Minggu, 31 Juli 2016

Mengakhiri Dikotomi : Kolaborasi Mahasiswa Aktivis dan Mahasiswa Akademisi

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , , No comments


            Di akhir liburan panjang menjelang tahun akademik yang baru ini saya yang tidak seperti kebanyakan teman saya yang menjadi panitia pekan orientasi untuk mahasiswa baru atau magang di berbagai instansi alias terlalu banyak waktu luang jadi terpikir soal dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis yang seolah-olah tiap tahun selalu ada. Kalau mahasiswa seperti saya yang kerjaannya nonton Naruto dan tidur hampir setengah hari setiap harinya selama liburan ya tidak perlu dibahas, yang seperti itu tanpa jadi mahasiswa pun bisa. Setidaknya ada dua hal yang mengambarkan dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis, pertama citra sebagai “mahasiswa aktivis” menghalangi seorang mahasiswa untuk berprestasi dan menghasilkan karya akademis seperti artikel jurnal ilmiah. Kedua citra sebagai “mahasiswa akademisi” dalam pergaulan sehari-hari seakan-akan mengisyaratkan bahwa mereka tidak cocok jadi aktivis karena kerjaan mereka hanya membaca, menulis, berdiskusi tanpa aksi serta mengejar IPK tinggi. Sebagai mahasiswa tipe kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah-pulang) yang cinta damai saya jadi terpikir untuk berusaha menengahi polemik dikotomi dua tipe mahasiswa tersebut.

            Jika dilihat dari sejarah aktivisme dan pergerakan mahasiswa di Indonesia, saya rasa dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis ini tidak pas dan cenderung dibuat-buat oleh pihak tertentu. Banyak tokoh pergerakan mahasiswa yang juga seorang akademisi atau intelektual, setidaknya dianggap intelektual oleh masyarakat. Mulai dari Nurcholis Madjid satu-satunya orang yang sampai saat ini pernah diberi amanah sebagai Ketua Umum PB HMI selama dua periode yang juga pendiri Universitas Paramadina serta tokoh pendiri ICMI. Kemudian ada duo HI UGM, yang pertama Prof Amien Rais mantan aktivis HMI serta Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan pendiri IMM serta PAN. Yang kedua Prof Yahya Muhaimin mantan Menteri Pendidikan Nasional di era Presiden Abdurrahman Wahid yang juga aktivis HMI dan IMM. Lanjut kemudian Ahmad Wahib, Soe Hok Gie serta kakaknya, Arief Budiman yang bahkan sejak masa mahasiswanya sudah dikenal luas sebagai intelektual oleh masyarakat kala itu. Yang agak “muda” kita bisa sebut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang minggu lalu di-reshuffle oleh Jokowi yang juga mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM era 1990-an, Anies Baswedan. Nama-nama yang telah saya sebutkan tersebut menjadi bukti bahwa sesungguhnya dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia dikotomi “sesat” mahasiswa akademisi dan mahasiswa aktivis itu tidak tepat. Kalau begitu darimana datangnya dikotomi tersebut?



Sejarah Dikotomi Mahasiswa Akademisi vs Mahasiswa Aktivis

            Dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis bisa kita telusuri akar sejarahnya dari program Normalisasi Kehidupan Kampus yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan era Orde Baru Daoed Joesoef. Awal tahun 1978 mulai muncul banyak demonstrasi mahasiswa yang dilatarbelakangi ketidakpuasan mahasiswa pada pemerintahan Orde Baru Soeharto. Puncaknya menjelang Sidang Umum MPR 1978, gejolak mahasiswa tak bisa lagi ditahan. Berbagai aksi demonstrasi dilakukan mahasiswa di hampir semua perguruan tinggi dengan substansi yang sama, menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden periode 1978-1983. Gerakan mahasiswa tahun 1978 ini sayangnya gagal mengikuti jejak pendahulunya angkatan 1966 yang berhasil menumbangkan rezim Soekarno waktu itu. Walaupun gerakan mahasiswa angkatan 1978 ini berhasil ditumbangkan, rezim Soeharto seakan trauma dengan gerakan mahasiswa. Untuk mencegah timbulnya gerakan mahasiswa lagi, Daoed Joesoef sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Melalui kebijakan tersebut, kampus "steril" dari kegiatan politik. Mahasiswa tidak boleh lagi melakukan kegiatan apa pun yang bernuansa politik. Mahasiswa yang nekat mendapat sanksi keras berupa pemecatan dari birokrasi kampus yang juga sudah ditekan pemerintah. Di dalam kampus, politik hanya boleh sebatas ilmu bahkan mungkin politik sebatas nama fakultas saja.

            Kebijakan represif tersebut disertai dengan pembubaran Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa di setiap perguruan tinggi yang menjadi kekuatan mahasiswa saat itu. Surat Keputusan Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) berhasil melumpuhkan mahasiswa saat itu, bahkan tidak sekadar lumpuh, tetapi mati (Kompas, 26 Juni 2015). Kebijakan NKK dan BKK ini juga diikuti oleh pengkonstruksian citra mahasiswa aktivis sebagai mahasiswa urakan yang nilai akademiknya jelek, sering bolos kuliah (padahal saya yang bukan aktivis juga bolos kuliah), tidak berprestasi, lulusnya lama, dan yang paling parah calon drop out. Depolitisasi yang diterapkan saat itu sungguh efektif, mahasiswa menjadi study oriented atau lebih tepatnya IPK oriented sehingga selama puluhan tahun hingga sekarang kegiatan mahasiswa jauh dari aktivitas mengkritisi kebijakan penguasa. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.

            Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 ternyata tidak mengakhiri dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis. Di era reformasi muncul “NKK/BKK” gaya baru, kali ini inisiatornya bukan lagi pemerintahan yang berkuasa di Indonesia tetapi rezim oligarkis kapitalis neoliberal dunia. Para kapitalis dunia jelas butuh banyak fresh graduate untuk menjadi tenaga ahli mereka. Mereka pun mendesain program liberalisasi pendidikan tinggi yang terantum dalam GATS (General Agreement on Trade in Services), dalam GATS ini pendidikan tinggi dianggap sebagai komoditas atau barang dagangan. Karena Indonesia sudah meratifikasi GATS maka kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia kemudian diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Singkatnya selama di kampus mahasiswa diarahkan untuk “belajar, belajar, belajar” agar mendapat IPK “cumalude, cumlaude, cumlaude” untuk kemudian seperti semboyan Presiden Jokowi “kerja, kerja, kerja”. Kondisi yang seperti itu kemudian diperparah dengan sikap para mahasiswa aktivis yang alih-alih mengajak mahasiswa akademisi untuk bekerja sama malah selalu melabeli mereka sebagai mahasiswa yang bisanya mengkritik dan omong doang, banyak teori tapi minim aksi, dan julukan lain yang saya pikir anda pasti paham kalau julukan-julukan tersebut ditunjukan pada mahasiswa akademisi.

