Selasa, 31 Mei 2016

Pembangunan untuk Siapa?

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , , , 1 comment



”Pembangunan” merupakan salah satu kata yang paling sering diucapkan atau dikampanyekan oleh pemerintah. Mulai pemerintah lokal hingga pemerintah pusat, bahkan di setiap rezimpun, pembangunan adalah salah satu program prioritas pemerintah. 

Hal itu wajar-wajar saja, selama pembangunan bertujuan membawa masyarakat ke arah yang lebih baik, entah itu dalam hal perekonomian, sosial, infrastruktur, maupun sumber daya manusia. Namun, benarkah jika pembangunan pada kenyataannya berjalan sesuai dengan apa yang dikatakan selama ini? Jika kita melihat permasalahan di Indonesia saat ini, ada ketidaksepahaman antara pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan pembangunan yang diharapkan oleh masyarakat. 

Saya melihat bahwa pemerintah sekarang ini lebih memfokuskan pada pembangunan seperti hotel, apartemen, dan gedung-gedung mewah, yang mana hal-hal tersebut tidak dibutuhkan oleh rakyat, terutama rakyat yang menengah ke bawah. Pembangunan gedung- gedung tinggi dan mewah itu hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat kelas atas dan kalangan pengusaha, tetapi tidak bagi mereka yang hanya memikirkan bagaimana untuk makan besok. 

Secara teoretis, kita mungkin bisa mengatakan bahwa pembangunan tersebut untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, dan bisa meminimalisasi angka pengangguran. Tapi apakah faktanya demikian? Tidak. Pembangunan selama ini hanyamembuatyangkaya semakinkaya, dan yang miskin semakin miskin. 

Pembangunan gedung-gedung mewah itu justru sangat sering mengambil tanah dan lapangan pekerjaan rakyat miskin. Lantas, kesejahteraan seperti apa yang diharapkan jika harus merampas kesejahteraan yang sudah ada? Reklamasi di Teluk Jakarta dan pembangunan pabrik semen di Rembang saat ini sudah cukup menjadi bukti, bahwa pemerintah tidak benar-benar mengerti keinginan rakyatnya. 

Dan jika terus seperti ini, rakyat miskin tidak akan merasakan yang namanya kesejahteraan. Lalu jika sudah seperti ini, apa kita masih beranggapan bahwa pembangunan yang dikampanyekan selama ini benar-benar untuk rakyat? Sebagian besar tidak. Jelas sekali dalam program pemerintah selama ini sudah sering terjadi kongkalikong antara elite-elite tertentu. 

Dan, program-program yang mereka canangkan selalu mengatasnamakan rakyat. Sementara rakyat yang selama ini sudah berusaha memenangkan pemimpin yang dipercayainya, hanya mendapat kekecewaan pada akhirnya. 

Orang-orang yang selama ini diyakini bisa mewakili rakyat dalam pengambilan kebijakan, hanya terdiam ketika melihat rumah-rumah warga digusur, petani yang dirampas tanahnya, nelayan yang kehilangan wilayah pencahariannya, dan mereka hanya sibuk mengurusi internal partai mereka, berdebat dan bertengkar untuk membela kepentingan masing-masing. 

Apakah itu yang namanya wakil rakyat? Ketika rakyat sengsara karena pembangunan gedung- gedung tinggi, justru pembelaan datang dari kalangan bawah yang samasama memperjuangkan ”saudaranya”. Lantas, apakah persatuan dan empati seperti ini tidak mengetuk hati mereka yang duduk di eksekutif dan legislatif sana? 

Sepertinya sampai saat ini mereka masih sibuk membangun gedung tinggi mereka sendiri. Dan rakyat sudah tidak bisa menunggu lagi akan datangnya belas kasihan dari pemerintah. Sudah seharusnya jika kita bertanya pada mereka, ”Pembangunan selama ini sebenarnya untuk siapa?” Kita pun masih selalu berharap agar mereka turun untuk menjawab dan memberikan pembuktian.

