Sabtu, 27 Agustus 2016

Paradigma Konsep Hegel dalam Melihat Kontestasi Civil Society dan Negara

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , No comments


Ditulis oleh  Sri Bintang Pamungkas (Mahasiswa DPP Fisipol UGM 2014)

Abstract
It’s still abstract if we talk about whast is the meaning of civil society, there’s nothing a real definition about it. Hegel had his own paradigm when judging and educating about civil society. Then in contemporary context, is civil society become a pre-terms for a democracy grown? Is civil society gives a good constribution for democracy? And is democracy become one and only good concept in stability of its state? Or indeed brings a destroy for a state? It is still become a big question for all of us. In this writing, the writer tries to reflect the civil society from Hegelian’s paradigm and the role of state when solve it. Keyword : civil society, democratization, Hegelian’s Paradigm
Pengantar
Salah satu konsep yang sangat menarik perhatian dalam diskursus mengenai bingkai politik dan konsep good governance dalam suatu negara adalah mengenai konsep civil society. Memang, didalam konsep good governance pemerintah bukanlah satu-satunya aktor tunggal dalam penyelenggaraan kegiatan negara yang berkaitan dengan urusan publik. Didalam good governance secara sederhanaya terbagi kedalam relasi tiga aktor yang meliputi negara, pasar dan civil society itu sendiri. namun dalam tulisan ini saya hanya menjelaskan relasi civil society dan negara sebagai pemegang otoritas. terjemahan istilah civil society ke dalam bahasa Indonesia masih sangat abstrak seperti: masyarakat madani, masyarakat sipil, masyarakat berbudaya, masyarakat kewargaan, dsb. Tetapi, pada dasarnya sudah ada satu kesepakatan bahwa civil society adalah wilayah kehidupan sosial yang terletak di antara ‘negara’ dan ‘komunitas lokal’ tempat terhimpunnya kekuatan masyarakat untuk mempertahankan kebebasan, keanekaragaman, serta kemandirian masyarakat terhadap kekuasaan negara dan pemerintah.[1]
Dalam konteks kontemporer, di era modernisasi dan demokrasi, termasuk di Indonesia civil society mengalami transformasi penguatan yang signifikan sebagai kekuatan otonom dari negara dan telah menjadi salah satu aktor yang cukup penting dalam berpartisipasi penyelenggaraan bernegara. Apakah dengan partisipasi civil society menguatkan budaya demokrasi? Atau justru membuat kontestasi antar civil society demi kepentinganya yang bersifat partikular. Lalu, masih relevankah konsep pandangan Hegel mengenai civil society dalam konteks sekarang ini jika diterapakan di Indonesia?
Pembahasan Konsep Civil Society
Civil society bagi Hegel digambarkan sebagai masyarakat pasca Revolusi Perancis yaitu masyarakat yang telah diwarnai dengan kebebasan, terbebas dari belenggu feodalisme.[2] Dalam penggambaran Hegel ini, Civil Society adalah sebuah bentuk masyarakat dimana orang-orang di dalamnya bisa memilih hidup apa saja yang mereka suka dan memenuhi keinginan mereka sejauh mereka mampu. Negara tidak memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada anggota Civil Society seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal karena negara dan civil society terpisahkan.
Civil society terdiri dari individu-individu yang masing-masing berdiri sendiri atau dengan istilah Hegel bersifat atomis.[3] Akibatnya, anggota dalam civil society tidak mampu mengobyektifkan kehendak dan kebebasan mereka. Kehendak dan kebebasan mereka bersifat subyektif-partikular. Meskipun demikian, masing-masing anggota dalam mengejar pemenuhan kebutuhannya saling berhubungan satu sama lain.[4] Civil society menjadi tempat pergulatan pemenuhan aneka kebutuhan dan kepentingan manusia yang menjadi anggotanya. Dalam kerangka penggambaran ini, civil society adalah masyarakat yang bekerja. Karena kegiatan civil society tidak dibatasi oleh negara, maka dalam civil society terjadilah usaha penumpukan kekayaan yang intensif.
Berkaitan dengan ciri kerja itu, civil society ditandai dengan pembagian kelas sosial yang didasari pada pembagian kerja yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas birokrat atau pejabat publik (public servants).Kelas petani mengolah tanah dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga-keluarga.Kelas bisnis terdiri dari pengrajin, pengusaha manufaktur dan pedagang.Kelas pelayan publik bertugas memelihara kepentingan umum komunitas civil society.[5] Kelas pejabat publik ini bila ditinjau dari gaji yang diperoleh merupakan kelas dalam civil society, tetapi bila ditinjau dari tugasnya, ia termasuk kelas eksekutif dalam negara. Jadi, kelas birokrat atau pejabat publik ini dalam pemikiran Hegel merupakan jembatan dari civil society ke negara.
Filsuf Jerman Hegel (1770-1831) barangkali merupakan orang pertama yang secara tegas membedakan konsep ‘negara’ dan civil society (Sassoon 1983). Menurut Hegel, civil society adalah suatu ‘wilayah’ (sphere) perantara di antara wilayah ‘keluarga’ dan wilayah ‘negara’. Menurutnya, kaum borjuis yang mulai bermunculan di Eropa abad ke-17, melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan negara feudal maupun keluarga, sehingga menciptakan wilayah sosial baru yang ditandai oleh berbagai persaingan ekonomi dalam bentuk kerja, produksi, pertukaran jasa dan barang, serta perolehan harta. Wilayah sosial demikian oleh Hegel disebut civil society atau burgerliche Gesellchaft. Tetapi, Hegel lebih lanjut menyatakan bahwa karena civil society merupakan arena persaingan ekonomi, maka ia mengandung potensi perpecahan, sehingga pada akhirnya negara, sebagai kekuasaan politik yang mengurus kepentingan umum, harus mengontrol civil society agar tidak mengalami disintegrasi.[6]
Maka dari itu civil society harus dididik dan diorganisir dengan baik dari aspek pendidikan maupun institusinya, karena civil society hanya memikirkan dirinya sendiri (particular) dan hanya sibuk mengurusi urusan sehari-hari yang sempit. Jadi civil society tidak diperkenankan untuk menantang negara karena negara adalah entitas yang sempurna dan bersifat universalis dalam menangani individu.
Democratization
Dalam konteks yang kontemporer banyak diskursus mengenai civi society yang semakin masif. Dibanyak negara civil society dianggap sebagai aktor yang sakral dalam proses “demokrasi gelombang jketiga” sebagaimana yang telah dijabarkan oleh Huntington.[7] Lahirnya demokratisasi dipahami sebagai diagnosis berbagai macam “penyakit” akibat krisis kepercayaan terhadap parlemen, kecenderungan para politisi berperilaku curang, hilangnya ideologi orsospol, dan sebagainya. Akhirnya civil society seolah-olah menjadi arena panggung yang sakral dalam analisa politik. Banbyak pakar sepakat bahwa civil society gagasan yang terpenting dalam abad ini. [8] Maka tidak mengherankan jika civil society menjadi aktor yang penting dalam menjatuhkan rezim-rezim yang diktaktor dan mengghantinya dengan wajah demokrasi
