Rabu, 10 Agustus 2016

Kenapa Ketua MWA UGM Harus Menteri?

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , 2 comments

Kenapa Ketua MWA UGM Harus Menteri?


Menteri Sekretrais Negara (Mensesneg) Prof. Drs. Pratikno, M.Soc.Sc., Ph.D., terpilih sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada (MWA UGM) untuk periode 2016 – 2021. Demikian inti berita serah terima jabatan (sertijab) MWA UGM pada laman resmi UGM–www.ugm.ac.id–yang dirilis Senin ini (8/8). Sertijab yang diadakan Sabtu (6/8), itu akhirnya menjawab teka-teki segenap sivitas akademika UGM–sekaligus mengonfirmasi “kabar-kabar burung” yang beredar di lingkungan Rektorat UGM–berkenaan dengan sosok siapa yang akan menjabat Ketua MWA UGM pengganti Prof. Drs. Sofian Effendi, MPIA., Ph.D., sebagai Ketua periode 2012 – 2016. Sebelum dilanjutkan, penulis sampaikan permohonan maaf jika artikel ini memakan paragraf yang relatif banyak. 

Para Anggota MWA periode sekarang sebenarnya telah dipilih dan ditetapkan dalam Rapat Pleno Khusus Senat Akademik (SA) UGM tanggal 28 April 2016. Menariknya, para anggota baru ini tidak ada satu pun yang terafiliasi sebagai ‘anggota aktif’ atau menjadi pimpinan partai politik (parpol). Ini berbeda dengan keanggotaan sebelumnya–penulis termasuk di dalamnya mewakili unsur mahasiswa S1 pada tahun 2014 – 2015–yang diisi oleh setidaknya tiga anggota aktif parpol yaitu, Luhut Binsar Panjaitan (Partai Golkar), Herry Zudianto (PAN) dan Bambang Praswanto (PDI-P). Meskipun sebenarnya, di atas kertas dua orang pertama tersebut mewakili unsur tokoh masyarakat, sementara yang terakhir mewakili unsur alumni. Pada periode kali ini, tampak keanggotaan diisi oleh para profesional dan bukan ‘politisi’. 

Pertanyaan kemudian, kenapa Ketua MWA UGM sekarang harus dijabat oleh seorang Menteri? Sesungguhnya, artikel ini bukan bermaksud untuk menjawab pertanyaan penting tersebut. Artikel ini, betul-betul sebagai sebuah pertanyaan yang didasarkan pada landasan-landasan yuridis dan sosio-politik. Namun, artikel ini juga akan memberikan gambaran-gambaran tertentu sebagai jawaban kasar dan implisit atas pertanyaan sekaligus judul artikel ini. Dan, sebelum terlalu jauh, artikel ini hanyalah sebuah ekspresi penulis sebagai sivitas akademika semata yang punya perhatian atas almamaternya, tanpa memiliki tendensi apa-apa apalagi kepentingan yang bersifat politis. 

Landasan Yuridis 

Pertanyaan besar dari artikel ini, pertama sekali muncul merujuk pada landasan yuridis yang mengatur UGM, dalam hal ini dua peraturan penting yang digunakan ialah Peraturan Pemerintah (PP) No. 67 Tahun 2013 tentang Statuta UGM dan Peraturan MWA No. 4 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kelola (Governance) UGM, selanjutnya disebut OTK. Statuta dan Peraturan MWA merupakan peraturan tertinggi di dalam hirarki peraturan di internal UGM. Lalu, apa masalahnya? Masalahnya terletak pada Pasal 29 ayat 3 poin b dan c jo. Pasal 46 ayat 4 poin b OTK. Pada kedua pasal tersebut, intinya berbunyi “Pimpinan (Ketua dan Sekretaris) MWA dilarang memangku jabatan rangkap sebagai jabatan pimpinan atau jabatan struktural di instansi Pemerintah atau pemerintah daerah, dan/atau jabatan lain yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan kepentingan UGM”. 

Bila kita jujur dalam menjalankan amanat pasal-pasal di atas, maka tentu tidak boleh seorang Menteri menjabat sebagai pimpinan, apalagi Ketua. Penulis akui, sama sekali penulis tidak paham apa yang terjadi di dalam internal MWA dalam proses pemilihan Ketua sehingga mengeluarkan nama Prof. Pratikno. Namun, sebagai orang awam yang membaca teks hukum di atas sangat jelas bahwa pemilihan Prof. Pratikno tampak melanggar hukum. Posisi beliau di struktur pemerintah bukan posisi yang main-main, Menteri Sekretaris Negara, oleh Prof. Sofian sendiri diibaratkan sebagai leher presiden, mengingat betapa vitalnya jabatan Mensesneg. Jadi, tidak masuk di akal penulis mengapa Prof. Pratikno dipilih dan bersedia dipilih sebagai Ketua? Apakah tidak ada sosok anggota lain yang bersedia, setara dengan atau lebih baik daripada Prof. Pratikno? 