Tawaran Solusi: Kolaborasi Aktivis dan Akademisi

            Idealnya memang mahasiswa era sekarang bisa meniru apa yang dulu dilakukan oleh Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, Arief Budiman, Amien Rais, Yahya Muhaimin, dan Anies Baswedan yang bisa menjadi akademisi sekaligus aktivis. Tetapi kita sama-sama tahu bahwa menjadi thinkers dan doers dalam waktu bersamaan adalah hal yang sulit, oleh karenanya saya menawarkan sebuah solusi yaitu: kolaborasi aktivis dan akademisi, kolaborasi thinkers dan doers. Kita harus ingat bahwa untuk setiap Tsubasa Ozora selalu ada Taro Misaki, untuk setiap Aang selalu ada Sokka, untuk setiap Uzumaki Naruto selalu ada Nara Shikamaru, untuk setiap Luke Skywalker selalu ada Master Yoda, untuk setiap Pandawa selalu ada Krishna, untuk setiap Kurawa selalu ada Sangkuni, untuk setiap Steve Jobs selalu ada Steve Wozniak, untuk setiap Tony Blair selalu ada Anthony Giddens, dan untuk setiap Soekarno selalu ada Hatta. Taro Misaki, Sokka, Shikamaru, Krishna, Sangkuni, Wozniak, Giddens, dan Hatta adalah para thinkers yang mejaga “kewarasan” doers mereka masing-masing. Misaki hampir selalu memberi umpan pada Tsubasa untuk mencetak gol, Sokka selalu memberi nasihat dan taktik kepada Aang dalam menghadapi Raja Api, Shikamaru selalu mengingatkan dan berdiri di samping Naruto ketika dia menjadi Hokage Ketujuh di Konoha, Master Yoda selalu mengajarkan kebijaksanaan dalam menggunakan The Force pada Luke Skywalker, Krisnha selalu memberi solusi pada setiap permasalahan Pandawa begitu juga yang dilakukan Sangkuni pada Kurawa, setiap produk baru yang hendak diluncurkan Jobs, berasal dari prototype yang telah disiapkan dengan rapi oleh Wozniak, ide-ide kebijakan publik semasa Tony Blair menjabat Perdana Menteri di Inggris terinspirasi gagasan-gagasan Giddens, dan seberapapun tidak cocoknya Soekarno dengan Hatta, Hatta lah yang melakukan administrasi pemerintahan agar Soekarno bisa fokus membangun solidaritas nasional pada negara yang baru merdeka kala itu: Republik Indonesia.

           Untuk setiap doers selalu ada thinkers di belakangnya begitulah kira-kira. Saya pikir sudah saatnya kita mengakhiri dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis karena dikotomi ini sesat dan tidak relevan. Untuk mahasiwa akademisi, sudah saatnya bagi anda untuk mengabdikan ilmu anda pada kepentingan masyarakat luas bukan hanya berdiri di atas menara gading saja tanpa mau memberi apa-apa, untuk mahasiswa aktivis, sudah saatnya bagi anda untuk berhenti asal turun ke jalan tanpa kajian dengan argumentasi intelektual yang kuat. Dan untuk anda semua, sudah saatnya kita mengakhiri polemik dan dikotomi, mari berkolaborasi.

Ditulis oleh Dendy Raditya Atmosuwito (Kader HMI Komisariat Fisipol UGM, Mahasiswa MKP Fisipol 2014)

Sabtu, 23 Juli 2016

Anakmu Bukanlah Anakmu

BY HMI Komisariat Fisipol UGM No comments


“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di jamanmu” (Ali Bin Abi Thalib )

Anakmu Bukan Milikmu (Kahlil Gibran)

Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada dirinya sendiri.

Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau.

Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu

Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk

Pikiranmu,

Sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri.

Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya,

Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,

Yang tiada dapat kau kunjungi sekalipun dalam impian.

Kau boleh berusaha menyerupai mereka,

Namun jangan membuat mereka menyerupaimu, sebab kehidupan

Tidak pernah berjalan mundur.

Pun tidak tenggelam di masa lampau.

Kaulah busur, anak-anakmulah anak panah yang meluncur.

Dia menentangmu dengan kekuasaan-Nya,

Hingga anak panah itu melesat jauh dengan cepat.

Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan

Sang Pemurah,

Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat.

Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang manta

            Tanggal 23 Juli setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Sejarah hari anak nasional berawal dari gagasan mantan presiden RI ke-2 (Soeharto), yang melihat anak-anak sebagai aset kemajuan bangsa (sebagai modal pembangunan mungkin dalam bahasa beliau), sehingga sejak tahun 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI No 44 tahun 1984, ditetapkan setiap tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Kegiatan Hari Anak Nasional dilaksanakan mulai dari tingkat pusat, hingga daerah. Berbicara tentang anak di Indonesia tentu pikiran kita akan tertuju pada banyak permasalahan. Mulai dari kekerasan terhadap anak, kejahatan seksual terhadap anak, pernikahan dini, anak putus sekolah, kenakalan anak dan remaja, guru versus murid, sampai yang terbaru masalah obesitas anak. Terlepas dari itu semua, kutipan Ali bin Abi Thalib dan puisi Kahlil Gibran di atas mengisyaratkan sebuah pesan bagi kita semua. Anak-anakmu adalah “bukan” anakmu, mereka adalah anak zamannya.

            Ali bin Abi Thalib dan Kahlil Gibran sadar dan berusaha menyadarkan kita bahwa anak-anak bukanlah tiruan diri kita, mereka itu unik, mereka adalah produk zamannya. Anak-anak zaman sekarang tidak sama dengan kita ketika masih anak-anak dulu. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang setiap hari minggu disuguhi anime-anime dari Jepang seperti Lets and Go, Yugi Oh, Samurai X, Flame of Recca, Rave, Saint Seiya, Dragon Ball, Captain Tsubasa, Sailor Moon, Digimon, Pokemon, Ninja Hattori, P-Man, Ghost at School, Inuyasha, Hunter X Hunter, Beyblade, Crush Gear, Ranma ½, Slam Dunk, Minki Momo, Hamtaro, Ninja Boy, Crayon Shinchan hingga Chibi Maruko Chan, mereka sekarang adalah penonton drama Turki, drama India Uttaran serta sinetron Mermaid dan Anak Jalanan. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang membangun desa, kota, atau istana dari balok-balok mainan, mereka sekarang membangunnya secara virtual dalam game Clash of Clans. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang bisa dengan mudah bermain sepak bola di tanah lapang, mereka sekarang harus patungan untuk menyewa lapangan futsal. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang mendegarkan lagu anak-anak tahun 90an seperti Trio Kwek-Kwek, Sherina, Tina Toon, dan Joshua Suherman, mereka sekarang adalah pendengar Shawn Mendes, Ariana Grande (perempuan ini cantik), Fifth Harmony dengan pentolannya Camila Cabello (yang ini tidak kalah cantik), Taylor Swift (yang ini pun sama cantiknya), dan Ed Sheeran. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang bisa menangkap Pokemon dengan berdiam diri di kamar mereka, mereka sekarang harus mencari dan menangkap Pokemon di luar rumah mereka dengan GPS di smartphone mereka. Anak-anak zaman sekarang bukanlah anak-anak yang harus meneriakan nama teman mereka dengan nada unik di luar rumah teman mereka untuk sekedar bertemu, mereka sekarang menggunakan aplikasi WA dan LINE.

            Beberapa contoh yang saya berikan tersebut saya rasa cukup untuk kita merenungkan kembali sikap kita kepada anak-anak (generasi yang lebih muda). Kita ambil contoh kasus seorang murid yang dicubit gurunya tempo hari. Banyak diantara kita yang berargumen bahwa si murid ini manja karena “hanya” gara-gara dicubit saja dia melaporkan itu kepada orang tuanya yang kemudian melaporkan guru yang mencubit anak tersebut ke pihak kepolisian. Kita kemudian ramai-ramai mengeluarkan pendapat yang bernada sama, intinya generasi kita lebih superior daripada generasi mereka. Generasi kita adalah generasi yang tahan banting, mau dicubit, dijewer, disetrap, bahkan dipukul sekalipun kita tidak akan melapor dan malah bangga karena itu artinya kita hebat. Tapi apakah pendapat seperti itu benar? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama seperti kita yang bangga dengan kekerasan? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang menyamakan disiplin dengan bentakan dan hukuman? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang beranggapan bahwa yang senior atau lebih tua selalu benar dan yang junior atau lebih muda pasti salah? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang beranggapan bahwa pendidikan di bangku sekolah adalah persaingan memperebutkan rangking satu, bukan kerja sama antar siswa untuk jadi lebih maju? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang beranggapan bahwa baris-berbaris adalah satu-satunya jalan menuju kedisiplinan? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang seolah-olah menganggap perbedaan sebagai rahmat tapi diam-diam memberangus keberagaman dengan menyingkirkan yang berbeda pendapat? Apakah anak-anak zaman sekarang harus sama dengan kita yang mengkampanyekan pentingnya membaca tapi sering membagikan berita dan kabar bohong tanpa menelitinya lebih dahulu?