Selain itu Putnam juga berpendapat bahwa civil society dipahami sebagai segala bentuk kehidupan sosial yang terorgansir dan terbuka bagi semua kalangan. Menganut prinsip yang otonom, mandiri, partisipatif dan sukarela, hal ini merupakan bagian dari prinsip-prinsip demokrasi.tanpa civil society maka demokrasi tidak dapat dipertahankan. Baginya, civil society merupakan tempat perbedaan kepentingan dinegosiasikan sehingga kehadiranya dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam merepresentasikan kepentingan dan sekaligus memperluas partisipasi politik.[9] Pada tahap “transisi” civil society dapat memprovokasi kejatuhan rezim-rezim yang otoriter melalui protes, demonstrasi, dan berbagai aksi lainya. Sedangkan tahap “konsolidasi” civil society dianggap berperan dalam upaya pembentukan pemerintahan yang transparan, reformis, akuntabel dan bertanggung jawab kepada rakyat (good governance). Serta memastikian bahwa demokrasi merupakan satu-satunya aturan main yang berlaku (the only game in town).[10] Lalu dalam konteks yang kontemporer apakah civil society merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi? Benarkan civil society memberikan kontribusi yang baik bagi demokrasi itu sendiri? dan apakah demokrasi demokrasi menjadi satu-satunya konsep yang baik dalam stabilitas negara? Atau justru membawa destabilitas dalam sebuah negara? Hal ini masih menjadi pertanyaan besar bagi kita semua.
Pengalaman dari beberapa negara-negara di Afrika seperti: Liberia, Kongo bahkan Nigeria justru civil society berperan menghancurkan demokrasi dengan cara penculikan, penyikasaan bahkan pembunuhan dan menjadi ajang aktivitas politik yang mengerikan. [11] Di Eropa Timurpun seperti : Yugoslavia, eks-Uni Soviet dan Macedonia memberikan gambaran civil society justru memperkeruh demokrasi itu sendiri dengan adanya elemen-elemen ekstremisme yang berkembang.[12] Dalam tulisan ini menjelaskan bahwa civil society bukan hanya menjadi solusi,melainkan juga menjadi masalah bagi demokrasi itu sendiri.
Jika menerangkan civil society pada masyarakat negara berkembang, tempat liberalisme bukanlah tradisi dari Masyarakat tersebut. Maka civil society tidak dapat diasosiasikan maupun dikonsolidasikan dengan demokrasi itu sendiri. sama halnya ketika kita melihat civil society di India, Gurpreet Mahajan menyatakan bahwa civil society di India sarat akan ikatan primordial, seperti : kasta, suku, agama, budaya dan ras. Jadi civil society dalam konteks demokrasi tidak cocok diterapkan jika dibandingkan dengan masyarakat barat pada umumnya. [13] Jika kita berbicara mengenai civil society di Indonesia, alangkah lebih baik jika kita berkaca melihat sejarah tahun 1998. Banyak diantara mereka terlalu mengaggung-agungkan kelompok mahasiswa, NGO dan figur politik yang secara mendadak disematkan menjadi “pahlawan reformasi”. Pada saat yang sama mereka juga melupakan “revolusi Mei 1998” yang diwarnai kekerasan, kerusuhan anti-china, pengrusakan, penjarahan, penyiksaan, pemerkosaan bahkan pembunuhan dan merupakan salah satu tragedi yang kelam, dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Itu semua telah menjadi noda yang mencoreng wajah Indonesia menegnai civil society itu sendiri, suka tidak suka momen “kemenangan civil society” yang telah diagung-agungkan atas jatuhnya rezim Soeharto ternyata telah terkontaminasi dengan kekerasan dan pemaksaan atas lahirnya demokrasi itu sendiri. [14]
Apakah demokrasi paska reformasi itu menunjukan hal yang baik? Jika kita melihat paska reformasi justru adanya penguatan rasa primordial dan etnosentrisme tiap-tiap daerah yang semakin kental, hal ini justru berpotensi menghancurkan demokrasi itu sendri. Jack Snyder berpendapat bahwa demokratisasi yang dilakukian secara tiba-tiba didalam masyarakat yang plural justru berpotensi menyulutkan konflik dan kekerasan internal sehingga menciptakan instabilitas politik.[15] Seperti halnya Kalimantan Tengah memiliki sentimen tinggi terhadap anti suku Madura yang tinggi. Hal ini ditengarai oleh suku Madura sebagai pendatang yang memiliki kedudukan strategis dalam mengelola berbagai sektor di Kalimantan Tengah dan diperparah dengan masih banyak dengan termarjinalisasikan suku asli yang ada disana.[16] Bahkan konflik ini kian meruncing hingga sampai pada pertumpahan darah, dimana kurang lebih empat ratus jiwa orang madura tewas terbunuh secara mengenaskan[17]. Inilah salah satu dari sejuta konflik etnis yang melibatkan elemen civil society yang bersifat partikular dan kurangnya pengawasan dan kontrol dari negara terhadap civil society itu sendiri. maka dari itu pentingnnya kehadiran negara ke dalam civil society. Jika terjadi situasi ketimpangan, ketidakadilan, kesenjangan dan ketidaksederajatan, seperti karena adanya dominasi kelas yang satu atas yang lain, dalam masyarakat sehingga sangat perlu adanya peran negara dalam mengatasi itu, karena negara bersifat universal. serta, jika terjadi sesuatu hal yang dapat mengancam kepentingan universal masyarakat sehingga tindakan perlindungan atas kepentingan tersebut sangat dibutuhkan hadirnya peran negara.
Negara dalam Pandangan Hegel
Negara merupakan badan universal dimana keluarga dan masyarakat sipil dipersatukan. Sebagai badan universal, negara mencerminkan kehendak dari kehendak partikular rakyatnya. Keuniversalan kehendak negara sebenarnya telah ada secara implisit dalam kehendak individu masyarakat sipil yaitu ketika mereka mengejar pemenuhan kebutuhan pribadi sekaligus juga memenuhi kebutuhan individu-individu lain dalam masyarakat sipil.[18] Negara mempersatukan segala tuntutan dan harapan sosial masyarakat sipil dan keluarga.
Dalam kedudukannya yang tertinggi, negara mengatur sistem kebutuhan masyarakat sipil dan keluarga dengan memberikan jaminan stabilitas hak milik pribadi, kelas-kelas sosial dan pembagian kerja. Pengaturan negara itu dilakukan melalui hukum. Melalui hukum itu, negara berfungsi untuk memperkembangkan agregat tindakan rasional sebab pembatasan yang dilakukan oleh hukum negara merupakan pembatasan rasional yang diperlukan bagi keberadaan individu-individu lainnya. Kebebasan individu ditentukan oleh rasionalitas manusia. Hukum negara menjadi instrumen untuk mengingatkan manusia agar tidak bertindak irrasional.
Bagi Hegel, negara adalah kesatuan mutlak. Oleh karena itu, Hegel menolak pembagian kekuasaan di dalam negara.[19] Di dalam negara, tidak ada pembagian kekuasaan tetapi yang ada adalah pembagian pekerjaan untuk masalah-masalah universal. Negara yang digambarkan Hegel sebagai ideal dari konsep kesatuannya adalah negara monarki konstitusional yang tersusun dalam Legislatif, Eksekutif dan Raja. Raja merupakan kekuasaan pemersatu dan sekaligus yang tertinggi dari semuanya. Eksekutif merupakan kelompok birokrasi yang pejabatnya diangkat berdasarkan keahlian dan digaji tetapi pekerjaannya menyangkut masalah-masalah universal dan harus bebas dari pengaruh-pengaruh subyektif. Legislatif bergerak di bidang pembuatan hukum dan konstitusi serta menangani masalah-masalah dalam negeri yang dalam hal ini diduduki oleh Perwakilan (Estate) yang terdiri dari kelas bawah yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas tuan tanah. Perwakilan (Estate) dalam legislatif bertugas agar Raja tidak bertindak sewenang-wenang dan mencegah agar kepentingan-kepentingan partikular dari individu, masyarakat dan korporasi jangan sampai melahirkan kelompok oposisi terhadap negara.[20] Dalam hubungannya dengan Raja, Perwakilan ini juga menjadi penasehat Raja. Bagi Hegel, negara monarki konstitusional merupakan bentuk negara modern yang rasional karena monarki konstitusional merupakan hasil pemikiran yang bersifat evaluatif atas monarki lama.[21]