Pertanyaan terakhir di atas, bukan sama sekali penulis maksud untuk meragukan Prof. Pratikno, bukan. Penulis paham betul akan kompetensi, kapasitas, integritas, kapabilitas bahkan rasa cinta beliau yang amat tinggi kepada Kampus Biru. Lima tahun penulis menjadi mahasiswa UGM, lima tahun itu pula penulis tahu, kenal dan bahkan pernah berinterkasi dengan beliau. Baik dalam kapasitas penulis sebagai mahasiswa beliau di Departemen Politik dan Pemerintahan, Sekretaris Jenderal BEM KM UGM 2014 maupun keanggotaan penulis di dalam MWA tahun 2014 – 2015. Jadi, penulis sama sekali tidak berkeberatan jika beliau memimpin MWA, tentu dengan sikap mengabaikan pasal-pasal yang sudah disebutkan di atas. 

Selain pasal tentang rangkap jabatan tersebut yang tercantum di dalam Statuta dan OTK di atas, larangan merangkap jabatan bagi seorang menteri juga jelas tertera di dalam UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 1 ayat 2 UU No. 39/2008 disebutkan bahwa Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin Kementerian. Lalu pada Pasal 23 terdapat larangan rangkap jabatan bagi seorang menteri sesuai dengan poin a, b dan c pada pasal tersebut. Penulis merasa, Prof.Pratikno melanggar poin c yang bahwa, Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Jelas sekali UGM merupakan institusi yang sebagian dari pembiayaannya berasal dari APBN/D sesuai dengan Pasal 63 ayat 1 dan ayat 2 poin e Statuta jo. Pasal 142 ayat 1 dan ayat 2 poin f OTK. RKAT UGM 2016 misalnya, mencantumkan penerimaan dana dari Pemerintah sekitar Rp 1,007 triliun dari total penerimaan sekitar Rp 2,470 triliun. 

Sebagai yang awam hukum, penulis mafhum jika pada pasal ini ada pendapat yang menyatakan tidak melanggar ketentuan. Sebab, UGM sebagai sebuah organisasi dipimpin oleh Rektor dan dibantu para Wakil dalam menjalankan tugas-tugas eksekutif organisasi. Tetapi, apakah pimpinan MWA tidak bisa disebut sebagai bagian dari pimpinan UGM? Atau, apakah MWA itu bukan merupakan sebuah unit organisasi yang ada di dalam organisasi besar UGM, yang pembiayaannya juga inheren dengan RKAT UGM yang sebagian bersumber dari Pemerintah itu? Bukankah setiap kebijakan MWA sebagai organ “tertinggi” di UGM akan berpengaruh pada gerak langkah dan kebijakan Rektor? Mungkin para ahli hukum lebih tepat menjawabnya, terutama dari Bagian Hukum dan Organisasi UGM yang penulis duga pasti telah memberikan pendapat dalam hal ini. 

Landasan Sosio-Politik 

Sekarang, mari kita masuk pada landasan sosio-politik (sospol) yang mungkin akan tampak lebih pragmatis. Pertama, pengalaman sebelumnya. Saat penulis masih aktif sebagai Anggota MWA tahun 2014 – 2015, Prof. Sofian mengundurkan diri sebagai Ketua karena beliau memegang amanah baru sebagai Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) RI, pengunduran diri beliau sebagai Ketua kira-kira alasannya sama dengan uraian di awal tentang larangan merangkap jabatan. Sampai penulis mengundurkan diri dari keanggotaan tanggal 1 Juni 2015, sepengetahuan penulis telah disepakati salah satu Anggota, Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.KK(K)., diajukan sebagai Ketua meneruskan sisa masa jabatan sampai 2016 kepada Menristek Dikti. Namun, tampaknya sampai berakhirnya masa bakti periode 2012 – 2016, SK pergantian Ketua itu tidak kunjung keluar–lagi-lagi sepengetahuan penulis demikian. 