            Lantas apa yang harus kita lakukan? Saya tentu tidak punya wewenang untuk  memutuskan apa yang harus kita lakukan tetapi saya setidaknya punya jawaban untuk pertanyaan apa yang mungkin bisakita lakukan. Jawaban saya datang dari  pemikiran seorang filsuf asal Prancis, Jacques Derrida. Derrida seperti banyak filsuf lain bicara hal yang kita anggap sederhana dengan cara yang sangat rumit tentu saja. Dan kalau boleh saya sederhanakan sebenarnya Derrida bicara tentang bahasa, utamanya bahasa teks atau tulis. Mengapa bahasa? Karena di dalam bahasa itu tersimpan sesuatu yang sangat penting bagi manusia; sesuatu yang sangat esensial. Bahasa mengandung “makna yang dianggap benar” Derrida menyebutnya “keutamaan bahasa”. Bagi Derrida, “Keutamaan bahasa” atas tulisan menunjukkan adanya represi sebuah logika terhadap logika yang lain. Lewat struktur argumen yang runtut dan logis, sebuah logika berusaha menjadi benar sambil menunjukkan logika lain salah. Dan hal tersebut hanya bisa terjadi dengan adanya otoritas atau kewenangan untuk menentukan makna suatu hal.

            Lantas apa hubungannya pemikiran Derrida tadi dengan hal yang mungkin kita bisa lakukan kepada anak-anak (generasi yang lebih muda)? Derrida kemudian mengajukan suatu cara pembacaan untuk menghilangkan represi sebuah logika terhadap logika lainnya yang ada didalam bahasa. Cara pembacaan itu dia sebut: dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan cara pembacaan yang unik. Ia destruktif sekaligus konstruktif dalam waktu bersamaan. Mudahnya, Derrida beranggapan bahwa pembaca bebas memaknai bacaan. Pembaca komik Batman bebas memaknai bahwa sesungguhnya Batman adalah penjahat juga karena dia sering main hakim sendiri dan pembaca juga bebas memaknai bahwa sesungguhnya Joker adalah orang yang baik karena ia selalu mengungkapnkan the painful truth atau kebenaran yang menyakitkan. Pembaca Manga Naruto bebas memaknai bahwa Jiraiya adalah teladan yang baik karena walaupun dia orang yang sangat mesum dia selalu mengkampanyekan perdamaian yang didasarkan pada itikad baik manusia untuk saling memahami. Dekonstruksi lah yang mungkin bisa kita lakukan kepada anak-anak. Mereka bebas memaknai bagaimana menjadi anak-anak di zaman sekarang. Mereka tidak perlu terikat dengan konstruksi bahwa mereka harus sama dengan kita. Pertanyaan berikutnya adalah apakah dekonstruksi ini kemudian berarti kita membebaskan anak bertindak semaunya dan kita tidak perlu bahkan tidak bisa menamankan nilai kebaikan? Luqman Al-Hakim memberikan contoh yang tepat soal ini menurut saya. Dari semua nasehat Luqman kepada anaknya, semuanya disampaikan lewat cara dialogis bukan dengan paksaan dan hukuman. Dengan cara dialog ini anak bisa menyampaikan keinginan mereka dan kita bisa menyampaikan nilai-nilai kemanusian dan kebaikan apa yang ingin kita tanamkan pada mereka. Dengan cara dialog ini anak bisa mengerti tentang nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan dan disisi lain kita bisa mengerti tantangan apa yang dihadapi anak-anak zaman sekarang, lebih dari itu lewat dialog kita akan sadar bahwa anakmu “bukanlah” anakmu.

Ditulis oleh Dendy Raditya Atmosuwito (Kader HMI Komisariat Fisipol, Mahasiswa MKP Fisipol UGM 2014)

Selasa, 19 Juli 2016

Menonton Investasi Asing

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , No comments



Sebagai warga Indonesia, tentunya investasi adalah kata yang sering kita dengar jika melihat berita perekonomian, bagaimana tidak Indonesia adalah surganya berinvestasi. Faktor stabilitas politik menjadi dasar dinamika kehidupan ekonomi di Indonesia. 


Faktor kedua yang membuat investor layak menanamkan modalnya di Indonesia adalah sejuknya iklim investasi yang ditawarkan. Bahkan, sumber daya Indonesia sangat kaya baik akan sumber daya manusianya. Indonesia mengalami pergeseran struktur kependudukan yang dikenal dengan istilah bonus demografi di mana jumlah kelompok kerja produktif di tahun 2025- 2035 akan mendominasi. 

Sebagai negara dengan populasi penduduk ke-4 terbesar di dunia, lebih dari 53% penduduk Indonesia hidup di daerah perkotaan dengan gaya hidup modern dan kemampuan daya beli masyarakat yang meningkat. Bahkan di samping faktor dalam negeri, Indonesia juga memainkan peran yang lebih dominan dalam isu-isu global. Sebagai satu-satunya negara anggota G-20 dari Asia Tenggara, Indonesia aktif menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang. Inilah bukti bahwa Indonesia memang surganya investasi. Namun sungguh sayang seribu sayang, sepertinya masyarakat di Indonesia belum banyak mengenal dan memahami bagaimana memanfaatkan kesempatan ini. 

Menurut statistik Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia pada Triwulan I/2016, penanaman modal asing justru lebih dominan di angka 96,4 triliun, sementara penanaman modal dalam negeri di angka 50,4 triliun. Sepertinya keran investasi yang telah dibuka oleh pemerintah janganlah hanya dinikmati oleh asing. Indonesia harus memberdayakan sumber dalam negerinya dengan memberikan pembinaan dan pendidikan investasi. 

Masyarakat di Indonesia memiliki permasalahan kurangnya budaya berinvestasi sejak dini. Akibatnya ketika memiliki dana yang cukup untuk dimanfaatkan, hanya habis oleh budaya konsumtif secara terus-menerus. Hal inilah menjadi faktor penghambat Indonesia masih bergantung investasinya kepada modal asing. Kemudian di samping faktor budaya masyarakat Indonesia, pemerintah juga patut dipertanyakan terkait masalah kebijakan ekonomi yang dirumuskan. 

Sesuai identifikasi kebijakan yang ada, pemerintah justru lebih menghambakan diri pada dana-dana asing yang tidak hentinya mencengkamkan kakinya di lahan investasi Indonesia. Terbukti dengan paket-paket kebijakan yang dirumuskan lebih menguntungkan pihak asing daripada memilih mengedukasi masyarakat sendiri untuk senang berinvestasi. Indonesia merupakan tanah yang harus dimanfaatkan sendiri oleh bangsanya sendiri. 

Apabila dalam masalah investasi saja masyarakat Indonesia sendiri kalah dominan dengan investasi asing. Ingatlah selalu bahwa pembangunan yang berjalan di Indonesia adalah pembangunan semu yang ditonton oleh warganya sendiri. 

Ditulis oleh Pinto Buana Putra (Kader HMI Fisipol UGM, Mahasiswa MKP Fisipol 2013)
Tulisan ini dimuat dalam Poros Mahasiswa Koran Sindo dengan topik "Mendorong Investasi di Indonesia" edisi 
18 Juli 2016, 
http://koran-sindo.com/news.php?r=1&n=4&date=2016-07-18

