Selasa, 26 Mei 2015

KONFLIK AGRARIA DAN AMANAH ATAS BUMI YANG KITA TINGGALI

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , No comments


KONFLIK AGRARIA DAN AMANAH ATAS BUMI YANG KITA TINGGALI

Faizal Akbar, Ketum HMI Komisariat Fisipol UGM

“ Jangan sampai tanah itu hanya dikuasai dan dinikmati oleh sekelompok kecil yang memiliki kekayaan dan kekuasaan saja… “ ( QS. Al-Hasr: 7).


Saya yakin kita semua sudah mengetahui kasus penolakan warga Rembang terkait pembangunan pabrik Semen di Pegunungan Kendeng, apalagi di media sosial sudah banyak propaganda dengan hashtag #Saverembang dan penyelenggaraan nonton dan diskusi film Samin vs semen. Jika sebatas tahu sepertinya kita sudah banyak yang tahu. Akan tetapi saya yakin tidak semua dari kita mengerti dan paham perihal kasus tersebut, jika kasusnya kita tidak paham bagaimana menjawab seruan untuk turun aksi. Rasul bilang Jangan mengikuti sesuatu kecuali dengan ilmunya.


 Tulisan ini adalah pengantar dalam melihat kasus konflik agraria melalui landasan Fiqh dan momentum-momentum dimana rakyat telah dizholimi, agar yang sudah paham dan tahu untuk mulai segera bangkit dan bergerak sesuai dengan hati nuraninya. Bagi yang belum paham, untuk segera meningkatkan pemahamannya terkait permasalahan pendirian pabrik semen dan secara umum terhadap konflik yang berkaitan dengan ekologi dan agraria disekitar kita. ini adalah seruan kesukarelaan terhadap pribadi masing-masing. Tanggung jawab menjaga alam ini bukan menjadi tugas organisasi atau gerakan apapun, namun menjadi tugas kita sebagai umat muslim, karena alam yang kita nikmati sekarang ini merupakan amanah dari Allah yang harus kita jaga.


 Kasus Rembang hanyalah salah satu narasi kecil dari maraknya perusakan alam dan perenggutan tanah yang terjadi di Indonesia. Kita sudah sering mendengar kasus Jogja asat, Jogja ora di dol yang lokasinya berada di sekitar kita dan sering kita lewati. Sedikit jauh ada juga konflik tambang pasir besi dan konflik pembangunan bandara di Kulonprogo. Selain itu lebih jauh lagi ada kasus Watuombo, Urutsewu, kasus PTPN di Takalar dan masih banyak lagi yang semuanya berkaitan dengan ekologi dan agraria. Laporan tempo menyebutkan bahwa dalam setahun negeri ini mengalami 173 konflik agraria dan sudah ada 3 orang yang meregang nyawa[1].


Jika sudah menonton film Tjokroaminoto di dalam salah satu adegan rapat SI (Sjarikat Islam) terjadi perdebatan seru terkait isu yang akan dibawa oleh SI sebagai agenda perjuangan gerakan. pengurus SI saat itu terbelah antara Agus Salim yang mendukung untuk mengangkat isu pendidikan dan Semaoen yang mengangkat isu agraria. Akhirnya perdebatan tidak menemukan titik temu dan masing-masing berjuang dengan isunya sendiri.


Adegan tersebut memberikan kita suatu refleksi bahwa permasalahan agraria akan selalu ada sepanjang sejarah peradaban manusia, apalagi jika diiringi dengan ketamakan yang bermodal besar. Kenapa konflik agraria terus saja terjadi? Karena bumi yang Allah berikan kepada Kita ini terbatas. Sudah sunnatullah jika manusia akan terus berkembang dan membutuhkan tanah yang lebih luas, menjadi tidak sunnatullah adalah ketika sedikit manusia merebut dengan paksa tanah dan hak orang lain dan merusak alam demi kepentingan sedikit orang. Jika begitu, maka dzalim namanya, yaitu mengambil atau menempatkan sesuatu yang bukan haknya Padahal tanah, bumi dan seisinya adalah milik Allah.