Kesimpulan
Dalam tulisan ini telah dijelaskan beberapa makna dan fenomena terkait dengan civil society itu sendiri. dalam tulisan ini pula penulis mencoba merefleksikan bahwa civil society tidak serta merta adalah elemen yang mampu mendukung dan memperkuat konsolidasi demokrasi. Suatu hal yang tidak benar jika kita terlalu mengagung-agungkan civil society sebagai episentrum dalam kehidupan berdemokratisasi, justru di beberapa fenomena kasus yang telah dipaparkan dalam tulisan ini memperlihatkan fenomena civil society merupakan elemen yang dapat merusak dan menjatuhkan demokrasi itu sendiri. Suka tidak suka civil society adalah bagian dari demokrasi, dan demokrasi adalah bagian dari penyelenggaraan negara. sudah seharusnya negara sebagai pemegang otoritas yang sah mendidik civil society baik dari aspek pendidikan maupun institusionalnya agar tidak terjadi ketimpangan, ketidakadilan, kesenjangan dan ketidaksederajatan yang berimbas pada konflik horintal maupun vertikal bahkan jangan sampai berujung pada pertumpahan darah yang melibatkan civil society itu sendiri.
Civil society bagi Hegel merupakan arena persaingan ekonomi, maka ia mengandung potensi perpecahan, sehingga pada akhirnya negara, sebagai kekuasaan politik yang mengurus kepentingan umum, harus mengontrol civil society agar tidak mengalami disintegrasi. Sedangkan Indonesia adalah negara yang plural, yang terdiri atas beragamnya suku, agama, ras dan budaya butuh adanya kesatuan dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong demi kestabilan suatu negara dan menjadikan bangsa ini mampu berdiri diatas kaki sendiri bukan atas intervensi bangsa lain
Bagi penulis konsep pemikiran Hegel mengenai civil society dan negara cocok diterapkan di Indonesia dalam konteks kontemporer dengan catatan adanya sistem check and balances yang baik, transparan, akuntabel serta bertanggung jawab agar tidak mengulang tragedi sejarah kelam bangsa Indonesia di bawah rezim Orde Baru yang dipelintir oleh penguasa dalam praktik-praktik pemerintahannya
Daftar Pustaka :
jurnal
- International Crisis Group (ICG)(2002). Communal Violence in Indonesia. Lessons from Kalimantan. Jakarta dan Brussels : ICG Asia Report No. 18 - Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol. XXIII, no. 60, 1999 -Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 9, No. 1, Juli 2005
Buku -Aspinall, Edward (2004). ‘Indonesia: Transformation of Civil Society and Democratic Breaktrough’ dalam Muthiah Alagappa (ed). Civil Society and Political Change in Asia. Expanding and Contracting Democratic Space. Stanford : Stanford University Press -G.W.F Hegel (1981). Hegel’s Philosophy of Right. Transl. T.M. Knox. Reprint. London : Oxford University Press -Hikam, M.A.S. (1990). Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. - Kopecky, Petr dan Cas Mudde(2003). ‘Rethinking Civil Society’. Democratization. Vol . 10, No. 3 - Mahajan, Gurpreet (2003). ‘Civil Society and its Avtars’ dalam C. M. Elliot (ed). Civil Society and Democracy : a Reader. Oxford : Oxford University Presss -McLellan, David (1981). “Marx, Engels and Lenin on Party and State.” The Withering Away of State?Party State under Communism, ed. Leslie Holmes. London : SAGE Publications Ltd. -McClelland (1996). J.S. History of Western Political Thought. London : Routledge. - Reno, William (2005). ‘The Politics and Violent Opposition in Collapsing State’. Government and Opposition, Vol. 40, No. 2 -Samuel P. Huntington (1991). The Third Wave : Democratization in the Late Twetieth Century. London. University of Oklahoma Press -Sassoon, A.S. (1983). ‘Civil Society’, dalam T. Bottmore, dkk. (peny.) A Dictionary of Marxist Thought. Cambridge: Harvard University Press. - Snyder, Jack (2000). From Voting to Violence : Democratization and Nationalist. New York : w. W. Norton -Stumpf, Samuel Enoch (1994). Philosophy History and Problems. Fifth edition. New York : McGraw Hill Inc -Sunil Khilanani (2001). The Development of Civil Society. Dalam S. Khilanani dan S. Kaviraj (eds). civil society: Histories and possibillities. Cambridge : Cambridge University Press -Suseno, Franz Magnis (1991). Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta:Gramedia [1] Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yang sama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol. XXIII, no. 60, 1999, hlm. 3–10 [2] J.S. McClelland, A History of Western Political Thought (Fifth Ed.: London, 1996), hal. 531. [3] Bdk. Hegel’s Philosophy of Right, transl. T.M. Knox (Reprint: London, 1981) No.255 dan No. 238 [4] Ibid. No.189 – 195. Lihat juga Andrew Calabrese, “The Promise of Civil Society: A Global Movement for Comunication Rights,” Continuum : Journal of Media dan Cultural Studies, 3 (September 2004), hal. 319. [5] Ibid. No.202-243. [6] Perbedaan konsep ‘negara’ dan civil society adalah pendapat yang diterima secara umum, namun peneliti masalah civil society seperti John Keane (1988a:62- 63) membantah pendapat demikian. Menurutnya, sebelum Hegel sudah ada banyak penulis Inggris, Perancis dan Jerman yang membahas hubungan antara civil society dan negara. [7] Bahasan lebih mendalam tentang demokrasi gelombang ketiga dapat dilihat dalam Samuel P. Huntington (1991) The Third Wave : Democratization in the Late Twetieth Century. London. University of Oklahoma Press [8] Sunil Khilanani (2001). The Development of Civil Society. Dalam S. Khilanani dan S. Kaviraj (eds). civil society: Histories and possibillities. Cambridge : Cambridge University Press [9] Robert Putnam (1996). ‘Bowling Alone : America’s Dedining Social Capital’ dalam Larry Diamond dan Marc Platner (eds). The Global Resurgency of Democracy. Baltimore : The Johns Hopkins University Press [10] Linz, Juan dan Alfred Stephan (1996). Problem of Democratic Transition and Consolidation: South Europe, South America, and Post Communist Europe. Baltimore : The Johns Hopkins University Press [11] Lihat William Reno (2005). ‘The Politics and Violent Opposition in Collapsing State’. Government and Opposition, Vol. 40, No. 2 [12] Lihat Petr Kopecky dan Cas Mudde(2003). ‘Rethinking Civil Society’. Democratization. Vol . 10, No. 3 [13] Gurpreet Mahajan (2003). ‘Civil Society and its Avtars’ dalam C. M. Elliot (ed). Civil Society and Democracy : a Reader. Oxford : Oxford University Presss, hal. 188 [14] Lihat Aspinall, Edward (2004). ‘Indonesia: Transformation of Civil Society and Democratic Breaktrough’ dalam Muthiah Alagappa (ed). Civil Society and Political Change in Asia. Expanding and Contracting Democratic Space. Stanford : Stanford University Press [15] Lihat Jack Snyder (2000). From Voting to Violence : Democratization and Nationalist. New York : w. W. Norton [16] International Crisis Group (ICG)(2002). Communal Violence in Indonesia. Lessons from Kalimantan. Jakarta dan Brussels : ICG Asia Report No. 18, hal. 18 [17] Lbid hal. 5 [18] Lihat Samuel Enoch Stumpf, Op.Cit, hal. 338. Lihat juga Franz Magnis-Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta:1991), hal. 247-250 [19] Lihat Hegel’s Philosophy of Right No. 272 [20] Ibid No.302 [21] Lihat J.S. McClelland, Op.Cit, hal. 532-533.