Senin, 18 Juli 2016

Tentang Turki dan Demokrasi

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , , No comments


Beberapa hari ini kita dikejutkan dengan pemberitaan mengenai percobaan kudeta di Turki yang dilakukan oleh militer Turki dengan tujuan menggulingkan pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Kudeta ini gagal. Bukan digagalkan oleh Erdogan dan pemerintahannya, tetapi oleh rakyat Turki sendiri. Mereka beramai-ramai turun ke jalan menghalangi tank-tank militer Turki yang ingin lewat. Satu hal yang perlu dicatat, mereka turun ke jalan bukan untuk membela Erdogan, mereka turun ke jalan untuk membela kebebasan, untuk membela demokrasi. Sebenarnya apa dan seberapa penting demokrasi ini, sehingga rakyat Turki mau mempertaruhkan nyawa untuk membelanya.
Demokrasi, secara harfiah, berarti pemerintahan yang dilakukan dengan menjadikan rakyat (demos) sebagai pemegang kekuasaan (kratos) tertinggi. Dalam arti ini, secara formal, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tentu saja, di dalam negara-negara berpenduduk kecil, demokrasi bisa berjalan secara langsung, di mana rakyat secara langsung menentukan apa yang baik untuk dirinya sendiri melalui mekanisme diskusi publik. Namun, di negara-negara berpenduduk besar, seperti Indonesia, rakyat diwakili oleh orang-orang yang duduk di dalam perwakilan rakyat, dan mereka inilah yang memastikan, bahwa seluruh kerja pemerintahan mengacu pada kepentingan rakyat, setidaknya begitulah teorinya.
Lalu kapan suatu kondisi bisa disebut demokratis? Setidaknya ada satu indikator penting dalam demokrasi yang sering dilupakan yaitu diakuinya harkat martabat manusia. Diakuinya harkat martabat manusia disini maksudnya adalah, setiap dari kita menyadari bahwa setiap manusia itu terlahir ke dunia ini dalam kondisi yang setara dan mempunyai hak yang sama untuk hidup, untuk berpendapat, untuk update status Line atau upload foto di Instagram, untuk menjadi fans Chelsea FC seperti saya, untuk main Pokemon Go, untuk masuk organisasi bahkan Akatsuki sekalipun, untuk mengkritik orang lain dan yang paling penting untuk menentukan jalan ninjanya eh maksud saya jalan hidupnya sendiri-sendiri. Singkatnya kondisi demokratis menurut saya adalah ketika setiap manusia menjadi aktor utama dalam hidupnya masing-masing dan setiap keputusannya adalah buah pikirnya sendiri bukan merupakan instruksi dari siapapun dan bukan juga hasil dari dogmatisasi dan indoktrinasi. Artinya demokrasi mengakui dan memperbolehkan adanya ketidaksepakatan atau perbedaan pendapat.
Sistem politik dan pemerintahan  manapun di dunia ini baik itu republik, kerajaan, kesultanan, keemiran, kekaisaran, bahkan yang ada di dunia fiksi seperti ke-hokage-an selalu berusaha mengelola segala urusan dalam hidup bersama antar manusia, termasuk  ketidaksepakatan. Namun harus kita akui bahwa hanya demokrasi yang memberikan pengakuan bahwa ketidaksepakatan itu adalah bagian integral dalam hidup bermasyarakat yang tidak boleh dimusnahkan atau ditiadakan tetapi harus dijamin keberadaannya. Dari sini saya berasumsi bahwa rakyat Turki berani mempertaruhkan nyawa untuk membela demokrasi karena bagi mereka hidup tanpa kebebasan dibawah militer tidak ada artinya.
Kebalikan dengan demokrasi, tirani dengan latar belakang ideologi apapun yang mendasarinya apakah itu Komunisme, Fasisme, Orbaisme, dan lain-lain tidak memberikan pengakuan terhadap ketidaksepakatan itu. Dalam sistem tersebut berbeda adalah dosa besar apalagi ketidaksepakatan. Di Jerman zaman Nazi, siapapun yang tidak mau mengucap dan memberi salam “Heil Hitler” adalah bukan orang “kita”, melainkan “mereka”, “liyan”, “the other” begitu pula yang berlaku untuk orang-orang Tiongkok yang tidak pandai mengutip Mao, orang-orang Rusia yang tidak sejalan dengan Stalin, dan orang-orang Indonesia yang menentang Soeharto dan Orde Barunya. Sebuah “Neraka Dunia” sudah disiapkan khusus untuk mereka yang berbeda, contohnya Gulag di Rusia dibawah rezim Stalin, Kamp Konsentrasi Nazi dibawah rezim Hitler, dan Pulau Buru dibawah Rezim Soeharto.
Ada satu hal unik yang saya temukan soal hubungan sistem demokrasi dengan tirani ini. Ada semacam keterhubungan antara keduanya, dan ini berkaitan soal ketidaksepakatan. Saya akan mengambarkannya dengan beberapa cerita dari film kartun, film layar lebar, dan sejarah. Kita mulai dari cerita tentang Raja Sozin dari negara Api yang juga sahabat Avatar Roku dalam film kartun Avatar The Last Airbender yang pernah tayang sampai tamat di Indonesia. Raja Sozin ini menilai bahwa perbedaan pendapat yang terjadi diantara Kerajaan Bumi, Pengembara Udara, Suku Air, dan Negara Api adalah sebuah ancaman oleh karena itu perbedaan pendapat itu harus dihilangkan. Keempat negara itu harus disatukan (dibawah kekuasaan Negara Api tentu saja), singkat cerita dimulailah invasi Negara Api ke seluruh penjuru dunia untuk menghapus perbedaan pendapat ini. Kita lanjut ke cerita dari film layar lebar laris karya George Lucas, Star Wars. Di film Star Wars Episode III: Revenge of The Sith, Anakin Skywalker yang memang sejak kecil merasa perbedaan pendapat di Senat Republik Galaktik tidak membawa manfaat apa-apa apalagi bagi dirinya yang berasal dari planet kecil dan lebih menyukai keteraturan, makin dihasut oleh Kanselir Palpatine bahwa demokrasi lah yang memungkinkan perbedaan pendapat di Senat, dan hal itu pula lah yang mengakibatkan perang, ketimpangan ekonomi, serta penderitaan di planet-planet kecil seperti Tatooine tempat tinggal Anakin dan Ibunya yang kemudian meninggal dunia karena disiksa Tusken Raiders. Anakin kemudian percaya pada Palpatine bahwa demokrasi lah penyebab segala penderitaanya, dan oleh sebab itu maka demokrasi di seluruh galaksi harus dihapuskan. Dia kemudian menjadi pendukung utama Palpatine atau Darth Sidious yang kemudian mengubah Republik Galatik menjadi Kekaisaran Galaktik yang dalam perubahan bentuk pemerintahan dari yang tadinya demokratis menjadi tirani otoriter itu ironisnya diiringi ribuan tepuk tangan di Senat yang terekam dalam kutipan memorable Senator Padme Amidala (istri Anakin) "So this is how liberty dies...with thunderous applause", dan sejak itu Anakin lebih dikenal sebagai Darth Vader.
Hal yang mirip dengan dua kisah tadi bisa kita temukan dalam sejarah peradaban manusia. Kita mulai dengan cerita singkat pembubaran Republik Romawi dan Perubahannya menjadi Kekaisaran Romawi oleh Julius Caesar yang menurut saya menginspirasi George Lucas dalam pembuatan naskah cerita Star Wars. Penaklukan Gaul membuat Caesar –yang memang sudah menjadi pemuka politik– seorang pahlawan tatkala kembali ke Roma. Dan di mata lawan-lawan politiknya malahan terlampau populer dan terlampau kuat. Ketika kendali komando militernya berakhir, dia diperintahkan oleh Senat Romawi kembali ke Roma dan menjadi penduduk biasa. Caesar khawatir, Oleh sebab itu, di malam tanggal 10-11 Januari 49 SM, dalam perlawanan terbuka terhadap Senat, Caesar memimpin pasukannya menyeberangi Sungai Rubicon di belahan utara Italia dan menuju Roma. Ini merupakan langkah melanggar aturan dan tak lain daripada suatu pemula perang saudara antara pasukan Caesar di satu pihak melawan pasukan yang setia kepada Senat di lain pihak. Pertempuran berkecamuk tak kurang dari empat tahun lamanya yang akhirnya dimenangkan oleh Caesar. Caesar berkesimpulan bahwa despotisme yang efisien yang diperlukan Romawi hanyalah dia yang bisa melakukannya bukan senat dengan segala embel-embel demokrasi dan hak berbeda pendapatnya itu.
Ketakutan akan perbedaan pendapat juga pernah menghinggapi pemimpin-pemimpin di Indonesia. Berdiri di atas podium di teras Istana Merdeka, Minggu, 5 Juli 1959, mata Presiden Sukarno tampak lelah. Tapi, pada sore hari itu, suaranya tetap lantang: “Dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan menyelamatkan Negara Proklamasi!” Sebagian besar rakyat yang mendengar pembacaan dekrit presiden itu menyambutnya dengan gemuruh pekik dan tepuk tangan. Padahal, bagi para politisi, keputusan Sukarno bagaikan lonceng kematian. Dengan dekritnya, Presiden membubarkan konstituante-parlemen sah hasil pemilu yang menurutnya terlalu banyak perdebatan di dalamnya. Inilah awal periode Demokrasi Terpimpin, yang sudah dipromosikannya sejak 1957 tapi ditolak oleh Muhammad Natsir (Masyumi), Sutan Sjahrir (Partai Sosialis Indonesia), dan I.J. Kasimo (Partai Katolik). Menurut para pengkritiknya, Demokrasi Terpimpin adalah sistem pemerintahan otoriter. Kritik yang sama dilontarkan oleh Mohammad Hatta. Tapi Sukarno tidak menyerah. Dengan dukungan partai besar seperti PKI, PNI, dan NU, Sukarno akhirnya bisa mendesakkan gagasannya menjadi kenyataan. Cerita tentang ketakutan akan perbedaan pendapat yang dialami oleh pengganti Soekarno, Soeharto, saya kira kita semua sudah mengetahuinya.
Dari cerita-cerita tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa ketakutan akan perbedaan pendapat adalah awal runtuhnya demokrasi dan berdirinya tirani. Satu hal yang harus diingat, demokrasi kadang mati karena panik, panik dengan perbedaan pendapat. Hitler dalam keadaan panik dan takut kekuasaannya diganggu ketika mendirikan Third Reich dan membubarkan pemerintahan demokratis Republik Weimar. Begitu juga dengan Sozin, Anakin, Palpatine, Caesar, Stalin, Soekarno, dan Soeharto. Hal yang ironis sekarang sedang terjadi di Turki. Erdogan yang pemerintahannya terselamatkan karena demokrasi sekarang mulai menangkapi lawan-lawan politiknya dengan dalih untuk menyelamatkan demokrasi. Kalau dengan alasan itu Erdogan mulai bertindak keterlaluan maka sudah saatnya rakyat Turki berteriak lantang kepada Erdogan dengan ucapan yang pernah diucapkan oleh Obi Wan-Kenobi (Guru Anakin dalam film Star Wars) “Anakin, my allegiance is to the Republic, to Democracy!” atau jika disesuaikan dengan kondisi Turki sekarang “Erdogan, kesetiaan kami untuk Republik, untuk Demokrasi bukan untukmu”.