.


Bagaimana Islam Mengatur Konflik Agraria.


Dalam Fiqh pertanahan (fiqh Al-ardli) Islam menyebutkan bahwa ada dua kategori tanah, yaitu:


1. Tanah yang dimiliki (aradl mamlukah), dan dibedakan menjadi dua macam tanah. Pertama tanah yang didayagunakan atau tanah produktif (aradl amirah), seperti untuk pertanian perkebunan atau fasilitas umum. Kedua, tanah Kosong, belum diolah (aradl ghomiroh), dengan sebab seperti apapun seperti tanah yang kesulitan irigasi atau belum ada jalur transportasi.


2. Tanah yang bebas (aradl muhabah) yang belum ada pemiliknya atau penggarapnya. Jenis tanah ini ada dua macam yaitu : pertama, tanah yang berada di sekitar pemukiman, yang diperlukan oleh penduduk untuk kepentingan bersama. Sumber mata air, lahan untuk kuburan dan lahan untuk menggembala. Kedua, tanah yang belum digarap oleh siapapun dan tidak menjadi penyangga pemukiman dan barangkali dapat disebut sebagai tanah negara (amlak addaulah al’ammah)[2]



Berdasarkan konsep tersebut, pegunungan kendeng dapat disebut sebagai tanah yang bebas (ardl muhabah). Tanah bebas tersebut dapat digunakan oleh masyarakat yang berada di sekitar pegunungan dimana masyarakat memanfaatkan tanah-tanah di sekitar pegunungan untuk ditanami. Sumber air yang mengalir dari pegunungan tersebut menjadi sumber utama untuk mengairi sawah-sawah penduduk. Berkaitan dengan tanah bebas Islam telah mengatur mengenai teori kepemilikannya dengan sangat jelas.


Dalam fiqh muammalah ada 4 teori sebab-sebab kepemilikan yang pertama disebut dengan al-Mubahat yang artinya harta bebas, kemudian,  al-aqd (kontrak), al-Khalafiyah (penggantian) dan al-Tawallud (berkembang biak).

      Dalam konteks ini kita akan membahas al-mubahat (harta bebas), harta ini salah satu contohnya adalah sumber Air, ikan di laut, dan hewan buruan di hutan. Manusia dapat mengambilnya dengan bebas tanpa memerlukan izin khusus, kecuali jika menyangkut hukum-hukum dunia, contohnya ikan di laut tanpa perlu mempertanyakan status kepemilikan dari ikan tersebut. Harta bebas tersebut adalah milik Allah dan diperuntukan bagi umat manusia..


Al-mubahat bisa dikuasai asal dilakukan dengan cara yang lazim dan diperuntukan bagi kemashlahatan orang banyak. Upaya pemilikan suatu harta melalui Istilah al-Mubahat harus memenuhi dua syarat; Satu, tidak ada pihak lain yang mendahului nya dalam menguasai harta tersebut. Dalam hal ini berlaku kaidah, “barangsiapa lebih dahulu menguasai harta bebas, maka sungguh ia telah memilikinya”. Kedua, penguasaan harta tersebut dilakukan untuk tujuan dimiliki. Menangkap ikan dari laut lalu dilepaskan di sungai, menunjukkan tidak adanya tujuan untuk memiliki. Dengan demikian, status ikan tersebut tetap sebagai al-mubahat. Contoh lainnya, terkait sumber air, siapa yang menemukan airnya maka ia memiliki hak untuk mempergunakan air tersebut, namun sumber mata airnya adalah tetap milik Allah.


Pegunungan kendeng yang tersusun atas batuan karst, kapur dan gamping yang merupakan bahan baku untuk pembuatan semen ternyata memiliki daya tampung air di daerah Cekungan air tanah watuputih yang menjadi sumber dari pengairan sawah para petani di daerah tersebut. Sehingga jika pegunungan tersebut di dirikan pabrik semen diperkirakan akan mengganggu keberlangsungan sumber air dan ekosistem di pegunungan karst[3]. Maka jika merujuk pada sebab-sebab kepemilikan harta bebas, negara atau pemerintah bisa menguasai harta bebas dengan syarat : pertama, belum ada pihak lain yang sudah menguasai pegunungan kendeng tersebut. Kedua, Tanah tersebut dapat dikuasai dengan syarat membawa kemashlahatan bagi masyarakat. maka penguasaan tanah tidak boleh mendzhalimi masyarakat atau pihak lain.