Kamis, 11 Agustus 2016

Dekonstruksi Makna Mahasiswa

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , 1 comment

Iron stock, agent of change, moral force, dan agen pembangunan adalah sedikit dari sekian banyak julukan atau embel-embel yang disematkan kepada kelompok pemuda-pemudi yang sedang menempuh pendidikan tinggi yang biasa kita sebut: Mahasiswa. Selain julukan-julukan tersebut, pemaknaan beprestasi bagi mahasiswa yang sering diidentikan dengan IPK tinggi, menjuarai perlombaan, menjadi pemimpin di organisasi, sukses menyelenggarakan event besar, juga sering kita dengar bahkan kita percayai. Julukan-julukan dan pemaknaan berprestasi tersebut tentu saja tidak datang dengan sendirinya, semua hal tersebut tentu dikonstruksikan kedalam pikiran kita oleh pihak yang berkepentingan. Lantas siapa pihak yang berkepentingan itu? Sebelum kita jawab pertanyaan tersebut, mari kita tenggok terlebih dahulu sejarah singkat pemaknaan tentang menjadi pemuda (yang kemudian berubah menjadi mahasiswa) di Indonesia.
Hilmar Farid (2011) dalam tulisannya yang berjudul Meronta dan Berontak: Pemuda dalam Sastra Indonesia menunjukan bahwa pemaknaan menjadi pemuda dan gerakan pemuda direpresentasikan berbeda pada setiap era. Pada awal abad ke-20, pemuda digambarkan sebagai mereka yang bersinggungan dekat dengan ‘kemajuan’ berkat persentuhannya dengan kultur Eropa. Representasi yang lain lagi nampak pada era Perang Kemerdekaan. Pada era Orde Baru, pemuda digambarkan sebagai pemberontak. Keberagaman ini membuat Farid menyimpulkan bahwa tak ada gerakan pemuda yang sejati. Pemuda adalah ‘floating signifier’ yang tak punya sifat tetap. Karakternya akan terus berubah dari masa ke masa. Tulisan Hilmar Farid ini juga punya makna tersirat bahwa julukan-julukan dan pemaknaan beprestasi yang melekat pada mahasiswa sekarang ini bukanlah hal yang alami, semua itu adalah artificial atau buatan. Dan pembuatnya tentu saja mereka yang punya kepentingan dan kuasa: Negara.
Kepengaturan Negara pada Mahasiswa
Tadzkia Nurshafira dan Rizky Alif Alvian (2015) menunjukan bahwa secara umum ada dua hal yang diharapkan negara pada pemuda (dalam hal ini mahasiswa). Pertama, pemuda diharapkan untuk memperkuat daya kompetisi negara di ekonomi global. Kedua, pemuda diharapkan menjadi pewaris dari nilai-nilai generasi tua. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana negara membuat mahasiswa mengikuti keinginan mereka?. Kita bisa melihat fenomena ini dari kacamata analisis Foucauldian. Michel Foucault, seorang filsfuf dari Prancis, mengemukakan konsep yang dinamainya governmentality. Foucault menjelaskan bahwa governmentality atau kepengaturan adalah “ensemble formed by the institiutions, procedures, anlyses and reflections, the calculations and tactics, that allow the exercise of this very specific albeit complex form of power” (Foucault, 1979). Sederhananya kepengaturan adalah sebuah konsep atau boleh juga disebut alat penggiring niat, pembentuk kebiasaan, harapan dan kepercayaan. Berbeda dengan disiplin yang dilakukan melalui paksaan dan hukuman seperti yang dikatakan oleh Foucault dalam bukunya tentang penjara di Prancis, kepengaturan lebih mengacu pada pengontrolan yang dilakukan oleh agen modern dengan tujuan kemaslahatan orang banyak meskipun dalam prakteknya bisa saja dilakukan untuk keuntungan segelitir orang.
Contoh konkritnya seperti ini, pada zaman Orde Baru pendisiplinan mahasiswa dilakukan dengan program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Pada era tersebut NKK-BKK dilaksanakan dengan sistem pendisiplinan ketat seperti penangkapan para aktivis mahasiswa ketika itu. Pasca Reformasi tentu saja cara semacam itu tidak mungkin lagi dilakukan mengingat gelombang demokratisasi dan kesadaran akan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia yang semakin tinggi. Akhirnya dipilihlah NKK/BKK model baru. Lantas bagaimana bentuk NKK/BKK model baru tersebut? Contoh paling jelas tentu mahalnya Uang Kuliah Tunggal dan terbitnya Permendikbud No 49 Tahun 2014 (Pelaksanaan Permendikbud tersebut akhirnya ditunda) tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi yang memaksa pihak univeristas menekan para mahasiswa agar bisa lulus dalam jangka waktu maksimal 5 tahun. Jika mereka melebihi batas waktu tersebut, maka mereka akan didrop out (D.O). Orientasi para mahasiswa pun mulai berubah menjadi sekadar kegiatan kelas: datang, duduk, absen, lalu pulang. Contoh lain adalah Program Kreativitas Mahasiswa dan menjamurnya event-event yang diselenggarakan oleh mahasiswa. Menulis untuk Program Kreativitas Mahasiswa memang baik untuk pembelajaran riset. Namun pertanyaannya, apakah menulis PKM dilakukan dengan intensi pengetahuan atau dengan motif ekonomis? Kita tentu tak sulit menemukan peserta PKM yang melakukan mark-up anggaran PKM-nya untuk kepentingan ekonomis. Soal event, negara lewat agennya dalam hal ini kampus gencar mendorong mahasiswanya untuk menyelenggarakan event yang tujuannya tentu saja melatih mahasiswa menarik harti para investor menanamkan modalnya ke acara mereka. Wacana tentang mahasiswa sebagai pilar utama bonus demografi 2030 yang juga gencar disosialisasikan tentu bisa kita masukan dalam bentuk kepengaturan negara pada mahasiswa.
Dekonstruksi: Hal yang Mungkin Bisa Kita Lakukan
Lantas pertanyaan berikutnya adalah, apa yang harus kita lakukan sebagai mahasiswa? Saya tentu tidak punya wewenang untuk memutuskan apa yang harus kita lakukan tetapi saya setidaknya punya jawaban untuk pertanyaan apa yang mungkin bisa kita lakukan. Jawaban saya datang dari pemikiran teman Michel Foucault yang juga berasal dari Prancis, Jacques Derrida. Derrida seperti banyak filsuf lain bicara hal yang kita anggap sederhana dengan cara yang sangat rumit tentu saja. Dan kalau boleh saya sederhanakan sebenarnya Derrida bicara tentang bahasa, utamanya bahasa teks atau tulis. Mengapa bahasa? Karena di dalam bahasa itu tersimpan sesuatu yang sangat penting bagi manusia; sesuatu yang sangat esensial. Bahasa mengandung “makna yang dianggap benar” Derrida menyebutnya “keutamaan bahasa”. Bagi Derrida, “Keutamaan bahasa” atas tulisan menunjukkan adanya represi sebuah logika terhadap logika yang lain. Lewat struktur argumen yang runtut dan logis, sebuah logika berusaha menjadi benar sambil menunjukkan logika lain salah. Dan hal tersebut hanya bisa terjadi dengan adanya otoritas atau kewenangan untuk menentukan makna suatu hal.
Lalu apa hubungannya pemikiran Derrida tadi dengan hal yang mungkin kita bisa lakukan sebagai mahasiswa? Derrida kemudian mengajukan suatu cara pembacaan untuk menghilangkan represi sebuah logika terhadap logika lainnya yang ada didalam bahasa. Cara pembacaan itu dia sebut: dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan cara pembacaan yang unik. Ia destruktif sekaligus konstruktif dalam waktu bersamaan. Mudahnya, Derrida beranggapan bahwa pembaca bebas memaknai bacaan. Pembaca komik Batman bebas memaknai bahwa sesungguhnya Batman adalah penjahat juga karena dia sering main hakim sendiri dan pembaca juga bebas memaknai bahwa sesungguhnya Joker adalah orang yang baik karena ia selalu mengungkapnkan the painful truth atau kebenaran yang menyakitkan. Dekonstruksi lah yang mungkin bisa kita lakukan sebagai mahasiswa. Kita bebas memaknai bagaimana menjadi mahasiswa. Kita tidak perlu terikat dengan konstruksi mahasiswa harus ini dan harus itu. Kita bebas menjadi mahasiswa tipe apapun. Mau menjadi mahasiswa yang hanya kuliah pulang, akademisi, aktivis, event organizer dll atau bahkan menjadi semuanya dalam satu waktu sekaligus semua bebas terserah anda. Menarik bukan? Lepas dari itu semua, tulisan saya ini sifatnya adalah opini pribadi jadi anda tak tentu tak wajib mengikuti tulisan saya ini. Yang jelas bagi saya, manusia (termasuk mahasiswa tentu saja) yang paling baik adalah yang berguna bagi manusia lain, selebihnya terserah anda tentu saja.
Ditulis oleh Dendy Raditya Atmosuwito (Mahasiswa MKP Fisipol UGM 2014, Kader HMI Fisipol UGM)
Tulisan dimuat dalam Balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2016

