Jumat, 26 Februari 2016

Korporatisasi Pendidikan

BY HMI Komisariat Fisipol UGM No comments

KORPORATISASI PENDIDIKAN


Pinto Buana Putera

Reformasi 1998 telah memberi ruang dan harapan untuk melakukan perubahan, khususnya dalam bidang pendidikan. Sudah 18 tahun reformasi berjalan, tapi sepertinya reformasi tak diiringi reformasi pendidikan. Banyak masyarakat yang ingin mengecap pendidikan untuk mengubah taraf hidup namun dikecewakan dengan semakin mahalnya biaya pendidikan--membuat rakyat miskin tak mampu mengecap pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan disebabkan oleh komersialisasi pendidikan secara sistematis dan legal melalui korporatisasi pendidikan.

Korporatisasi pendidikan tinggi adalah budaya korporasi yang diterapkan dalam institusi
pendidikan tinggi (Mok, 2003). Contoh perubahan budaya pada perguruan tinggi adalah seperti dinyatakan oleh Moore (1997), strategi korporasi mulai terinternalisasi dalam perguruan tinggi seperti pernyataan tentang “visi” dan “misi” organisasi (Craig, 1999), yang sebelumnya perguruan tinggi menggunakan istilah goals dan objectives (Ayeni, 2001). Bila dipahami lebih mendalam, pengadopsian “visi” dan “misi” yang berasal dari budaya korporasi, mengindikasikan kuatnya sistem kapitalis dalam mengubah organisasi pendidikan tinggi untuk dikelola ala korporasi. Menurut Habermas (1987) perubahan tersebut merupakan kolonisasi sistem atas lifeworld (terutama dalam struktur budaya perguruan tinggi).

Akhir-akhir ini, korporatisasi pendidikan  di Indonesia semakin tumbuh subur lebih cepat daripada tanaman tauge. Bukan hanya di perguruan tinggi  tapi seluruh elemen pendidikan dasar sampai menengah atas dikerubuti virus korporatisasi. Secara konstitusional, proses pembentukan korporasi dalam dunia pendidikan dimulai dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan. Dilanjutkan lagi dengan PP Nomor 152-155 tahun 2000 tentang Pembentukan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut Teknik Bandung (ITB) menjadi perguruan tinggi negeri (PTN) yang berstatus badan hukum (PTN BH). Univeritas Airlangga (Unair), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Sumatera Utara (USU) kemudian ikut menyusul masuk dalam PTN BH. 
Untuk menyelenggarakan pendidikan, PTN BH mencari dana dengan mendirikan badan usaha, kerja sama dengan pemilik modal, membuka jalur penerimaan mahasisa dengan pungutan mahal selangit, menaikkan uang kuliah, dan komersialisasi fasilitas kampus. Sebagai contoh, UGM sebagai salah satu PTN BH, tahun ini menaikkan uang kuliah untuk mahasiswa baru. Selain itu membuka kelas-kelas mandiri dan internasional dengan uang kuliah puluhan juta rupiah.

Sudah barang tentu, orang miskin semakin sulit mengecap pendidikan di kampus karena mahalnya biaya pendidikan. Apalagi mahasiswa yang diterima melalui jalur beasiswa dan subsidi semakin sempit. Bercermin dari harapan Ki Hadjar Dewantara, mustahil pendidikan bisa memerdekaan rakyat dari belenggu kemiskinan, jika orang miskin dipersusah bahkan dilarang mengecap pendidikan.

Korporatisasi pendidikan ini menjadikan kampus sebagai pabrik, dosen/pengajar sebagai buruh dan mahasiswa sebagi produk. sepertinya UGM sudah gagal. Seharusnya buk rektor jangan lagi menggunakan embel-embel kampus kerakyatan ketika berbicara di depan khalayak ramai.  Sudah tidak pantas sepertinya UGM membawa nama seperti itu.

Mahasiswa sebagai produk dipolesi agar siap menjadi pekerja-pekerja (budak) di pasar bebas. Bahkan lucunya dalam PPSMB PALAPA tahun 2015 kita diberikan euforia ASEAN Free Trade Area dan bergembira atas datangnya pasar bebas. Ini sungguh konyol, perguruan tinggi dan mahasiswa baru di doktrinisasi bahwa korporat dan segala unsurnya itu patut disambut dengan baik. Hal yang sama juga ditegaskan seorang tokoh pendidikan dari Amerika Latin, Paulo Freire, dalam bukunya "Pendidikan Kaum Tertindas". Menurutnya, pendidikan adalah media pembebasan untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Membebaskan kaum tertindas dari penjara penindasan. Namun kenyataanya sekarang kampus hanya menjadi produsen pekerja. Tidak kembali kepada esensi awal yaitu pembebasan manusia dan pengabdian pada masyarakat. Sepertinya pengabdian masyarakat sudah bergeser ke pengabdian korporat.

Tidak cukup sampai di situ, korporasi dalam dunia pendidikan kemudian dilegalkan melalui Undang-Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang disahkan pada 17 Desember 2008. Ini lebih parah. Sebab UU BHP ditujukan pada semua lembaga pendidikan formal dari SD hingga PT. Memang, pada akhirnya UU ini dicabut pada 31 Maret 2010 lalu oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Masalahnya tidak bisa menghentikan korporatisasi pendidikan. Semangat otonomi pendidikan tetap mekar.
Sesungguhnya korporatisasi pendidikan sudah bertentangan dengan konstitusi kita. Korporatisasi pendidikan secara halus telah melarang orang miskin mengecap pendidikan. Oleh sebab itu, korporasi dalam dunia pendidikan harus dihentikan.

Timbul pertanyaan, apakah pendidikan kita telah membentuk manusia merdeka dan menjadi media pembebasan? Tentu jawabannya beragam. Tapi untuk menjawabnya, kita bisa melihat realitas yang ada di luar gerbang kampus masing-masing, eh perusahaan maksud saya. Dan mungkin para pembaca akan menemukan apa yang terjadi. 

Pinto Buana Putra
Mahasiswa  dari Universitas yang katanya Buk Rektor Kampus Kerakyatan