Bercermin dari teladan yang baik dari Prof. Sofian sebelumnya, itulah yang membuat penulis cukup terkejut atas terpilihnya Prof. Pratikno. Pada pasal larangan merangkap jabatan di atas, disebutkan bahwa larangan itu berlaku untuk posisi yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan UGM. Lantas, apakah jabatan Mensesneg itu tidak menimbulkan potensi konflik kepentingan? Saya yakin, konflik kepentingan atau vested interest tidak akan muncul dari pribadi Prof.Pratikno sebagai seorang individu, mengacu pada rekam jejak beliau yang bersih dengan segala kelebihan yang dimiliknya. Tetapi, konflik kepentingan ini harus dibaca dalam makna yang lebih luas lagi, terutama terkait jabatan beliau sebagai Menteri yang notabene itu merupakan jabatan politis. Bahkan, semua menteri baik dari kalangan parpol, profesional, aktivis ataupun teknokrat, selama mereka masih aktif sebagai pembantu presiden sejatinya mereka juga adalah politisi. 

Kita tentu tidak ingin UGM sebagai institusi akademik yang otonom, selalu dikait-kaitkan dengan masalah politik praktis di negeri ini. Peran ganda yang sama besar dimainkan oleh banyak intelektual-politisi UGM saat ini sebenarnya sangat mengkhawatirkan bagi kredibilitas UGM yaitu, di satu sisi masih aktif dan berpengaruh dalam pengambilan kebijakan di kampus (Rektorat), dan di sisi yang lain mereka merupakan orang-orang penting dengan posisi strategis di pemerintahan (Istana). Peran ganda ini dalam suatu waktu oleh masyarakat, dapat dibaca bahwa tindakan politik para intelektual-politisi ini pada saat bersamaan mencerminkan sikap UGM. Kita bersyukur bila tindakan politik itu menghasilkan kemaslahatan bagi masyarakat, dan kita selalu berdoa untuk itu. Tetapi, bagaimana jika satu waktu tindakan tersebut merugikan masyarakat yang berujung pada tercorengnya nama baik UGM di mata masyarakat? 

Lagipula, bukankah tiga anggota MWA terpilih adalah menteri-menteri (Mensesneg, Menhub, Menteri PUPR) yang strategis dan semuanya alumni UGM? Kalau kita ingin jujur, sejak terpilihnya Jokowi sebagai Presiden dan keterlibatan banyak intelektual kampus ini “menyokong” kemenangan dan jalannya pemerintahan sampai saat ini. Di alam batin masyarakat Indonesia, itu menganggap UGM sekarang sebagai kampus yang teramat politis dan bahkan, diafiliasikan dengan kelompok-kelompok politik tertentu di negeri ini. Tentu, terpilihnya Jokowi (Alumni UGM) pasti akan lebih membuka pintu dan peluang “ekonomi” bagi UGM dalam upaya pengembangan akademik maupun infrastruktur kampus. Untuk itu, kita maklum jika dibutuhkan orang-orang terbaik sebagai penghubung (hub) komunikasi yang andal antara Bulaksumur denga Istana. Penulis tidak berarti menyatakan bahwa Prof. Pratikno-lah hub terbaik itu meskipun, indikasi ke arah tersebut cukup meyakinkan. 

Membangun hubungan baik dengan pemerintah itu penting dan wajib bagi UGM, tetapi bukan satu-satunya yang penting. Ketua MWA memiliki tugas berat dan mulia untuk mengembangkan UGM supaya lebih maju, berkualitas dan modern. Bahkan, Prof. Pratikno sendiri mengakui beratnya tugas tersebut seperti yang dikutip dari laman berita resmi UGM dan penulis sebutkan di muka artikel. Lalu, mengapa beliau bersedia mengemban amanah tersebut? Apakah jabatan sebagai Mensesneg tidak membutuhkan perhatian yang besar dari beliau, sehingga memiliki keluangan waktu untuk mengurus MWA? Kenapa jabatan Ketua itu tidak diserahkan saja kepada mereka yang sehar-hari berada di UGM, memiliki keluangan waktu jauh lebih besar untuk mengurus MWA UGM. Bukankah dari anggota terpilih terdapat para Guru Besar yang tidak perlu kita sangsikan pula integritas dan perhatiannya untuk UGM? 

Penulis rasa akan lebih arif dan bijak, jikalau Prof.Pratikno cukup menjadi anggota biasa saja. Biarkan posisi pimpinan itu diserahkan kepada mereka yang tidak memiliki dan tidak melekat “unsur politis” pada dirinya. Toh, dengan menjadi anggota pun Prof.Pratikno tetap bisa memainkan peran yang strategis dengan posisi dan pengaruh beliau yang kuat, dan harus diakui bahwa beliau masih tetap dibutuhkan UGM. Sejatinya, sekarang Prof. Pratikno agar lebih fokus saja membantu Presiden untuk memecahkan persoalan-persoalan besar bangsa yang belum diselesaikan. Supaya Nawacita bisa dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat dan Jokowi bisa dinilai sebagai Presiden yang sukses. Yakinlah, bagi masyarakat kesuksesan Jokowi adalah kesuksesan UGM juga. Sebaliknya, kegagalan Jokowi mau tidak mau juga akan dianggap sebagai kegagalan UGM. 