Rabu, 10 Agustus 2016

Kenapa Ketua MWA UGM Harus Menteri?

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , 2 comments

Kenapa Ketua MWA UGM Harus Menteri?


Menteri Sekretrais Negara (Mensesneg) Prof. Drs. Pratikno, M.Soc.Sc., Ph.D., terpilih sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada (MWA UGM) untuk periode 2016 – 2021. Demikian inti berita serah terima jabatan (sertijab) MWA UGM pada laman resmi UGM–www.ugm.ac.id–yang dirilis Senin ini (8/8). Sertijab yang diadakan Sabtu (6/8), itu akhirnya menjawab teka-teki segenap sivitas akademika UGM–sekaligus mengonfirmasi “kabar-kabar burung” yang beredar di lingkungan Rektorat UGM–berkenaan dengan sosok siapa yang akan menjabat Ketua MWA UGM pengganti Prof. Drs. Sofian Effendi, MPIA., Ph.D., sebagai Ketua periode 2012 – 2016. Sebelum dilanjutkan, penulis sampaikan permohonan maaf jika artikel ini memakan paragraf yang relatif banyak. 

Para Anggota MWA periode sekarang sebenarnya telah dipilih dan ditetapkan dalam Rapat Pleno Khusus Senat Akademik (SA) UGM tanggal 28 April 2016. Menariknya, para anggota baru ini tidak ada satu pun yang terafiliasi sebagai ‘anggota aktif’ atau menjadi pimpinan partai politik (parpol). Ini berbeda dengan keanggotaan sebelumnya–penulis termasuk di dalamnya mewakili unsur mahasiswa S1 pada tahun 2014 – 2015–yang diisi oleh setidaknya tiga anggota aktif parpol yaitu, Luhut Binsar Panjaitan (Partai Golkar), Herry Zudianto (PAN) dan Bambang Praswanto (PDI-P). Meskipun sebenarnya, di atas kertas dua orang pertama tersebut mewakili unsur tokoh masyarakat, sementara yang terakhir mewakili unsur alumni. Pada periode kali ini, tampak keanggotaan diisi oleh para profesional dan bukan ‘politisi’. 

Pertanyaan kemudian, kenapa Ketua MWA UGM sekarang harus dijabat oleh seorang Menteri? Sesungguhnya, artikel ini bukan bermaksud untuk menjawab pertanyaan penting tersebut. Artikel ini, betul-betul sebagai sebuah pertanyaan yang didasarkan pada landasan-landasan yuridis dan sosio-politik. Namun, artikel ini juga akan memberikan gambaran-gambaran tertentu sebagai jawaban kasar dan implisit atas pertanyaan sekaligus judul artikel ini. Dan, sebelum terlalu jauh, artikel ini hanyalah sebuah ekspresi penulis sebagai sivitas akademika semata yang punya perhatian atas almamaternya, tanpa memiliki tendensi apa-apa apalagi kepentingan yang bersifat politis. 

Landasan Yuridis 

Pertanyaan besar dari artikel ini, pertama sekali muncul merujuk pada landasan yuridis yang mengatur UGM, dalam hal ini dua peraturan penting yang digunakan ialah Peraturan Pemerintah (PP) No. 67 Tahun 2013 tentang Statuta UGM dan Peraturan MWA No. 4 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kelola (Governance) UGM, selanjutnya disebut OTK. Statuta dan Peraturan MWA merupakan peraturan tertinggi di dalam hirarki peraturan di internal UGM. Lalu, apa masalahnya? Masalahnya terletak pada Pasal 29 ayat 3 poin b dan c jo. Pasal 46 ayat 4 poin b OTK. Pada kedua pasal tersebut, intinya berbunyi “Pimpinan (Ketua dan Sekretaris) MWA dilarang memangku jabatan rangkap sebagai jabatan pimpinan atau jabatan struktural di instansi Pemerintah atau pemerintah daerah, dan/atau jabatan lain yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan kepentingan UGM”. 