Allah Befirman,


“ Jangan sampai tanah itu hanya dikuasai dan dinikmati oleh sekelompok kecil yang memiliki kekayaan dan kekuasaan saja… “ ( QS. Al-Hasr: 7).


Kemudian dalam ayat yang lain


 “dan janganlah kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 188)


            SK Gubernur Jateng yang digugat bernomor 668.1/17 tahun 2012, tentang izin lingkungan kegiatan penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) dapat ditafsirkan juga sebagai produk dari ‘hakim’ yang artinya pembuat keputusan atau kebijakan. Maka jika merujuk firman Allah di atas, dapat kita analisis. Pertama, pegunungan kendeng yang menjadi lahan pendirian pabrik semen merupakan sebagian harta warga Rembang karena merupakan sumber air utama untuk pengairan sawah, dimana sawah merupakan sumber penghasilan utama dari masyarakat yang bertani di sekitar pegunungan Kendeng.


Kedua, wacana kesejahteraan yang ditawarkan oleh pihak semen terhadap masyarakat pegunungan kendeng, pertama disebutkan bahwa pabrik semen dapat menyerap banyak tenaga kerja dari masyarakat untuk menggantikan pekerjaan mereka dalam bertani. Logika ini terbantahkan karena pabrik semen merupakan industri padat modal dimana industri dengan tipe tersebut akan membutuhkan SDM yang berkualitas tinggi, sementara masyarakat disana rata-rata berpendidikan menengah kebawah. Maka karena rendahnya tingkat pendidikan warga di sekitar pegunungan kendeng tersebut, akan sangat kecil kemungkinannya untuk diserap sebagai tenaga kerja bagi industri padat modal yang notabene memerlukan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tertentu. Sehingga adanya pabrik semen hanya akan dinikmati oleh sebagian kecil orang yang berpendidikan tinggi dan bukan penduduk sekitar yang terkena dampaknya.


Berlandaskan hal tersebut, maka saya bertanggung jawab secara pribadi untuk mensyia’arkan hal ini. Saya tuliskan secara kronologis konflik yang menjadi pemicu urgensinya isu ini. Harapannya tulisan ini dapat memecut jiwa kita semua terkait amanah yang diberikan Allah untuk Manusia yaitu berupa Alam ini. Kita harus yakin bahwa Islam hadir sebagai agama Rahmatan lil Alamin, yang artinya Islam hadir sebagai rahmat bagi sekalian alam, jadi tidak hanya bagi manusia, tapi seluruh Alam raya ini, termasuk bumi, air dan seisinya.


Geruduk UGM Yang Menyalaka Api Pergerakan


Jujur saja saya mengetahui kasus tentang Pembangunan pabrik semen ini sejak 2013. Saya baru betul-betul memahami dan ikuti sekitar dua minggu belakangan. Momentum yang menyadarkan saya tersebut terjadi pada 19 maret 2015 ketika warga sekitar pegunungan kendeng utara sebanyak tiga truk yang terdiri dari ibu-ibu dan bapak-bapak menggeruduk UGM. Mereka menuntut pertanggung Jawaban atas pernyataan dua orang saksi ahli yaitu pakar hidrologi dan karst dari UGM yang intinya menyatakan –dengan legitimasi ilmiah- bahwa pegunungan kendeng aman untuk ditambang dan sumber air tidak akan terganggu.


 Pintu kampus akhirnya dibuka untuk menerima perwakilan dari warga yang aksi dan sebagian dari aktivis mahasiswa berada disitu untuk bermediasi dengan wakil rektor bidang kerjasama alumni Dr. Paripurna Suganda dan Wakil rektor bidang Pengabdian masyarakat Prof. Dr. Suratman. Hasilnya adalah akan dibentuk tim independen yang beranggotakan sejumlah dosen dan mahasiswa untuk mengkaji laporan dari warga Rembang tersebut terkait dua dosen ahli yang berinisial HH dan EH dari tanggal 1 sampai 10 April 2015.


