“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di jamanmu” (Ali Bin Abi Thalib )
Anakmu Bukan Milikmu (Kahlil Gibran)
Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada dirinya sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau.
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk
Pikiranmu,
Sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
Yang tiada dapat kau kunjungi sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu, sebab kehidupan
Tidak pernah berjalan mundur.
Pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Dia menentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat jauh dengan cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan
Sang Pemurah,
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat.
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang manta
Tanggal 23 Juli setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Sejarah hari anak nasional berawal dari gagasan mantan presiden RI ke-2 (Soeharto), yang melihat anak-anak sebagai aset kemajuan bangsa (sebagai modal pembangunan mungkin dalam bahasa beliau), sehingga sejak tahun 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI No 44 tahun 1984, ditetapkan setiap tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Kegiatan Hari Anak Nasional dilaksanakan mulai dari tingkat pusat, hingga daerah. Berbicara tentang anak di Indonesia tentu pikiran kita akan tertuju pada banyak permasalahan. Mulai dari kekerasan terhadap anak, kejahatan seksual terhadap anak, pernikahan dini, anak putus sekolah, kenakalan anak dan remaja, guru versus murid, sampai yang terbaru masalah obesitas anak. Terlepas dari itu semua, kutipan Ali bin Abi Thalib dan puisi Kahlil Gibran di atas mengisyaratkan sebuah pesan bagi kita semua. Anak-anakmu adalah “bukan” anakmu, mereka adalah anak zamannya.
Ali bin Abi Thalib dan Kahlil Gibran sadar dan berusaha menyadarkan kita bahwa anak-anak bukanlah tiruan diri kita, mereka itu unik, mereka adalah produk zamannya. Anak-anak zaman sekarang tidak sama dengan kita ketika masih anak-anak dulu. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang setiap hari minggu disuguhi anime-anime dari Jepang seperti Lets and Go, Yugi Oh, Samurai X, Flame of Recca, Rave, Saint Seiya, Dragon Ball, Captain Tsubasa, Sailor Moon, Digimon, Pokemon, Ninja Hattori, P-Man, Ghost at School, Inuyasha, Hunter X Hunter, Beyblade, Crush Gear, Ranma ½, Slam Dunk, Minki Momo, Hamtaro, Ninja Boy, Crayon Shinchan hingga Chibi Maruko Chan, mereka sekarang adalah penonton drama Turki, drama India Uttaran serta sinetron Mermaid dan Anak Jalanan. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang membangun desa, kota, atau istana dari balok-balok mainan, mereka sekarang membangunnya secara virtual dalam game Clash of Clans. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang bisa dengan mudah bermain sepak bola di tanah lapang, mereka sekarang harus patungan untuk menyewa lapangan futsal. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang mendegarkan lagu anak-anak tahun 90an seperti Trio Kwek-Kwek, Sherina, Tina Toon, dan Joshua Suherman, mereka sekarang adalah pendengar Shawn Mendes, Ariana Grande (perempuan ini cantik), Fifth Harmony dengan pentolannya Camila Cabello (yang ini tidak kalah cantik), Taylor Swift (yang ini pun sama cantiknya), dan Ed Sheeran. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang bisa menangkap Pokemon dengan berdiam diri di kamar mereka, mereka sekarang harus mencari dan menangkap Pokemon di luar rumah mereka dengan GPS di smartphone mereka. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang harus meneriakan nama teman mereka dengan nada unik di luar rumah teman mereka untuk sekedar bertemu, mereka sekarang menggunakan aplikasi WA dan LINE.
Beberapa contoh yang saya berikan tersebut saya rasa cukup untuk kita merenungkan kembali sikap kita kepada anak-anak (generasi yang lebih muda). Kita ambil contoh kasus seorang murid yang dicubit gurunya tempo hari. Banyak diantara kita yang berargumen bahwa si murid ini manja karena “hanya” gara-gara dicubit saja dia melaporkan itu kepada orang tuanya yang kemudian melaporkan guru yang mencubit anak tersebut ke pihak kepolisian. Kita kemudian ramai-ramai mengeluarkan pendapat yang bernada sama, intinya generasi kita lebih superior daripada generasi mereka. Generasi kita adalah generasi yang tahan banting, mau dicubit, dijewer, disetrap, bahkan dipukul sekalipun kita tidak akan melapor dan malah bangga karena itu artinya kita hebat. Tapi apakah pendapat seperti itu benar? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama seperti kita yang bangga dengan kekerasan? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang menyamakan disiplin dengan bentakan dan hukuman? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang beranggapan bahwa yang senior atau lebih tua selalu benar dan yang junior atau lebih muda pasti salah? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang beranggapan bahwa pendidikan di bangku sekolah adalah persaingan memperebutkan rangking satu, bukan kerja sama antar siswa untuk jadi lebih maju? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang beranggapan bahwa baris-berbaris adalah satu-satunya jalan menuju kedisiplinan? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang seolah-olah menganggap perbedaan sebagai rahmat tapi diam-diam memberangus keberagaman dengan menyingkirkan yang berbeda pendapat? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang mengkampanyekan pentingnya membaca tapi sering membagikan berita dan kabar bohong tanpa menelitinya lebih dahulu?