Bila kita jujur dalam menjalankan amanat pasal-pasal di atas, maka tentu tidak boleh seorang Menteri menjabat sebagai pimpinan, apalagi Ketua. Penulis akui, sama sekali penulis tidak paham apa yang terjadi di dalam internal MWA dalam proses pemilihan Ketua sehingga mengeluarkan nama Prof. Pratikno. Namun, sebagai orang awam yang membaca teks hukum di atas sangat jelas bahwa pemilihan Prof. Pratikno tampak melanggar hukum. Posisi beliau di struktur pemerintah bukan posisi yang main-main, Menteri Sekretaris Negara, oleh Prof. Sofian sendiri diibaratkan sebagai leher presiden, mengingat betapa vitalnya jabatan Mensesneg. Jadi, tidak masuk di akal penulis mengapa Prof. Pratikno dipilih dan bersedia dipilih sebagai Ketua? Apakah tidak ada sosok anggota lain yang bersedia, setara dengan atau lebih baik daripada Prof. Pratikno? 

Pertanyaan terakhir di atas, bukan sama sekali penulis maksud untuk meragukan Prof. Pratikno, bukan. Penulis paham betul akan kompetensi, kapasitas, integritas, kapabilitas bahkan rasa cinta beliau yang amat tinggi kepada Kampus Biru. Lima tahun penulis menjadi mahasiswa UGM, lima tahun itu pula penulis tahu, kenal dan bahkan pernah berinterkasi dengan beliau. Baik dalam kapasitas penulis sebagai mahasiswa beliau di Departemen Politik dan Pemerintahan, Sekretaris Jenderal BEM KM UGM 2014 maupun keanggotaan penulis di dalam MWA tahun 2014 – 2015. Jadi, penulis sama sekali tidak berkeberatan jika beliau memimpin MWA, tentu dengan sikap mengabaikan pasal-pasal yang sudah disebutkan di atas. 

Selain pasal tentang rangkap jabatan tersebut yang tercantum di dalam Statuta dan OTK di atas, larangan merangkap jabatan bagi seorang menteri juga jelas tertera di dalam UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 1 ayat 2 UU No. 39/2008 disebutkan bahwa Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin Kementerian. Lalu pada Pasal 23 terdapat larangan rangkap jabatan bagi seorang menteri sesuai dengan poin a, b dan c pada pasal tersebut. Penulis merasa, Prof.Pratikno melanggar poin c yang bahwa, Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD. Jelas sekali UGM merupakan institusi yang sebagian dari pembiayaannya berasal dari APBN/D sesuai dengan Pasal 63 ayat 1 dan ayat 2 poin e Statuta jo. Pasal 142 ayat 1 dan ayat 2 poin f OTK. RKAT UGM 2016 misalnya, mencantumkan penerimaan dana dari Pemerintah sekitar Rp 1,007 triliun dari total penerimaan sekitar Rp 2,470 triliun. 

Sebagai yang awam hukum, penulis mafhum jika pada pasal ini ada pendapat yang menyatakan tidak melanggar ketentuan. Sebab, UGM sebagai sebuah organisasi dipimpin oleh Rektor dan dibantu para Wakil dalam menjalankan tugas-tugas eksekutif organisasi. Tetapi, apakah pimpinan MWA tidak bisa disebut sebagai bagian dari pimpinan UGM? Atau, apakah MWA itu bukan merupakan sebuah unit organisasi yang ada di dalam organisasi besar UGM, yang pembiayaannya juga inheren dengan RKAT UGM yang sebagian bersumber dari Pemerintah itu? Bukankah setiap kebijakan MWA sebagai organ “tertinggi” di UGM akan berpengaruh pada gerak langkah dan kebijakan Rektor? Mungkin para ahli hukum lebih tepat menjawabnya, terutama dari Bagian Hukum dan Organisasi UGM yang penulis duga pasti telah memberikan pendapat dalam hal ini. 

Landasan Sosio-Politik 

Sekarang, mari kita masuk pada landasan sosio-politik (sospol) yang mungkin akan tampak lebih pragmatis. Pertama, pengalaman sebelumnya. Saat penulis masih aktif sebagai Anggota MWA tahun 2014 – 2015, Prof. Sofian mengundurkan diri sebagai Ketua karena beliau memegang amanah baru sebagai Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) RI, pengunduran diri beliau sebagai Ketua kira-kira alasannya sama dengan uraian di awal tentang larangan merangkap jabatan. Sampai penulis mengundurkan diri dari keanggotaan tanggal 1 Juni 2015, sepengetahuan penulis telah disepakati salah satu Anggota, Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.KK(K)., diajukan sebagai Ketua meneruskan sisa masa jabatan sampai 2016 kepada Menristek Dikti. Namun, tampaknya sampai berakhirnya masa bakti periode 2012 – 2016, SK pergantian Ketua itu tidak kunjung keluar–lagi-lagi sepengetahuan penulis demikian. 

Bercermin dari teladan yang baik dari Prof. Sofian sebelumnya, itulah yang membuat penulis cukup terkejut atas terpilihnya Prof. Pratikno. Pada pasal larangan merangkap jabatan di atas, disebutkan bahwa larangan itu berlaku untuk posisi yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan UGM. Lantas, apakah jabatan Mensesneg itu tidak menimbulkan potensi konflik kepentingan? Saya yakin, konflik kepentingan atau vested interest tidak akan muncul dari pribadi Prof.Pratikno sebagai seorang individu, mengacu pada rekam jejak beliau yang bersih dengan segala kelebihan yang dimiliknya. Tetapi, konflik kepentingan ini harus dibaca dalam makna yang lebih luas lagi, terutama terkait jabatan beliau sebagai Menteri yang notabene itu merupakan jabatan politis. Bahkan, semua menteri baik dari kalangan parpol, profesional, aktivis ataupun teknokrat, selama mereka masih aktif sebagai pembantu presiden sejatinya mereka juga adalah politisi. 

Kita tentu tidak ingin UGM sebagai institusi akademik yang otonom, selalu dikait-kaitkan dengan masalah politik praktis di negeri ini. Peran ganda yang sama besar dimainkan oleh banyak intelektual-politisi UGM saat ini sebenarnya sangat mengkhawatirkan bagi kredibilitas UGM yaitu, di satu sisi masih aktif dan berpengaruh dalam pengambilan kebijakan di kampus (Rektorat), dan di sisi yang lain mereka merupakan orang-orang penting dengan posisi strategis di pemerintahan (Istana). Peran ganda ini dalam suatu waktu oleh masyarakat, dapat dibaca bahwa tindakan politik para intelektual-politisi ini pada saat bersamaan mencerminkan sikap UGM. Kita bersyukur bila tindakan politik itu menghasilkan kemaslahatan bagi masyarakat, dan kita selalu berdoa untuk itu. Tetapi, bagaimana jika satu waktu tindakan tersebut merugikan masyarakat yang berujung pada tercorengnya nama baik UGM di mata masyarakat? 