Ditulis oleh Dendy Raditya Atmosuwito (Kader HMI Komisariat Fisipol, Mahasiswa MKP Fisipol 2014)



Sabtu, 16 Juli 2016

Secuil Catatan Kecil untuk Kejadian di Yogyakarta

BY HMI Komisariat Fisipol UGM No comments


Sebagai seorang insan manusia kita dituntut selalu bersyukur atas segala anugerah dan nikmat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Menyuarakan pendapat adalah salah satu bentuk mensyukuri karunia Tuhan berupa akal dan pengetahuan. Dengan berpendapat kita berfikir, mengolah pengetahuan untuk menyuarakan pemikiran, menentukan sikap dan membela yang menjadi hak kita. Maka sejauh pemikiran disampaikan dengan bertanggungjawab, tidak boleh ada paksaan untuk menghalangi atau memberangus pendapat seseorang.
Dalam pandangan Islam, seorang manusia memiliki hak dan bahkan harus berpikir dan berpendapat terhadap apa yang dialaminya. Pada kebanyakan ayat-ayat Al-Qur'an menyeru manusia untuk berinteleksi, berpikir, berpendapat dan berkontemplasi tentang penciptaan semesta.
Selain itu, tugas seorang insan juga terletak pada sikap adil pada sesama. Kedudukan manusia terhadap sesamanya tidak ada yang lebih tinggi drajatnya, tidak juga dibedakan warna kulit, harta, golongan, atau suku. Negara Indonesia berlandaskan Pancasila, menjunjung tinggi demokrasi dan kemanusiaan yang adil & beradab. Seluruh warga negara harus diperlakukan adil di berbagai bidang. Pemerintah bertanggung jawab melindungi hak menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin pada Pasal 28 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap individu yang bisa dipandang dari beberapa urusan, baik yang umum maupun khusus. Pendapat dan apa yang didengar dari pihak lain, merupakan hak setiap individu dalam menghormati pemikiran serta perasaan.
Tindakan yang telah terjadi di Yogyakarta akhir-akhir ini, yaitu tindakan pembubaran aksi dan pengepungan asrama mahasiswa Papua yang dilakukan oleh aparat polisi dan ormas reaksioner, merupakan bentuk penyangkalan dari kebebasan berpendapat yang dijunjung oleh manusia Indonesia.
Dari informasi yang beredar pembubaran aksi dan pengepungan sudah beberapakali terjadi, terakhir hari Jum’at, 15 Juli 2016. Aparat mengatakan ini adalah bentuk pengamanan, tetapi justru membuat mahasiswa Papua tidak merasa aman, juga tidak bisa keluar masuk dengan bebas dari asrama. Hal ini merupakan salah satu bentuk kekeliruan. Bagaimana tidak Indonesia yang sering mengagung-agungkan demokrasi dan kebebasan berpendapat namun demokrasi dan kebebasan itu sendiri di kekang oleh negara? Hal ini merupakan salah satu bentuk miskonsepsi demokrasi jika ada beberapa aktor yang melakukan tindakan represif.
Bentuk penyampaian aspirasi secara damai oleh masyarakat Papua semestinya disikapi dengan bijak. Negara dan oknum ormas tidak perlu berlebihan, kebakaran jenggot, dengan melakukan tindakan represif. Aksi pengepungan adalah berlebihan dan justru menambah keresahan di Yogyakarta. Menciptakan ruang demokrasi yang sebenarnya sangat tidak bijak jika sebagian kelompok membatasi kelompok lain yang tidak sesuai dengan wacana mayoritas. Hal ini merupakan kritik bagi Indonesia yang butuh perlindungan terhadap kebebasan demokrasi.
Kemudian, reaksi berupa tindakan rasis dan diskriminatif sama sekali tidak bisa dibenarkan. Tindakan yang demikian sungguh telah mencoreng nilai kemanusiaan yang adil dan beradab juga menciderai kebhinekaan yang kita junjung bersama. Ingat, “Papua itu adalah kita”. Begitu lah kata-kata yang kita sering dengar. Masyarakat Papua juga bagian dari Indonesia. Kedudukannya setara dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Negara wajib memenuhi segala haknya dan kebutuhan seluruh rakyat dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lini kehidupan lainnya.
Yang perlu dilakukan Pemerintah adalah mendekatkan diri terhadap permasalahan yang telah terjadi. Tentunya aspirasi teman-teman Papua tersebut menjadi lampu peringatan bagi Pemerintah bahwa ada yang salah dengan kebijakan pemerintah di bumi Papua. Pemerintah sebaiknya bijak bersikap dalam menghadapi segala bentuk aksi setiap elemen masyarakat. Dan tidak memperkeruh keadaan apalagi membuka ruang bagi provokasi di tengah masyarakat.
Pada akhirnya, selain menutup hak kebebasan berpendapat mahasiswa Papua, tindakan berlebihan justru akan menghadirkan potensi efek domino yaitu stigma dan diskriminasi bagi mahasiswa-mahasiswa Papua. Sikap dan pendekatan aparat terhadap mahasiswa Papua semakin memperburuk peran negara sebagai pelindung warganya. Pendekatan yang mengarah pada tindak represif dan kekerasan harus disudahi.
Cara demokratis yang perlu dikedepankan. Kehidupan bernegara tidak boleh dibangun di atas penindasan oleh anak bangsa terhadap sesama anak bangsa lainnya. Seluruh elemen masyarakat hendaknya saling menjaga perdamaian. Tidak terbakar oleh provokasi oknum-oknum reaksioner yang menyulut tindak rasialisme, diskriminasi dan kekerasan.