 Tim tersebut bertugas mengkaji apakah kesaksian dua dosen tersebut melakukan pelanggaran atau tidak terutama terkait etika seorang ilmuan yang memberikan kesaksian objektif dan berdasarkan fakta di lapangan[4]. Namun, dalam komunikasi selanjutnya, muncul kesaksian yang tidak sesuai dengan asas kepatutan saksi ahli, antara lain memberikan kesaksian yang dapat mengarahkan pada satu kesimpulan tertentu, padahal keduanya tidak melakukan penelitian langsung di Rembang[5]. Kabarnya akan diberikan sanksi kepada kedua dosen tersebut oleh UGM.



Terbentuknya Aliansi



 Aksi dari warga Rembang tersebut telah berhasil meletupkan api pergerakan mahasiswa di Jogjakarta sehingga terlahirlah Aliansi Mahasiswa Jogja Peduli Rembang (AMJPR). Mereka adalah para mahasiswa yang berasal dari UGM, UIN, UNY, UII, UMY, dan UAD yang selama ini tertarik dengan isu-isu ekologi-agraria[6]. Orang-orangnya rata-rata memiliki latar belakang aktivis dari berbagai gerakan mahasiswa seperti GLI, GMNI, PMII, IMM dan HMI.

           Selama ini mereka telah mengadakan berbagai diskusi terkait pembangunan pabrik semen di kendeng utara dan sudah menyelenggarakan nonton bareng dan diskusi video dokumenter “samin vs semen” yang menjadi penarik bagi mahasiswa yang lain. Selanjutnya aliansi melakukan berbagai kegiatan seperti pengawalan tim independen, aksi turun ke jalan, menulis di berbagai media online maupun media cetak milik sendiri, menginiasi sekolah ekologi-agraria dan bahkan literasi press sudah akan menerbitkan buku dangan judul '#RembangMelawan". Agenda selanjutnya adalah berpartisipasi dalam aksi 16 April 2015 di Semarang untuk mengawal keputusan akhir dari PTUN Semarang terkait gugatan petani Rembang dan Walhi terhadap P.T. Semen Indonesia.



Titik Nadir Ekologi dan Agraria


            Pada hari Kamis, 16 April 2015 pukul 7.00 pagi sebagian aktivis aliansi bertolak ke Semarang untuk bersama-sama warga dari 7 kabupaten di rembang aksi di PTUN Semarang. Aksi tersebut untuk mengawal keputusan dari PTUN semarang terkait aduan dari Walhi dan warga pegunungan kendeng untuk menolak izin rencana pembangunan pabrik semen di kendeng utara. Dengan gugatan pembangunan pabrik semen akan merusak ekosistem dan sumber mata air di watu putih, yaitu sumber air dari areal pesawahan warga Kendeng dan sekitarnya.


            Di Semarang sudah berkumpul massa yang menolak pabrik semen berjumlah ratusan ternyata yang berasal dari warga Rembang, Berbagai Organisasi mahasiswa dan aktivis LSM. Ketika sampai di depan PTUN mereka ternyata sudah disambut dengan kehadiran sekitar 200 orang massa pendukung pabrik semen yang melakukan do’a bersama. Kepolisian mensiagakan 500 personelnya dan membuat barikade yang memisahkan warga pro semen dan kontra agar tidak terjadi bentrok. Situasi sempat memanas menjelang dibacakannya keputusan PTUN namun kembali kondusif.