Penulis, merasa bersyukur dulu ketika Prof.Pratikno dipercaya Presiden untuk ikut dalam pemerintahan sehingga dapat membangun sistem pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance) dari dalam, seperti yang sering beliau ajarkan kepada kami para mahasiswanya di kelas-kelas perkuliahan dulu. Tetapi, mengetahui beliau harus turun gunung dengan mengambil posisi Ketua MWA, muncul pertanyaan mengapa beliau dulu tidak istikamah saja menjadi Rektor sampai selesai supaya bisa benar-benar fokus mengurus UGM. Dengan menjadi Rektor juga beliau pasti masih bisa ikut andil dalam membangun pemerintahan yang baik. Kita pun, sivitas akademika UGM tidak akan berkurang sedikitpun rasa bangga dan hormat kepada beliau, bila beliau memilih jalan untuk tetap menjadi Rektor. Apalagi, MWA memiliki kewenangan untuk memilih Rektor, bukankah tahun depan akan ada suksesi di Rektorat? Tentu, pikiran-pikiran sempit seperti ini tidak ingin kita kaitkan secara politis atas keterpilihan Prof. Pratikno sebagai Ketua. Meskipun, wajar dan sah-sah saja jika orang memiliki pemikiran demikian. 

Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Tulisan ini pun tidak akan pernah berpengaruh sama sekali dalam masalah ini. Lagi-lagi, ini hanya sebuah ekspresi penulis akan rasa cinta terhadap almamater, sekaligus sebagai bentuk rasa hormat dan kagum penulis atas sosok Prof. Pratikno sendiri selama ini. Saya sadar, pasti akan ada pihak yang tidak setuju dengan pendapat penulis. Jika, kritikan itu berasal karena perasaan cinta terhadap UGM maka, penulis akan membela diri bahwa artikel ini pun ditulis karena perasaan cinta penulis yang sama besarnya atau bahkan jauh lebih besar dari pengkritik. Tetapi, jika kritikan itu berasal dari alasan dan motivasi yang lain. Penulis dengan rendah hati tidak akan membela diri dari kritikan, karena alasan-alasan lain itu memang penulis abaikan sama sekali sedari awal. 

Terakhir, ada baiknya dari pihak MWA, Bagian Hukum UGM atau Prof. Pratikno sendiri memberikan klarifikasi kepada sivitas akademika terkait masalah yang penulis ajukan. Penulis khawatir, ketidakpandaian penulis dalam menafsirkan pasal-pasal di atas merupakan pangkal dari munculnya pertanyaan ini. Atau, bisa jadi ada peraturan lain yang penulis tidak ketahui di mana peraturan baru tersebut mengafirmasi pasal-pasal tersebut, sehingga menjabat rangkap sudah bukan menjadi kendala lagi. Sebab, penulis yakin pertanyaan yang sama tentu, juga muncul di setiap orang yang memiliki perhatian atas masalah ini. Penulis amat yakin, jika ada penjelasan yang rasional atas judul artikel ini. Tidak akan ada satu orang pun yang berkeberatan jika, Prof. Pratikno memimpin MWA.

Ditulis oleh Ekamara Ananami Putra ( Mahasiswa Politik & Pemerintahan Fisipol UGM 2011, Ketua Bidang Litbang HMI Cabang Bulaksumur 2015-2016, Anggota MWA UGM 2014-2015)

Tulisan dimuat di http://www.kompasiana.com/ekamara/kenapa-ketua-mwa-ugm-harus-menteri_57a9b163f87a614319f28e2d

2 komentar:

  1. postingan menarik, sangat bermanfaat. Semoga sukses terus. Terimakasih
    info Gadget menarik.
    Samsung Galaxy A3
    Samsung Galaxy Note 5
    Samsung Galaxy S6
    Samsung Galaxy S6 Edge Plus

    BalasHapus
  2. postingan menarik, sangat bermanfaat. Semoga sukses terus. Terimakasih
    info Gadget lenovo menarik.

    Lenovo K900
    Lenovo A6000
    Lenovo A7000
    Lenovo A369i

    BalasHapus