Ditulis oleh Pinto Buana Putra (Ketua HMI Fisipol UGM 2016/2017)

Kamis, 07 Juli 2016

Antara Kewajiban dan Menggugurkan Kewajiban

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , No comments


Tanpa kita sadari, era digital telah banyak mengubah peran diri yang lebih suka menjadi produsen informasi, ketimbang sebagai penerima informasi. Hal ini terjadi lantaran setiap orang memiliki hak yang sama dalam memproduksi wacana, sehingga menyebabkan kecepatan dari stimulus informasi itu lebih cepat dari respon manusia terhadap informasi itu sendiri.
Situasi demikian akan sangat rawan terhadap fenomena ‘tragedi buta’, yaitu suatu kondisi dimana seolah-olah seseorang tidak lagi memiliki kesempatan untuk menyaring informasi. Begitu informasi tersebar secara sporadis, saat itu juga orang tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengklarifikasi informasi ditengah mobilitas yang padat. Hasilnya hanya informasi parsial yang didapat. Kalau sudah begini bisa dibayangkan bukan, dengan informasi yang parsial, bagaimanakah validitas informasi yang di produce selanjutnya? Inilah yang kemudian disebut sebagai tragedi fatalisme dalam masyarakat digital.
Jika kita tidak berhati-hati, ‘postingan status’ yang awalnya difungsikan guna mereproduksi wacana sekaligus memberikan semacam hak atas eksistensi manusia, seketika justru membuat diri kita weakness, akibat perilaku kita sendiri yang berlebihan menggunakan kesempatan itu untuk ‘produce’. Kita tidak sadar, setiap orang memang dibebaskan menggunakan peluang, tetapi ingat, bahwa setiap kebebasan selalu berbatasan dengan kebebasan orang lain. Apalagi diruang publik. Kita harus menghargai dan ‘mensedekahkan’ kesempatan untuk orang lain eksis, apalagi media kini yang selau berbasis pada time line. Dengan begitu, reproduksi wacana dapat berdialektis, dan tidak berkutat pada informasi tunggal.
Parahnya fenomena overproduce informasi ini ternyata cukup merusak momentum hari raya idul fitri ini. Banyak diantara kita kini sudah merasa ‘minta maaf’ cukup dengan copas sana-sini, share ke group chat, semua dianggap beres. Satu, dua, tiga, dan semua anggota grup melakukan hal serupa dalam satu grup. Sekilas terlihat efisien dan hemat: hemat waktu, hemat energi, hemat pulsa. Namun kita tidak menyadari komunikasi tersebut sebenarnya hanya bersifat monolog, dan tidak terjadi dialog yang berarti. Sehingga melunturkan tanggung jawab moral interpresonal sebagai manusia. Kita menjadi sangat pelit untuk berbagi ditengah keluangan. Perkara meminta maaf dan memaafkan, yang sebetulnya merupakan kewajiban bagi setiap manusia untuk melakukannya, akan tetapi kini, itu tak lebih dilakukan dari sekedar ‘menggugurkan kewajiban’ –lebih tepatnya, menggugurkan kewajiban sebagai manusia yang memiliki eksistensi diri dalam arena pergaulan sehari-hari.
Saya sendiri percaya, suatu tindakan yang dilakukan hanya karena motif menggugurkan kewajiban, pencapaiannya yang didapat pun juga tidak lebih dari standar minimal. Berbeda halnya kalau kita menyadarinya sebagai sebuah amanah (kewajiban yang harus dilakukan), tentu saja kita akan dengan senang hati melakukannya sebaik mungkin, sedapat mungkin melampaui jauh batas minimal. Sehingga akan sangat aneh, jika esensi maaf dan memaafkan ini nilainya disamaratakan sebatas grup chat.
Bukannya saya anti pada kemajuan teknologi, tapi saya hanya ingin merefleksikan ulang pentingnya makna dari sebuah tanggung jawab moral interpersonal, yang perlahan mulai memudar. Mungkin sebagian dari kita masih teringat arti dari sebuah hubungan emosional taatkala handphone masih menjadi barang mahal. Sehingga satu-satunya media untuk menjalin silaturahmi bersama keluarga dan kerabat yang paling mudah saat itu hanyalah surat.
Menulis surat mengajarkan kita untuk menghargai sebuah momentum dan membangun hubungan interpersonal yang begitu intim. Percaya atau tidak, proses membuat surat itu membutuhkan pengorbanan. Kita butuh waktu sendiri dan berfikir ketika menulis suratnya, selanjutnya mengemasnya dengan kertas surat yang sudah ditempeli perangko, lalu berjalan ke kantor pos, dan menunggu balasan dari orang yang kita kirimi surat. Selama rentang waktu itu, kita akan terus mengingat orang yang kita kirimi surat sampai terkadang mencemaskannya, karena tidak dapat memastikan apakah surat tersebut benar-benar sampai ketangan orang yang kita tuju. Pun membutuhkan waktu yang relatif lama agar surat yang kita kirimkan sampai ke tujuan. Belum lagi tambah ongkos yang jauh lebih boros ketimbang mengirim pesan via SMS apalagi media sosial seperti WA, BBM dan Line. Keterbatasan itulah mendorong kita untuk menuliskannya “lebih niat”, dan pastinya syarat makna
Hal itu tidak akan pernah kita rasakan ketika mengirim pesan elektronik, pesan singkat, dan sejenisnya lantaran memastikan pesan tersampaikan sangatlah mudah. Tinggal lihat saja tandanya, kalau D (delivered) artinya pesan kita sudah terkirim, tetapi belum dibaca, dan R (read) artinya selain pesan kita sudah tersampaikan dan juga telah dibaca oleh yang bersangkutan. Sudah begitu akan sangat mudah pesan kita di ralat dalam waktu cepat, berbeda halnya dengan surat konvensional, sekali kirim, yasudah, akan sangat sulit untuk diralat.
Dari sini kita akan belajar bagaimana caranya memanusiakan manusia, menghargai keberadaan manusia dengan memberi mereka (keluarga dan kerabat) tempat di alam bawah sadar untuk kita ingat pedulikan eksistensi dan perasaannya.
Memang kegiatan menulis surat di zaman dahulu dilakukan karena tidak ada cara lain selain menulis surat. Kendatipun begitu, apakah kewajiban kita untuk memanusiakan manusia harus berakhir seiring dengan munculnya teknologi berbasis digital? Tentu jawaban tidak. Semakin banyak orang berbondong-bondong mulai beralih ke smartphone, semestinya lebih memungkinkan kita untuk dapat lebih leluasa mengucap kata maaf secara personal, bukan sebaliknya. Toh juga lebih hemat, tinggal buka Whatsapp, line, BBM, Beres. Tinggal kita mau atau tidak.

Tulisan dimuat dalam https://indonesiana.tempo.co/read/80631/2016/07/07/tauchid.komara.y/antara-kewajiban-dan-menggugurkan-kewajiban
Oleh : Tauchid Komara Yuda (Mahasiswa PSdK Fisipol UGM, Kadep Litbang HMI Komisariat Fisipol 2015/2016)