            Keputusan telah dibacakan dan ibu-ibu dari Rembang keluar dari pengadilan dengan tubuh lunglai dan berurari air mata. Ya, keputusan hakim adalah menolak tuntutan Walhi dan warga Rembang, dengan dalih aduan tersebut sudah kadaluwarsa, dalam artian sudah lebih dari 90 hari sejak izin diberlakukan. Keputusan hakim ini walaupun jauh dari substansi yang menjadi tuntutan warga terkait perusakan ekosistem namun menjadi asas legal-formal bagi pendirian pabrik semen dengan kapasitas 3 juta ton pertahun dan akan mulai beroprasi pada 2016[7].  Komentar dari Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang mengatakan bahwa warga Rembang untuk legowo menerima keputusan pengadilan[8] semakin menambah beban dan keterpurukan akan harapan dari warga Kendeng Utara untuk memperjuangkan sawah dan sumber air sebagai sandaran  penghidupannya.



Referensi


Anonim (2012). Setahun 173 kasus konflik agraria tiga tewas. laporan http://www.tempo.co/read/news/2012/12/12/063447800/Setahun-173-Kasus-Konflik-Agraria-Tiga-Tewas


Anonim (2014) Massa Pro dan kontra pendirian semen di Rembang dihadang barikade Polisi. http://kriminalitas.com/massa-pro-dan-kontra-pendirian-semen-rembang-dihadang-barikade-polisi/


Apriando, Tommy (2015). Apa yang hilang jika pegunungan kendeng di tambang.  http://www.mongabay.co.id/2015/01/27/apa-yang-hilang-jika-pegunungan-kendeng-di-tambang/ diakses pada 17/5 pukul 00.00


Ardianto, Hendra Try (2015). Disatukan Darurat Ekologi, Audiensi Peduli Rembang Lahir. http://literasi.co/Disatukan-Darurat-Ekologi-Aliansi-Peduli-Rembang-Lahir diakses pada 17/4 pukul 00.32


Saputra, andi (2015). Dosen UGM terancam sanksi karena melintir fakta di Pengadilan. Berita. http://news.detik.com/read/2015/04/16/105802/2889013/10/2-dosen-ugm-terancam-sanksi-karena-melintir-fakta-di-pengadilan diakses pada 16/5 pukul 10.41


Utomo, setyo S.H, M.Hum (___) Penyelesaian sengketa agraria dan model-model penyelesaiannya. Artikel online dapat dilihat di. http://supremasihukumusahid.org/attachments/article/107/%5BFull%5D%20Penyelesaian%20Sengketa%20Agraria%20Dan%20ModelModel%20Penyelesaiannya%20%20Setyo%20Utomo,%20SH,%20M.Hum.pdf. Diakses pada 17/5 pukul 7.31



Media Cetak


Kompas. Kamis, 16 April 2015. “UGM Kaji Sanksi bagi dua dosen”




[1] Lihat http://www.tempo.co/read/news/2012/12/12/063447800/Setahun-173-Kasus-Konflik-Agraria-Tiga-Tewas diakses pada 17/4 pukul 7.02


[2] Utomo, setyo S.H, M.Hum (___) Penyelesaian sengketa agraria dan model-model penyelesaiannya. Artikel online


[3] Lihat Apriando, Tommy http://www.mongabay.co.id/2015/01/27/apa-yang-hilang-jika-pegunungan-kendeng-di-tambang/ diakses pada 17/5 pukul 00.00


[4] Kompas. Kamis, 16 April 2015. “UGM Kaji Sanksi bagi dua dosen”


[5] Lihat,http://news.detik.com/read/2015/04/16/105802/2889013/10/2-dosen-ugm-terancam-sanksi-karena-melintir-fakta-di-pengadilan diakses pada 16/5 pukul 10.41


[6] Lihat http://literasi.co/Disatukan-Darurat-Ekologi-Aliansi-Peduli-Rembang-Lahir diakses pada 17/4 pukul 00.32


[7] Lihat http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/614803-pabrik-semen-di-rembang-ditarget-selesai-2016


[8] http://www.merdeka.com/tag/g/ganjar-pranowo/ganjar-minta-warga-rembang-terima-apapun-hasil-sidang-ptun.html




LATIHAN KADER 1 "MAHASISWA, RAKYAT DAN KONFLIK AGRARIA"