Oleh : Ikraman Wahyudi
(Kader HMI Komisariat Fisipol UGM, Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan, 
Fisipol UGM, 2014) 

*Tulisan dimuat di Poros Mahasiswa, Koran Sindo edisi 12 Mei 2016
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=4&date=2016-05-12

Refleksi dan Pemaknaan Mendasar dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , 1 comment


Mahasiswa sebagai representasi dari kaum muda intelektual memiliki peran strategis dalam pengembangan sosial dan masyarakat. Mahasiswa diharapkan untuk mampu melahirkan ide, pemikiran inovatif serta gagasan yang bermanfaat, untuk bisa bersama-sama dengan masyarakat keluar dari masalah-masalah dan demi tercapainya kesejahteraan bersama. Peran mahasiswa sangat diharapkan oleh masyarakat dalam perkembangannya. Mahasiswa dianggap cerminan kaum berpendidikan yang dekat dengan mayarakat sehingga kehadiran dan konstribusinya selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat, termasuk desa.
Dalam menanggapi hal ini, banyak dari mahasiswa yang mengagendakan program-program pengabdian dan pemberdayaan desa. Mulai dari event-event yang dilaksanakan di desa oleh para mahasiswa seperti bakti sosial –yang kini telah begitu populer, pembagian nasi gratis hingga donor darah. Tak hanya itu, dalam level organisasi maupun lembaga pun juga dibentuk divisi-divisi yang bergerak dibidang pemberdayaan seperti lembaga sosmas di tiap jurusan, fakultas maupun universitas. Termasuk pihak Universitas  yang memiliki komitmen dalam pembangunan sosial desa dengan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai tanggung jawab morilnya merealisasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Akan tetapi, tak ada gading yang tak retak. Berbicara soal pemberdayaan desa ala mahasiswa selama ini, diakui bahwa realitanya, mahasiswa masih sangat sulit untuk menemukan ramuan dan konsep pemberdayaan yang tepat dengan konteks kemahasiswaan yang -jujur saja- serba kekurangan. Mulai dari kekurangan pengetahuan dalam keilmuannya, kurangnya kemampuan dalam assassement dan analisis masalah sosial yang harusnya menjadi dasar dan landasan praktik awal dalam melakukan pemberdayaan dan lainnya. Bahkan kemampuan material di lapangan juga begitu minim (Pras, 2016). Namun para mahasiswa seharusnya jangan sampai terjebak dan terperangkap dalam hal-hal yang seperti ini (meskipun dirasa urgen) karena pada dasarnya harus kembali kita dudukkan makna pemberdayaan masyarakat desa itu sendiri dalam setiap kegiatan-kegiatan kita nantinya. 
Menarik sebenarnya jika kita merefleksikan sejenak pemikiran Pak Surjadi (1941) dalam pemaknaannya terhadap pemberdayaan masyarakat desa yang di rasa semakin hari semakin pudar. Baginya, bagaimanapun kondisi keadaan negara, desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan orisinil Indonesia berupa musyawarah, tolong-menolong, gotong royong dan menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Sehingga menurutnya, pembangunan desa hendaknya menggali serta mengembangkan kebudayaan dan sistem kehidupan di pedesaan tersebut dengan memegang teguh kehidupan moral untuk menjaga kestabilan dan keutuhan iklim budaya yang sehat. Dari pemaknaannya tadi maka ia memandang bahwasanya pembangunan masyarakat desa adalah suatu proses gerakan dari mereka sendiri dan bersifat mandiri untuk menciptakan kehidupan desa yang lebih baik, memenuhi kebutuhan mereka secara individu maupun komunal. Mereka berkumpul untuk memusyawarahkan apa saja kebutuhan mereka bersama sehingga keluarlah hasil mufakat yang nantinya dirasa mampu untuk merangkul semua kebutuhan dari masyarakat desa tersebut. Lalu dalam pembangunannya terjadi kolaborasi yang baik antar satu dengan lainnya dan pada diakhir akan terbentuknya desa yang baik dan masyarakat yang rukun. Penduduk desa masih menerapkan musyawarah sebagai bentuk manifestasi demokrasi mereka, bentuk persaudaraan mereka, dan tanggung jawab bersama dalam proses gotong royong itu sendiri.
