangkapan dan tindakan yang melanggar HAM.  Data yang dilansir oleh Kontras menyatakan bahwa sejak awal pendiriannya densus 88 telah melakukan banyak pelanggaran hukum.

Kontras mencatatnya dalam rilis “Potret Buram Densus 88”. Beberapa dugaan pelanggaran hukum dan HAM yang kerap dilakukan oleh kesatuan ini antara lain, Satu, penggunaan kekuatan berlebih (excessive Use Force) yang mengakibatkan tewasnya si tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman dan tenang di masyarakat. kedua, penembakan salah sasaran (shooting innocent civillians). Ketiga, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Keempat, penangkapan dan penahanan paksa serta salah tangkap.

Pada tahun 2013 saja Kontras mencatat telah terjadi 93 peristiwa kekerasan dalam memberantas tindak terorisme oleh anggota densus 88, pada agustus 2013 densus 88 sudah mengakibatkan 201 orang tewas tanpa pernah diadili. Data dari Komnas HAM sudah ada 118 Orang terduga teroris yang tewas sampai hari ini tanpa pernah disidangkan.

Tuntutan

Semua pihak menuntut kepada pemerintah untuk segera dilakukan evaluasi terhadap densus 88, tidak hanya itu, anggarannya pun harus di audit total. Hal ini menjadi kontra prestasi terhadap tuntutan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan yang meminta dukungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk penambahan sarana prasarana dan anggaran bagi Densus 88 antiteror (antaranews.com).

Analisa secara yuridis, pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan oleh densus 88, diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya, tidak ada mekanisme evaluasi terhadap standar operasional prosedur (SOP) yang memberi kewenangan terhadap densus 88 dalam melakukan kontak senjata.

Kedua, terdapat kelemahan mendasar dalam UU tentang terorisme Nomor 15 tahun 2003, dimana definisi terorisme sangat luas (lihat pasal 6 dan 7) menjadi ancaman terhadap kebebasan sipil dan politik (pasal 26) ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat dimuka umum (pasal 20) dan keterlibatan aktor intelejen dalam proses hukum.

Ketiga, mengakibatkan seseorang meninggal dunia tanpa proses hukum merupakan pelanggaran terhadap hak untuk hidup sebagaimana amanat Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Keempat sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kapolri 23 tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme Bab IV ayat 3 yang berbunyi: penindakan yang menyebabkan  matinya Seseorang/Tersangka harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dari berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Densus 88 maka wajarlah berkembang opini di masyarakat bahwa Densus 88 telah menjadi suatu bentuk terror yang baru.

Maka kami mewakili masyarakat dari unsur mahasiswa mendesak pemerintah melakukan evaluasi dan pengawasan yang sangat ketat terhadap densus 88. Jika tuntutan supervisi maupun evaluasi terhadap kinerja Densus 88 selalu diabaikan sehingga ada kesan tidak terkontrol dan semena-mena maka pilihannya tinggal satu, dibubarkan.



Faizal Akbar, Ketua HMI Komisariat Fisipol UGM Cabang Bulaksumur Sleman

0 komentar:

Posting Komentar