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN No comments

LK 1 HMI Komisariat Fisipol UGM, 6-7 Juni 2015 di youth center

Senin, 25 Mei 2015

May, 21st: Looking For Public Sphere and Space Thought

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , , , No comments



Tauchid Komara Yuda
[tauchid.komara.y@mail.ugm.ac.id]
Ketua Bidang Litbang HMI Komisariat FISIPOL


In line with the principles of good governance, recognition of social rights is an essential component as a pillar of democratic values. Guaranteed public space for citizens is one form of the implementation of the social rights. Public space itself is essentially very diverse, which is in essence the space functioned as an arena where people can get their rights as citizens of an independent country, free of hegemony and the interests of any political bias. The question then arises, whether these spaces are available today? 

In Indonesia, problems of public spaces, especially public culture is still not free from elements of politicization. The media, as a vital agent forming a public culture in fact has not been able to present their social rights over public space. Knowingly or not, whatever the media proclaimed the information content, although the form of manipulative though, claim the media as a public space still gets its legitimacy in the community. This could happen because of the social contract in which the public has given a mandate to the profession of journalism as an agent informant with indipendently, accuracy, and objectivity. Ironically, the mandate is often misused in order to pursue individual interests. As the opinion of a layman, 2014 post-election political party in television appearances increasingly prevalent. Though clearly the broadcasting law number 32 of 2002, article 5 letter i mentioned, the purpose of broadcasting is to provide information that is correct, balanced, and responsible. Furthermore, article 36 paragraph 4, that broadcast content must be maintained neutrality, should not put the interests of certain groups. Reinforced article 5 g, regarding the prohibition to monopolize ownership of broadcasting frequencies. But that was in Indonesia, disease squat moral, law suddenly may not move.

Keep in mind, the initial redistribution of frequencies to the private sector aimed to answer the question of centralized, thus opening access to operationalization to the general public for the purpose of managing the frequency with which educate the children of the nation constitutional mandate. But whether one's perception or how, the frequency of these elements are arbitrarily claim her right to privacy, but actually the frequency is limited resources and the status "belongs to the people". If you have this, the problem is the same, that in the era of centralized public space constrained in the stability of the country, are now locked in commercial husk.

In response, a contemporary German philosopher, Jurgen Habermas argues that today has been a phenomenon in which the public space transformed into an exclusive part of the private sphere. Institutions solely initially only publish the news, began to become news makers.

It is fitting into our reflection together. Era reform was hailed as a new hope, finally had vanished because unfettered by pretense. Public opinion has been imprisoned by interests. Public opinion is no longer to build solidarity, but to compete. Fanaticism sporadically scattered everywhere. Climate taunted each other, attacking each other, even ethnocentric back issues linked to social prejudice. As occurs in social media today, will be very easy to find libel refers to ethnicity, race, religion in particular. That is reflected in the era of media to this day. Opinion into a fictitious unity for public opinion still loved tyranny faced polite.


If learning to history books, the real independence of Indonesia starting from an empty space that was never colonized. The space is nothing but a "mind". Enlarged mind along with the hope of imagination and longing of the public spaces. The second room is an opportunity, where the status-quo before the events of independence has been a silent witness when thoughts are successfully incorporated into the dialogue space both in radio and newspapers with the word "independent". The historical romance has now ended. Now it's time we reunite with full consciousness to overthrow the invisible empire that shackle our public spaces.

Selasa, 19 Mei 2015

Tegaslah Presidenku

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , , No comments

Suryo Ilham Widodo 
                                            [Kader HMI Komisariat FISIPOL UGM 2014]
Tegaslah Presidenku

Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Konsep negara presidensial ini memberikan kekuasaan yang besar kepada negara, khususnya kepala negara dalam kehidupan kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia. Menjadi seorang presiden dalam sebuah negara dengan sistem presidensial tentu dituntut memiliki banyak keahlian, seorang presiden tidak hanya bisa menjadi seseorang yang paham dengan hukum, politik, ekonomi, dan budaya saja, tapi juga harus memiliki sifat dan sikap yang mumpuni untuk mengatur sebuah negara. 