Minggu, 03 Juli 2016

Konflik Agraria Derita Petani, Subur Tirani di Negeri Bumi Pertiwi

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , , No comments

Kita semua punya ekspektasi besar untuk Bumi Pertiwi dalam kehidupannya hari ini, juga untuk masa depannya. Kita semua berharap bahwa suatu hari nanti, Indonesia yang baik akan sungguh-sungguh bersemi dan membuktikan bahwa dirinya sama sekali bukan sekedar bualan aparatur negeri Kita bisa bermimpi tentang apa saja bagi bangsa Indonesia agar negeri ini bisa kita sebut sebagai Indonesia yang berdaulat bebas dari intervensi, bukan sebagai tirani. Kita mungkin membayangkan sebuah Indonesia yang seluruh rakyatnya bebas dari kemiskinan dan rasa lapar. Kita mungkin bisa membayangkan sebuah Indonesia yang seluruh rakyatnya bisa bebas menikmati air dan udara yang segar. Kita mungkin membayangkan sebuah Indonesia dimana seluruh rakyatnya bisa melangsungkan hidupnya secara nyaman dan tentram tanpa khawatir digusur sewaktu-waktu.
Akhir-akhir ini kita disuguhi potret pilu kekerasan konflik agraria antara masyarakat petani pedesaan dengan pemilik modal (perkebunan dan tambang) serta Negara beserta aparatur keamanannya. Kita juga sering mendengar terkait konflik agraria yang menyeruak diberbagai media. Jika kita melihat akar rumput dan sejarahnya tentu konflik agraria bukanlah hal baru didalam era reformasi ini. sepanjang sejarah bangsa ini, konflik agraria ini memang selalu menjadi gunjingan yang legit untuk diperbincangkan bagi khalayak umum. Konflik agraria ini di Indonesia atau lebih tepatnya Hindia Belanda mulai muncul di era pemerintahan kolonial. Saat itu kebijakan pemerintah kolonial dibuat untuk mengeksploitasi besar-besaran sumber agraria untuk kepentingan negara kolonial. Akibatnya terjadi penyingkiran rakyat dimana-mana dari tanah-tanah yang mereka garap sebagai sumber hidup mereka [1]. Setelah itu paska kemerdekaan konflik agraria mulai menjamur dan menyeruak dimana-mana seperti halnya kasus konflik Agraria di Cilegon Banten (1988), Cimacan Bandung (1989), Jenggawah Jember (1995) hingga yang terbaru-baru ini seperti kasus Rembang, Urut Sewu dan Salim Kancil di Lumajang
Mengenal Sedikit Banyak Tentang Konflik Agraria dan Perspektif. Apa sih yang terbayang dibenak kita jika mendengar konflik agraria? Mengacu pada dua teori marxis dan pluralisme hukum. Teori Marxis menyatakan bahwa konflik agraria terjadi akibat perkembangan ekonomi kapitalis yang mengakibatkan penduduk terlempar dari tanahnya (tesis ploretarisasi). Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tanah atau yang tanahnya dirampas kepada kapitalis. Negara ditempatkan sebagai instrumen kapitalis. Di pihak lain, Teori Pluralisme Hukum memandang konflik agraria terjadi akibat adanya lebih dari satu hukum yang kontradiktif yang dipakai oleh berbagai pi hak, terutama hukum adat dan hukum negara. Hukum negara dipahami memberikan kekuatan kepada negara untuk mendelegitimasi hak-hak komunitas lokal, sementara komuniats lokal menggunakan hukum adat untuk membenarkan hak-hak mereka (Benda-Beckmann & Benda-Beckmann, 1999:6, Ruwiyastuti, 1997, Biezeveld, 2001). Secara umumn konflik agraria adalah suatu proses interaksi yang melibatkan dua orang aktor (lebih) atau kelompok yang saling bertentangan guna memperjuangkan kepentingan mereka atas objek yang sama, yaitu tanah, apa yang ada di dalam tanah itu, maupun udara yang ada di atas tanah itu[2]. Perebutan atas sumber daya ini biasanya memakan waktu yang tidak singkat, penyelesaiiannya pun harus melalui perdebatan yang alot dan tarik menarik kepetingan. Bahkan tidak jarang konflik yang terjadi jadinya juga melibatkan pemerintah di dalamnya. Pada dasarnya, sumber konflik agraria adalah adanya ketidakadilan ataupun ketimpangan dalam pemanfaatan sumber-sumber agraria. Menurut Wiradi Gunawan, di Indonesia sendiri ada tiga macam ketimpangan yang dapat memicu hal tersebut, salah satunya adalah ketimpangan dalam hal ‘peruntukan’ tanah[3]. Ketimpangan ini berkaitan erat dengan berubahnya fungsi lahan-lahan yang ada. Yang paling sering memicu konflik adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Untuk kasus yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan dimana peran negara dalam menangani konflik-konflik Agraria
Konflik Agraria Mengacu pada Data Konsorsium Pembaruan Agraria Data yang terekam Konsorsium Pembaruan Agraria, dalam 2014 sedikitnya terjadi 472 konflik dengan luas mencapai 2.860.977 hektar. Konflik ini melibatkan sekitar 105.887 keluarga. Dari jumlah itu, konflik agraria menyangkut infrastruktur terkait MP3EI sekitar 1.215 (45,55%). Disusul perkebunan 185 kasus (39,19%), sektor kehutanan 27 kasus (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan 12 (2,97%), perairan dan kelautan empat kasus (0,85%, dan lain-lain tuh konflik (1,48%). Jika dibandingkan dengan 2013, terjadi peningkatan sebanyak 103 kasus (27,95). Catatan KPA, periode 2004-2014, terjadi 1.520 konflik, dengan luasan 6.541.951 hektar, melibatkan 977.103 keluarga. Jika dilihat dari luasan konflik, perikanan dan kelautan mencapai 1.548.150 hektar (54,1%), perkebunan 924,740 ribu hektar (32,32%), dan kehutanan 271,544 ribu hektar (9,49%). Lalu, infrastruktur 74,405 ribu hektar (2,6%), pertanian 23.942 hektar (0,8%), lain-lain 11.242 hektar (0,39%) dan pertambangan 6.963 hektar (0,2%). Dibanding 2013, terjadi peningkatan 123% atau sebesar 1.579.316 hektar. “Perikanan dan kelautan terbesar karena perebutan konsesi migas dan perbatasan antara negara (Malaysia dan Indonesia).”[4] Konflik agraria dan penguasaan sumberdaya alam tidak hanya mengakibatkan tanah yang menjadi tumpuan hidup petani “terampas”. Disamping itu, kadang kala terjadi kriminalisasi dan pengalihan isu yang cenderung menggunakan pendekatan kekerasan. Sementara pemerintah seakan-akan berpangku tangan dan lambat merespons untuk upaya penyelesaian. Dalam banyak kasus, konflik agraria ini berujung pada ekslusi atau penyingkiran terhadap rakyat, terutama petani dan masyarakat adat, dari alat-alat produksi, sumber daya, dan ruang kehidupan. Yang perlu dilihat, pertama, ada korelasi antara peningkatan jumlah kasus konflik agraria dengan kebijakan ekonomi pemerintah yang mengarah ke liberalisasi ekonomi, termasuk sektor agraria. Data KPA menyebutkan, sebagian besar konflik agraria di Indonesia meletus di sektor perkebunan, infrastruktur, pertambangan, dan kehutanan. Di sisi lain, seiring dengan kebijakan liberalisasi investasi, jumlah kapital yang berduyung-duyung masuk ke sektor tersebut juga banyak. Di tahun 2013, misalnya, PMA paling banyak jatuh ke sektor pertambangan, yakni 20,7% (BKPM, 2013). Selain itu, ekspansi kapital yang sangat massif, terutama yang berbasiskan eksploitasi sumber daya alam, membutuhkan penguasaan atas tanah dan ruang yang mengandung kekayaan alam (mineral, hutan, minyak, gas, batubara, dll). Inilah yang mendorong penyingkiran terhadap terhadap penduduk yang mendiami atau sedang berusaha di atas tanah/teritori tersebut. Di sini, pemerintah memainkan dua peran dominan. Satu, menyiapkan regulasi yang meliberalkan penguasaan terhadap tanah dan sumber daya tersebut. Dua, memberikan jaminan keamanan bagi ekspansi kapital itu, termasuk membantu penyingkiran penduduk di atas tanah atau ruang yang hendak dicaplok oleh investor. Ini terbukti dengan pelibatan TNI/Polri dalam penanganan konflik agraria. Kedua, konflik agraria ini juga mencerminkan menajamnya ketidakadilan agraria di Indonesia. Indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,72 (Khudori, 2013). Selain itu, BPN juga mengungkapkan, hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah. Sementara 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah. Ditambah lagi, seiring dengan liberalisasi sektor agraria, terjadi praktek penjungkir-balikkan, penghancuran, dan penghilangan hak-hak milik bersama dan atau hak-hak untuk menggunakan secara adat atas tanah atau sumber daya alam. Juga penciptaan payung hukum yang memungkinkan swasta/korporasi bisa memonopoli kepemilikan tanah yang luas. Karena itu, saya kira, penyelesaian konflik agraria tidak akan mungkin efektif jika tidak menyentuh langsung ke akar persoalan. Maksudnya, penyelesaian konflik agraria harus koheren dengan langkah mengubah model kebijakan ekonomi saat ini, termasuk di sektor agraria. Jadi, pembentukan Panitia Ad-hoc saja belum cukup. Pembentukan Panitia Ad-Hoc, bila tidak disertai dengan upaya mengubah kebijakan ekonominya, justru akan menjadi alat kanalisasi terhadap radikalisasi petani dalam memperjuangkan haknya atas tanah. Dari runtutan peristiwa diatas dapat diambil benang merahnya bahwa potret kebijakan yang menjadi pilihan pemerintahan dari waktu ke waktu masih saja memiliki wajah yang kapitalistik, berpihak pada usaha pemanfaatan atau eksploitasi skala besar dan melupakan keberadaan rakyat yang hidup miskin di tengah kekayaan yang dieksploitasi tanpa sedikitpun memberikan manfaat bagi kehidupan mereka yang hidup didalam atau di sekitar sumber daya tersebut.