Lantas apa yang harus kita lakukan? Saya tentu tidak punya wewenang untuk memutuskan apa yang harus kita lakukan tetapi saya setidaknya punya jawaban untuk pertanyaan apa yang mungkin bisakita lakukan. Jawaban saya datang dari pemikiran seorang filsuf asal Prancis, Jacques Derrida. Derrida seperti banyak filsuf lain bicara hal yang kita anggap sederhana dengan cara yang sangat rumit tentu saja. Dan kalau boleh saya sederhanakan sebenarnya Derrida bicara tentang bahasa, utamanya bahasa teks atau tulis. Mengapa bahasa? Karena di dalam bahasa itu tersimpan sesuatu yang sangat penting bagi manusia; sesuatu yang sangat esensial. Bahasa mengandung “makna yang dianggap benar” Derrida menyebutnya “keutamaan bahasa”. Bagi Derrida, “Keutamaan bahasa” atas tulisan menunjukkan adanya represi sebuah logika terhadap logika yang lain. Lewat struktur argumen yang runtut dan logis, sebuah logika berusaha menjadi benar sambil menunjukkan logika lain salah. Dan hal tersebut hanya bisa terjadi dengan adanya otoritas atau kewenangan untuk menentukan makna suatu hal.
Lantas apa hubungannya pemikiran Derrida tadi dengan hal yang mungkin kita bisa lakukan kepada anak-anak (generasi yang lebih muda)? Derrida kemudian mengajukan suatu cara pembacaan untuk menghilangkan represi sebuah logika terhadap logika lainnya yang ada didalam bahasa. Cara pembacaan itu dia sebut: dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan cara pembacaan yang unik. Ia destruktif sekaligus konstruktif dalam waktu bersamaan. Mudahnya, Derrida beranggapan bahwa pembaca bebas memaknai bacaan. Pembaca komik Batman bebas memaknai bahwa sesungguhnya Batman adalah penjahat juga karena dia sering main hakim sendiri dan pembaca juga bebas memaknai bahwa sesungguhnya Joker adalah orang yang baik karena ia selalu mengungkapnkan the painful truth atau kebenaran yang menyakitkan. Pembaca Manga Naruto bebas memaknai bahwa Jiraiya adalah teladan yang baik karena walaupun dia orang yang sangat mesum dia selalu mengkampanyekan perdamaian yang didasarkan pada itikad baik manusia untuk saling memahami. Dekonstruksi lah yang mungkin bisa kita lakukan kepada anak-anak. Mereka bebas memaknai bagaimana menjadi anak-anak di zaman sekarang. Mereka tidak perlu terikat dengan konstruksi bahwa mereka harus sama dengan kita. Pertanyaan berikutnya adalah apakah dekonstruksi ini kemudian berarti kita membebaskan anak bertindak semaunya dan kita tidak perlu bahkan tidak bisa menamankan nilai kebaikan? Luqman Al-Hakim memberikan contoh yang tepat soal ini menurut saya. Dari semua nasehat Luqman kepada anaknya, semuanya disampaikan lewat cara dialogis bukan dengan paksaan dan hukuman. Dengan cara dialog ini anak bisa menyampaikan keinginan mereka dan kita bisa menyampaikan nilai-nilai kemanusian dan kebaikan apa yang ingin kita tanamkan pada mereka. Dengan cara dialog ini anak bisa mengerti tentang nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan dan disisi lain kita bisa mengerti tantangan apa yang dihadapi anak-anak zaman sekarang, lebih dari itu lewat dialog kita akan sadar bahwa anakmu “bukanlah” anakmu.
Ditulis oleh Dendy Raditya Atmosuwito (Kader HMI Komisariat Fisipol, Mahasiswa MKP Fisipol UGM 2014)
0 komentar:
Posting Komentar