Lantas timbul pertanyaan, dimana peran mahasiswa dalam konstribusinya terhadap desa? Sebelum kita membahas apa yang bisa dilakukan mahasiswa sekarang lebih jauh, alangkah lebih baiknya jika kita mau dengan jujur dalam melihat realita desa masa kini. Masyarakat desa hari ini seperti terpinggirkan dari perhatian pemerintah, bagaimana tidak, Kementerian DPDTT (2015) menyatakan bahwa sebanyak 39.091 desa dari 74.093 jumlah desa di Indonesia atau 52,79 persen dari total keseluruhannya. Belum lagi jika kita memandang aspek psikologis khusus yang dimiliki para masyarakat desa pada umumnya, menurut Landis (1948) masyarakat desa memiliki kecerendungan-kecerendungan psikologis atau kepribadian yang unik atau yang biasa ia sebut “Psychological Traits of Farm People”. Baginya masyarakat desa memiliki sifat menentang terhadap orang luar,selanjutnya memiliki sifat rendah diri yang sifat ini sebagai akibat adanya kemiskinan yang dialami, atau dengan kata lain mempunyai derajat kemakmuran yang rendah, masyarakat desa juga mempunyai sifat udik/pedalaman, dimana sifat ini sebagai akibat kurangnya kontak dengan dunia luar (kurangnya sarana transportasi dan komunikasi). Tidak hanya itu, orientasi pemikiran masyarakat saat ini terpusat pada bagaimana ia mendapatkan uang dan makmur material (akibat pengaruh kapitalisasi perekonomian Indonesia). Belum lagi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia. Sungguh banyak masalah yang dihadapi desa hari ini.
Mengingat situasi dan melihat kondisi yang seperti demikian, tampaknya masalahnya terdapat pada anggota-anggota dari masyarakat desa itu sendiri, Pak Surjadi menyadari itu dan mengatakan bahwa sebetulnya pembangunan masyarakat desa didasarkan kepada inisiatif atau swadaya dari anggotanya sendiri. perlulah sekiranya masyarakat agar disadarkan terlebih dahulu terhadap tanggung jawabnya dan konstribusi yang dapat ia berikan, dengan demikian upaya-upaya pemberdayaan masyarakat desa mestinya didahului oleh pembangunan manusia itu sendiri (Human Building), mempersiapkan mereka agar mampu menerima dan melaksanakan tanggung jawab pembangunan. Untuk itu perlulah ada pihak lain yang melaksanakan Human Building tersebut, pihak tersebut harus mampu menolong masyarakat agar masyarakat itu mampu menolong dirinya sendiri (to help people to help themselves).
Dari pandangan Pak Surjadi ini, setidaknya kita para mahasiswa sebagai agen pemberdayaan desa diharapkan mampu untuk kembali mengahayati makna dasar dari pemberdayaan itu sendiri secara komperhensif dan tidak terjebak terhadap persoalan-persoalan yang akan menguras tenaga dan pikiran kita. Memang banyak cara untuk membangun desa, namun dengan apa yang telah disampaikan pak Surjadi ini sekiranya mampu memberikan insight mendasar terhadap makna dibalik pemberdayaan tersebut. Apakah selama ini kita hanya sekedar mengasihani mereka tanpa adanya edukasi ataupun sebaliknya.
Bukan mahasiswa namanya jika terjadi sebuah masalah ia berpaling, bahkan seorang Itachi Uciha yang dianggap oleh orang banyak sebagai pengkhianat desa pun mengatakan "Desa mungkin sudah penuh dengan kontrakdisi dan kegelapan, akan tetapi aku tetaplah Itachi dari desaku, Konohagakure". Mahasiswa sebagai Agent of Change tentu diharapkan menjadi garda terdepan  demi lahirnya perubahan masyarakat desa kearah yang lebih baik. Tapi ingat,  justru perubahan itu dimulai dari sendiri, termasuk dalam pemaknaannya, karena toh sesungguhnya Tuhan tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Daftar Pustaka                      
(n.d.).
K, S. (1953). Desa. Jogjakarta: Sumur Bandung.
Soeanrjono. (1968). Buku Pegangan Bagi Kader Pembangunan Desa. Jakarta: Pustaka Masa.
Surjadi. (1979). Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Alumni.
Surjadi. (1983). Da'wah Islam dengan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Alumni.