Lagipula, bukankah tiga anggota MWA terpilih adalah menteri-menteri (Mensesneg, Menhub, Menteri PUPR) yang strategis dan semuanya alumni UGM? Kalau kita ingin jujur, sejak terpilihnya Jokowi sebagai Presiden dan keterlibatan banyak intelektual kampus ini “menyokong” kemenangan dan jalannya pemerintahan sampai saat ini. Di alam batin masyarakat Indonesia, itu menganggap UGM sekarang sebagai kampus yang teramat politis dan bahkan, diafiliasikan dengan kelompok-kelompok politik tertentu di negeri ini. Tentu, terpilihnya Jokowi (Alumni UGM) pasti akan lebih membuka pintu dan peluang “ekonomi” bagi UGM dalam upaya pengembangan akademik maupun infrastruktur kampus. Untuk itu, kita maklum jika dibutuhkan orang-orang terbaik sebagai penghubung (hub) komunikasi yang andal antara Bulaksumur denga Istana. Penulis tidak berarti menyatakan bahwa Prof. Pratikno-lah hub terbaik itu meskipun, indikasi ke arah tersebut cukup meyakinkan. 

Membangun hubungan baik dengan pemerintah itu penting dan wajib bagi UGM, tetapi bukan satu-satunya yang penting. Ketua MWA memiliki tugas berat dan mulia untuk mengembangkan UGM supaya lebih maju, berkualitas dan modern. Bahkan, Prof. Pratikno sendiri mengakui beratnya tugas tersebut seperti yang dikutip dari laman berita resmi UGM dan penulis sebutkan di muka artikel. Lalu, mengapa beliau bersedia mengemban amanah tersebut? Apakah jabatan sebagai Mensesneg tidak membutuhkan perhatian yang besar dari beliau, sehingga memiliki keluangan waktu untuk mengurus MWA? Kenapa jabatan Ketua itu tidak diserahkan saja kepada mereka yang sehar-hari berada di UGM, memiliki keluangan waktu jauh lebih besar untuk mengurus MWA UGM. Bukankah dari anggota terpilih terdapat para Guru Besar yang tidak perlu kita sangsikan pula integritas dan perhatiannya untuk UGM? 

Penulis rasa akan lebih arif dan bijak, jikalau Prof.Pratikno cukup menjadi anggota biasa saja. Biarkan posisi pimpinan itu diserahkan kepada mereka yang tidak memiliki dan tidak melekat “unsur politis” pada dirinya. Toh, dengan menjadi anggota pun Prof.Pratikno tetap bisa memainkan peran yang strategis dengan posisi dan pengaruh beliau yang kuat, dan harus diakui bahwa beliau masih tetap dibutuhkan UGM. Sejatinya, sekarang Prof. Pratikno agar lebih fokus saja membantu Presiden untuk memecahkan persoalan-persoalan besar bangsa yang belum diselesaikan. Supaya Nawacita bisa dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat dan Jokowi bisa dinilai sebagai Presiden yang sukses. Yakinlah, bagi masyarakat kesuksesan Jokowi adalah kesuksesan UGM juga. Sebaliknya, kegagalan Jokowi mau tidak mau juga akan dianggap sebagai kegagalan UGM. 

Penulis, merasa bersyukur dulu ketika Prof.Pratikno dipercaya Presiden untuk ikut dalam pemerintahan sehingga dapat membangun sistem pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance) dari dalam, seperti yang sering beliau ajarkan kepada kami para mahasiswanya di kelas-kelas perkuliahan dulu. Tetapi, mengetahui beliau harus turun gunung dengan mengambil posisi Ketua MWA, muncul pertanyaan mengapa beliau dulu tidak istikamah saja menjadi Rektor sampai selesai supaya bisa benar-benar fokus mengurus UGM. Dengan menjadi Rektor juga beliau pasti masih bisa ikut andil dalam membangun pemerintahan yang baik. Kita pun, sivitas akademika UGM tidak akan berkurang sedikitpun rasa bangga dan hormat kepada beliau, bila beliau memilih jalan untuk tetap menjadi Rektor. Apalagi, MWA memiliki kewenangan untuk memilih Rektor, bukankah tahun depan akan ada suksesi di Rektorat? Tentu, pikiran-pikiran sempit seperti ini tidak ingin kita kaitkan secara politis atas keterpilihan Prof. Pratikno sebagai Ketua. Meskipun, wajar dan sah-sah saja jika orang memiliki pemikiran demikian. 

Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Tulisan ini pun tidak akan pernah berpengaruh sama sekali dalam masalah ini. Lagi-lagi, ini hanya sebuah ekspresi penulis akan rasa cinta terhadap almamater, sekaligus sebagai bentuk rasa hormat dan kagum penulis atas sosok Prof. Pratikno sendiri selama ini. Saya sadar, pasti akan ada pihak yang tidak setuju dengan pendapat penulis. Jika, kritikan itu berasal karena perasaan cinta terhadap UGM maka, penulis akan membela diri bahwa artikel ini pun ditulis karena perasaan cinta penulis yang sama besarnya atau bahkan jauh lebih besar dari pengkritik. Tetapi, jika kritikan itu berasal dari alasan dan motivasi yang lain. Penulis dengan rendah hati tidak akan membela diri dari kritikan, karena alasan-alasan lain itu memang penulis abaikan sama sekali sedari awal. 

Terakhir, ada baiknya dari pihak MWA, Bagian Hukum UGM atau Prof. Pratikno sendiri memberikan klarifikasi kepada sivitas akademika terkait masalah yang penulis ajukan. Penulis khawatir, ketidakpandaian penulis dalam menafsirkan pasal-pasal di atas merupakan pangkal dari munculnya pertanyaan ini. Atau, bisa jadi ada peraturan lain yang penulis tidak ketahui di mana peraturan baru tersebut mengafirmasi pasal-pasal tersebut, sehingga menjabat rangkap sudah bukan menjadi kendala lagi. Sebab, penulis yakin pertanyaan yang sama tentu, juga muncul di setiap orang yang memiliki perhatian atas masalah ini. Penulis amat yakin, jika ada penjelasan yang rasional atas judul artikel ini. Tidak akan ada satu orang pun yang berkeberatan jika, Prof. Pratikno memimpin MWA.

Ditulis oleh Ekamara Ananami Putra ( Mahasiswa Politik & Pemerintahan Fisipol UGM 2011, Ketua Bidang Litbang HMI Cabang Bulaksumur 2015-2016, Anggota MWA UGM 2014-2015)

Tulisan dimuat di http://www.kompasiana.com/ekamara/kenapa-ketua-mwa-ugm-harus-menteri_57a9b163f87a614319f28e2d

Minggu, 07 Agustus 2016

Percaya Adalah Kelemahan

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , No comments



Sebelum kita mulai, beberapa hal yang perlu saya luruskan adalah mengenai konsep percaya. Menurut KBBI, percaya adalah meyakini tentang keberadaan sesuatu. Percaya menurut filsafat (disebut credo), menurut Newberg dan Waldman bahwa “Credo Ergo Sum” (aku percaya maka aku ada).  Percaya adalah dasar eksistensi manusia, jika tidak ada kepercayaan maka tiada pula keberadaan.[1] Termasuk dalam credo ini adalah iman. Iman kepada Tuhan bukanlah salah satu kelemahan yang akan saya bahas dalam tulisan ini, karena penulis sendiri percaya bahwa percaya pada keberadaan Tuhan memberikan rasa cinta dan takut yang sesungguhnya berguna.