Salah satu sifat penting itu adalah ketegasan. Ketegasan dalam memutuskan sesuatu, ketegasan dalam menghadapi suatu masalah, maupun ketegasan dalam menyikapi lobi-lobi politik. Bagaimana mungkin jika suatu permasalahan yang sederhana kemudian dibiarkan berlarut-larut dan berkepanjangan, kalau bisa diselesaikan seminggu cukup hanya seminggu tidak perlu sampai berminggu-minggu, karena masalah yang ada di negara Indonesia ini banyak dan kompleks terlebih di tengah keberagaman etnis dan suku yang jumlahnya mencapai ribuan. Ketegasan merupakan faktor utama dalam proses menjadi pemimpin yang baik dan disegani, tapi ketegasan tidak lantas kemudian asal dalam memutuskan suatu hal, sebelum memutuskan sesuatu harus dilakukan kajian yang matang serta dampak yang akan di timbulkan ke depannya. 

Dalam hal ini ketegasan perlu, tapi juga harus dibarengi dengan intelektualitas dan moralitas pemimpin. Sekarang ini banyak harga mengalami kenaikan, di sektor pangan beras mulai mengalami kenaikan, tiket kereta api, tarif listrik, gas elpiji juga ikutan naik, ditambah dengan proses hukum yang amburadul, rupiah yang lemah, dan pelemahan institusi negara dalam hal ini KPK membuat rakyat Indonesia kian gelisah. Ketegasan presiden dalam hal ini sangat dibutuhkan. Sejarah sudah menggambarkan, bahwa ketegasan pemimpin menjadi tolok ukur untuk menentukan suatu negara itu bisa bangkit atau bahkan hancur. 

Terlintas kemudian kawan pernah mengatakan jika sekawanan kambing dipimpin oleh seekor singa, maka sekawanan kambing itu akan tampil seperti singa juga; tapi jika sekawanan singa dipimpin oleh seekor kambing maka singa yang garang dan gagah pun akan mengembik. 

                                          *) Tulisan ini pernah dimuat di Poros Mahasiswa, KoranSindo, 8 April 2015



Selasa, 12 Mei 2015

Menjadi Seorang Muslim

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , No comments

Tauchid Komara Yuda
tauchid.komara.y@mail.ugm.ac.id
[Ketua Bidang Litbang HMI Komisariat FISIPOL UGM]

Perihal keharusan berilmu sebelum beriman, sebenarnya telah disarikan dalam peristiwa turunnya ayat-ayat dalam Al-Quran yang secara berangsur-angsur. Tentu kita akan bertanya, mengapa kata Iqra (arti: bacalah) menjadi kata pertama dalam surat Al-Alaq, yang juga merupakan surat yang pertama kali dikenalkan dalam peristiwa penurunan Al-Quran?


Tersandera Mafia Pasar
Jawabannya tidak lain karena, hanya melalui membacalah kita dapat mengetahui bagaimana cara ber-Islam secara baik dan benar. Membaca tidak harus diidentikan dengan indera pengelihatan, membaca dapat diartikan secara luas termasuk dengan cara mendengar, sebagaimana Nabi Muhamad SAW dalam menerima wahyu Allah.

Selain membaca, Al-Quran juga diperintahkan untuk dipahami dengan berfikir (QS. Yusuf: 2 dan QS. Jaatsyiah: 13), berfikir dengan akal (QS. Al-Baqarah: 164), dan berakal dengan Ilmu (QS. Ali Imran; 18).

Namun, yang terjadi hari ini, Al-Quran hanya dibaca sebatas rutinitas tanpa memahami intisari Al-Quran secara komprehensif. Sama halnya ketika kita membaca tulisan berbahasa Inggris, terdengar fasih dalam melafalkan, tetapi tidak mengerti apa yang diucapkannya.

Kondisi demikian, membuat umat Islam menjadi kian rentan terhadap berbagai pengaruh oknum yang sengaja menggunakan label Islam, sebagai kaliber berpolitik melalui dogma yang sebenarnya menjurus kepada pemikiran tertentu. Terjebaknya umat Muslim terhadap pemikiran tertentu inilah yang disebut sebagai taklid buta. Taklid buta berpotensi memicu perselisihan, bahkan perpecahan antar umat Muslim.