Oleh: Mochamad Ridha
(Kader HMI Komisariat Fisipol UGM, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, 2015)


*Tulisan dimuat dalam Press Release Kementerian Pengembangan Desa Mitra BEM KM UGM  

Sang Kritikus Pemerintah

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , , , No comments



Mahasiswa merupakan pemuda-pemudi yang memiliki kapasitas intelektual yang lebih tinggi dari kategori pelajar lainnya. Mahasiswalah yang menjadi penyambung lidah atas keluh kesah rakyat kepada pemerintah, mereka pula yang menjaga kestabilan pemerintahan ini. Mereka jugalah yang membawa inovasi untuk pemerintahan. Gerakan mahasiswa sebagai pengontrol pemerintahan harus terus berkembang. Sejarah panjang gerakan mahasiswa merupakan salah satu bukti eksistensi dan tanggung jawab sebagai rakyat Indonesia dalam memberikan perubahan dan memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia kepada pemerintahan. Pada zaman dahulu sebelum kemerdekaan ditegakkan di negara kita, peranan para mahasiswa dan para pemuda Indonesia sangat penting untuk kemajuan bangsa. Khususnya untuk terselenggaranya kemerdekaan bangsa ini. Bahkan sampai setelah kemerdekaan negara kita dikumandangkan, para pemuda dan para mahasiswa tetap ikut serta dalam memajukan negara. Kepedulian mereka terhadap kondisi negara yang saat itu dalam masa penjajahan sangatlah tinggi demi kemajuan negara. Mahasiswa berperan di dalam melakukan perubahan dan inovasi terhadap kondisi bangsa. Saat ini pemerintahan kita sedang mengalami kondisi tidak optimal. Dari segi ekonomi, kita melihat masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin sangat jelas sekali terlihat. Yang kaya sibuk memperkaya diri sendiri, sementara yang miskin harus berjuang keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Dari segi politik, kita melihat banyak pejabat yang melakukan korupsi. Mereka sibuk untuk memperkaya diri sendiri dan melupakan amanahnya untuk menyejahterakan rakyat. Bagaimana ingin menyejahterakan rakyat, sementara uang rakyat saja mereka curi. Mahasiswa tidak sepatutnya hanya sekadar menuntut ilmu dan mencari IP setinggi-tingginya tetapi melupakan perannya yang signifikan dalam membangun pemerintahan bangsa ini. Aktivitas yang dilakukan mahasiswa seyogianya tidak hanya belajar memahami mata kuliah yang diajarkan dosen dan mengerjakan tugas kuliah, tetapi mahasiswa harus berkontribusi nyata dalam membela kebutuhan rakyat yang bertentangan dengan kebijakan pemerintahan. Karena mahasiswa adalah salah satu unsur terpenting dalam pembangunan bangsa, peranan mahasiswa menjadi sangat penting karena mahasiswa adalah kelompok idealis yang terlepas dari kelompok mana pun. Idealisme menggebu-gebu dimiliki mahasiswa membuatnya semangat melakukan perjuangan terhadap kebenaran yang dia yakini. Mahasiswa pantang menyerah dan tidak takut terhadap apapun termasuk raja sekalipun di dalam menyampaikan aspirasi yang mereka miliki. Pandangan, pemikiran, dan sikap mahasiswa inilah yang dibutuhkan dalam mewujudkan pemerintahan Indonesia yang baik.
Oleh : Pinto Buana Putra (Ketua Umum HMI Komisariat Fisipol, Mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, 2013)

*Tulisan dimuat di Poros Mahasiswa, Koran Sindo pada hari Jum'at 1 April 2016

http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=6&date=2016-04-01