Rasa percaya yang penulis maksudkan berbahaya adalah rasa-rasa percaya dalam kehidupan politik dan sosial. Berikut adalah beberapa kepercayaan yang menurut penulis adalah sebuah kelemahan :

1.      PERCAYA BAHWA NEGARA MEMUDAHKAN ANDA
Apakah berarti negara malah menyusahkan anda? Begini, menurut kaum kiri (Marxis terutama) negara adalah alat yang digunakan oleh kaum-kaum borjuis untuk menguasai ekonomi. Ini berarti bahwa dengan adanya negara sebagai bentuk otoritas, hanya akan membuat kaum-kaum proletar semakin tertindas. Pada sisi lainnya, kaum kanan baru (New-Right) mengatakan bahwa negara hanyalah penghalang bagi sistem ekonomi pasar. Banyak regulasi-regulasi yang dibuat oleh negara seperti pajak, batas harga, standar upah, dsb yang menghambat kinerja pasar.

2.      PERCAYA BAHWA ADA NIAT TULUS DALAM POLITIK
Saya selalu mengutip kata-kata Nick Fury dalam film Captain America : Winter Soldier. Samuel L. Jackson yang memerankannya berkata “Cintai manusia, tapi jangan percaya manusia”. Teori pilihan rasional Coleman tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa “tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan itu) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi)”[2]. Secara singkat teori ini menggambarkan bahwa individu, termasuk politisi menggunakan cara hitung ekonomis dalam menentukan tindakannya. Segala tindakan-tindakan aktor politik selalu berbasis untung rugi, gaya politik a la Machiavelli ini selalu bisa kita lihat. Banyak sekali politisi maupun partai politik yang mengabaikan dimensi-dimensi profetik dari politik. Tidak mengherankan jika manuver-manuver politisi selalu menyesuaikan dengan sumber daya yang diperebutkan.

3.      PERCAYA PADA NORMA ATAU ATURAN
Norma terbentuk atas dasar konsensus. Konsensus yang bisa jadi sudah ada sebelum anda terlahir ke dunia. Lalu, atas dasar apa anda harus mematuhi konsensus ini? Merujuk pada teori pilihan rasional di atas, bahwa fenomena makro konsensus terhadap norma ini adalah hasil tawar menawar. Ada aktor yang memaksimalkan keuntungan dengan diadakannya sebuah aturan, aturan juga sengaja dibentuk oleh aktor untuk menekan kerugiannya.

Berikut tadi adalah rasa-rasa percaya yang menurut penulis adalah kelemahan meskipun di awal tadi penulis mengutip “Credo Ergo Sum”, sudut pandang lainnya adalah keraguan. Karena keraguan akan membuat anda terus berpikir. Seperti kata Descartes, “Cogito Ergo Sum” yang artinya aku berpikir maka aku ada.

Ditulis oleh Fatra Yudha Pratama (Mahasiswa Politik & Pemerintahan Fisipol UGM 2014, Kader HMI komisariat Fisipol).

Tulisan ini dimuat dalam blog pribadi penulis di fatrayudhapratama.blogspot.co.id

_______________

[1] M. Joshua, ‘Antara Cogito (Berpikir) dan Credo (Percaya) Untuk Ada (Ergo Sum): Apakah Berpikir dan Percaya Saling Bertentangan?’, Kompasiana (daring), 25 Juni 2015, , diakses 7 Agustus 2016
[2] ‘Teori Pilihan Rasional James S. Coleman’, Mistersosiologi (daring),http://www.mistersosiologi.com/2015/03/teori-pilihan-rasional-james-s-coleman.html, diakses 7 Agustus 2016

Selasa, 02 Agustus 2016

Rangkuman Diskusi Online : Analisa Reshuffle Kabinet Kerja

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , , No comments


Pada Jumat, 29 Juni 2016 kami anggota HMI komisariat Fisipol UGM mengadakan diskusi melalui media sosial Line. Diskusi ini diadakan atas respon kami melihat fenomena reshuffle kabinet kerja Presiden Jokowi Jilid II. Pada awalnya kami memperhatikan reshuflle kali ini secara umum--adanya manuver politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi yang seolah-olah ingin mengamankan jalannya roda pemerintahan. Masuknya nama-nama baru dalam kursi menteri adalah cara presiden untuk mengamankan kegaduhan dalam pemerintahan. Stabilitas politik jelas modal utama mengejar target pertumbuhan ekonomi.
Ditambah momentum reshuffle ini tentunya merupakan konsekuensi dari bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Golongan Karya (Golkar) ke poros koalisi pemerintahan. Pertanyaan pertama timbul sebegitu besarkah peran partai dalam pemerintahan? Sangat kita pahami bahwa dukungan partai sekaliber PAN dan Golkar cukup vital bagi kelangsungan kekuasaan eksekutif. Jika kita berkaca efek bergabungnya PAN dan Golkar ke poros pemerintahan. Maka kekuasaan legislatif akan semakin bisa dikendalikan. Karena mayoritas kursi di Legislatif yaitu delapan partai dengan total lebih dari separuh sudah dikondisikan oleh partai poros pemenang eksekutif.

Kemudian dalam aspek kebijakan jelas fokus utama dari pemerintahan ini adalah meningkatkan laju perekonomian nasional. Terlihat dari mayoritas menteri yang direshuffle berhubungan erat dengan aspek perekonomian. Namun kami melihat komposisi yang ditawarkan oleh reshuflle kabinet ini hanya menawarkan stabilitas ekonomi semu. Reshuflle kabinet kali ini seolah-olah memberikan tanda bahwa Indonesia adalah negara yang potensial bagi para investor. Pemerintahan hanya fokus terhadap pertumbuhan ekonomi dengan mengharap kepada investasi asing. Analisa tersebut berangkat dari bergabungnya Sri Mulyani yang telah berkecimpung di perbankan internasional serta pola kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan investasi asing daripada meningkatkan potensi ekonomi dalam negeri. Tentunya pemerintah harus mengetahui bahwa menggenjot pertumbuhan ekonomi, mendorong investasi besar-besaran bukan jalan yang adil bagi rakyat. Apalagi ketika investasi melahirkan konflik-konflik agraria dan kerusakan lingkungan.

Pada akhirnya kami menyimpulkan bahwa perombakan kabinet ini adalah upaya jokowi memperoleh legitimasi politik dan mengakomodasi kepentingan perekonomian disekelilingnya. Perombakan kabinet kami pandang tidak lain dari transakasi politik Jokowi dengan kekuatan politik yang baru saja menyatakan dukungan untuknya. Kecenderungan bagi-bagi kursi dan membuat suasana adem ayem lebih menonjol dibandingkan dengan memperbaiki kinerja. Catatan tambahan dari kami adalah stabilitas politik dan perekonomian memang hal yang dijanjikan dalam momentum ini. Namun, tentuya tidak ada kepentingan tanpa syarat. Kepentingan yang saling bersinggungan pasti akan terjadi dalam koalisi besar kali ini. Jokowi harus bisa mengkondisikan kepentingan-kepentingan tersebut suatu hari nanti. Stabilitas politik bisa terjadi ketika kompromi antar kepentingan menghasilkan keuntungan di masing-masing pihak. Tetapi, kegaduhan politik justru akan semakin besar potensinya ketika banyaknya kepentingan dalam tubuh kabinet tak terpuaskan.