Perkara larangan bersifat taklid, telah Allah singgung dalam Q.S Ar-Rum ayat 31-32, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.

Taklid, hanyalah satu dari sekian permasalahan umat Muslim kontemporer sebagai akibat dari enggannya umat Muslim berihtijad dengan ilmu. Ilmu adalah komponen penting dalam memahami Al-Quran sebagai acuan beriman dan beramal bagi seorang Muslim. Sehingga, ini menjadi refleksi bagi umat Muslim untuk merintis kembali Islam sebagai agama profetik, sekaligus tanpa apologi.
                                                                               
*) Tulisan ini pernah dimuat pada, Rubik Pembaca Menulis, Republika, 29 Maret 2015

Senin, 04 Mei 2015

Paradoks Sistem Perguruan Tinggi

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , No comments



Faizal Akbar
[Ketua Umum Hmi Komisariat FISIPOL UGM]


UU Pendidikan Tinggi menjadi dasar dari sistem penyelenggaraan perguruan tinggi (PT) di Indonesia setelah disahkan oleh DPR pada 13 Juli 2012. Kemudian mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi mengajukan uji materi terhadap UU No 12 Tahun 2012 tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya MK memutuskan untuk menolak judicial review terhadap UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada Mei 2014 dengan dasar bahwa UU tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. 

Kunci Stabilitas Politik
Hal tersebut setidaknya menyiratkan dua poin paradoksal terhadap sistem perguruan tinggi kita. Paradoks yang pertama, adalah kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak dasar pendidikan bagi warga negaranya, tetapi ternyata hal itu gugur melalui UU Dikti. Ternyata sistem PT melalui UU Dikti justru membuat negara ”lepas tangan” terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi. PT diberi hak otonomi yang bersifat akademik dan nonakademik. 


PT juga diberi kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan dananya secara mandiri. Dari mana PT dapat memenuhi kebutuhan dananya selain dari mahasiswa sendiri? Kalaupun ada peluang lain, itu tidak akan mencukupi kebutuhan operasionalisasi PT yang cukup besar. Alhasil biaya kuliah pun akan semakin tinggi dan masyarakat kurang mampu akan kesulitan mengakses pendidikan tinggi. 

Di sini terjadi suatu fenomena yang berbanding terbalik antara amanat UUD 1945 dengan sistem pendidikan tinggi kita. Kedua, UU Dikti mengatakan bahwa masyarakat tidak mampu terjamin untuk dapat menikmati pendidikan tinggi. Caranya, pertama, UU Dikti mengalokasikan kuota 20% untuk mahasiswa tidak mampu.

Kedua agar tidak ada mahasiswa yang gagal untuk melanjutkan kuliah karena kekurangan biaya, diterapkanlah Badan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). BOPTN merupakan bantuan pemerintah terhadap perguruan tinggi negeri untuk membiayai kekurangan operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan SPP. Namun yang terjadi adalah kebalikannya. 

Justru dengan status perguruan tinggi yang menjadi badan hukum milik negara (BHMN) telah terjadi pemisahan keuangan negara dengan perguruan tinggi. Hal tersebut mengarahkan PT menjadi lahan privatisasi dan liberalisasi. 

PT melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan laba minimal menutup biaya operasionalisasi pendidikan dengan cara meningkatkan biaya kuliah melalui berbagai variannya seperti beragamnya ujian masuk, penetapan penerima UKT yang dirasa belum adil, dan kuota 20% mahasiswa kurang mampu yang terdengar hanya pemanis saja. 

Paradoks tersebut adalah sedikit dari banyaknya paradoks sistem pendidikan kita dan ini menuntut peran mahasiswa sebagai minoritas beruntung untuk memperbaiki keadaan sesuai dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.


*) Tulisan ini pernah dimuat di Poros Mahasiswa, Harian KoranSindo, 11 Februari 2015