[5] Sementara itu keadilan agraria jelas merupakan mandat UUD 1945, tegasnya dalam Pasal 33 UUD 1945, yang implementasinya sudah diatur di dalam Peraturan Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Sekilas salah satu potret konflik agraria di Indonesia ini “diTanah Bumi Pertiwi, Nyawa tak Semahal Tambang yang Beroperasi”
Salim adalah salah satu dari jutaan keluarga petani di Indonesia hari ini yang terampas haknya dan terenggut jiwanya. Salim seorang petani biasa yang meyakini bahwa tambang di desanya hanya membawa petaka. Keyakinan ini berujung malapetaka baginya. Keyakinan yang membuat dia teraniaya. salim dianiaya mirip dengan binatang: didatangi oleh rombongan preman bermotor yang membawa senjata: Pentungan, cangkul, clurit hingga batu. Matahari jadi saksi bisu kebiadaban itu. Salim yang babak belur tapi tak banyak luka itu akhirnya diseret ke dekat makam. Kesal karena seolah Salim kebal, penganiaya ambil batu. Di sana kepalanya dipukuli berkali-kali dengan batu. Berulang-ulang hingga roboh dan bermandi darah. Salim wafat tercabik-cabik dengan batu serta kayu di sekucur tubuhnya Negara yang seharusnya menjaga, memelihara dan melindungi keamanan warganya, dalam pembantaian tersebut, Negara absen seolah-olah tutup mata atas kejadian biadab tersebut. Jika bandingkan dengan progresivitas perkembangan tambang Batu bara Indonesia 10 tahun terakhir mengalami tingkat pengurasan salah satu yang tertinggi di dunia. Indonesia menguras batu baranya lebih tinggi dari Australia yang memiliki cadangan batu bara lebih banyak ketimbang Indonesia. Batu bara Indonesia salah satunya diekspor ke China, dan China adalah salah satu negara yang memiliki cadangan batu bara terbesar di dunia. Bauksit yang harus dimurnikan ke luar negeri menjadi alumina, lalu alumina-nya dijual kembali ke Indonesia dengan harga mahal. Alumina diolah menjadi aluminium ingot dalam negeri tapi dijual ke satu negara dengan kontrak jangka panjang yang tidak terlalu profitable bagi pendapatan negara. Apakah Negara justru memberikan legitimasi bagi para kapital untuk mengkooptasi sumber daya termasuk tambang? Apa yang kita lihat justru negara dan para pemodal dibeking pria-pria gagah berbintang kian marak, pengadilan sebagai buntut terakhir dalam menyelesaikan masalah justru juga ikut memenjarakan orang-orang yang mengusik kenyamanan investor. Apa hasil kebun dan tambang selama era harga komoditas tinggi? Sumbangsih ke negara memang ada. Tapi menyisakan banyak persoalan dengan kerusakan ekologis, konflik agraria, dan strategi hilirasi yang entah kapan selesainya. Dalam program kerjanya kini pemerintah akan membangun infrastruktur. Tidak main-main, pemerintah canangkan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW, satu juta rumah per tahun, 47-49 bendungan besar, pelabuhan, industri galangan kapal, rel kereta di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua. Setidaknya seluruh proyek infrastruktur akan menelan ribuan triliun hingga melebihi kapasitas dalam APBN. Jumlah yang tidak sedikit, sementara ruang gerak fiskal dan kemampuan perbankan nasional sangat terbatas. (K.Dirgantoro:2015) Sebagai contoh, bendungan besar yang memakan biaya Rp5-7 triliun per unit. Digunakan untuk sawah penghasil padi. Untuk apa membuat demikian banyak atas nama swasembada beras? Apakah setelah semua bendungan terbangun, output pertanian yang dihasilkan dan dikoleksi pemerintah, sanggup membayar cicilan bendungan? Membangun kereta api di Kalimantan, berapa investasi lahannya, Siapa penggunanya? Orang Kalimantan-kah? Atau jalur kereta yang digunakan untuk mengangkut batu bara dan hasil kebun milik konglomerasi ke pelabuhan atas nama efisiensi, siapa yang sungguh mendapat manfaatnya? Siapa yang untung besar atas pembebasan lahan, mulai dari proses rincikan hingga penentuan harga? Rakyatkah? Konglomerasi kebun sawit, dan tambang berbagai macam mineral, dibantu dengan upaya negara membangun infrastruktur adalah suatu langkah bernyali untuk kemajuan negeri. Tapi apakah negara siap senantiasa hadir untuk menegakkan hukum, melindungi hak warganya, mencari jalan tengah agar tak terjadi konflik yang kian hari berpotensi kian tajam? Tragedi Salim adalah satu dari sekian banyaknya contoh betapa negara absen melindungi rakyatnya. Salim Kancil berdiri tegak menampar kekuasaan yang congkak, walau risiko yang mereka terima sungguh berat. Mereka hanya petani di ujung daerah yang mungkin kita tak pernah kenali. Hanya ingin mempertahankan sejengkal lahan. Hidup atau mati. Apakah Negara masih buta terhadap penindasan dan ketidak adilan yang muaranya berasal dari konflik agraria? Apakah negara masih tuli terhadap seruan aspirasi masyarakat yang tertindas haknya? Dan akan berapa banyak Salim lagi yang akan terenggut jiwanya demi sebuah pertumbuhan ekonomi makro? Disini saya bukan benci terhadap pemerintahan Disini saya juga bukan tidak percaya ataupun skeptis terhadap kinerja pemerintah beserta aparatur negerinya Tapi, ini adalah wujud cinta dan kasih sayang kami terhadap pemerintah bahwa negara beserta aparatur negaranya seharusnya menjaga, memelihara, mengayomi, memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak warganya yang tertindas
Ditulis oleh Sri Bintang Pamungkas (Mahasiswa Departemen Politik & Pemerintahan Fisipol UGM 2014, Kader HMI Fisipol UGM) Daftar Pustaka
-Benda-Beckmann, Von, F.& Von K. Benda -Beckmann, “Social Security, Natural Resources Management And Legal Complexity,” makalah dalam Seminar on Legal Complexity, Natural Resources Management and Social Security, Padang, 6 -9 November 1999. -Biezeveld, R., “Nagari, Negara dan Tanah Komunal di Sumater a Barat, “ dalam Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 -Ekslusi” dalam bahasa Hall, Hirsch and Li. “The Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia”. Honolulu: The University of Hawaii, 2011 -Nancy Lee Peluso, Rich Forest Poor People: Resource Control and Resistance in Java.Berkeley: University of California Press, 1992 -Ruwiastuti, R., M., Sesat Pikir: Politik Hukum Agraria, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. -Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000 [1] Ekslusi” dalam bahasa Hall, Hirsch and Li, 2011. “The Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia”. Honolulu: The University of Hawaii, hlm. 34 [2] Hoult dalam Gunawan Wiradi “Reforma Agraria: perjalanan yang belum berakhir” hlm. 85 [3] Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Jakarta: Pustaka Pelajar hal. 87 [4] dikutip dari Iwan Nurdin, Sekjen KPA kala diskusi Catatan Akhir Tahun 2014 di Jakarta, Selasa (23/12/14). [5] Sebuah ironi diperlihatkan dalam buku Nancy Lee Peluso,1992, Rich Forest Poor People: Resource Control and Resistance in Java.Berkeley: University of California Press. Dalam buku ini Peluso menyebutkann bahwa konflik dan kemiskinan mengitari keberadaan sumber-sumber daya alam (dalam bukunya secara khusus membahas tentang kekayaan sumber daya hutan) yang kaya namun dieksploitasi tidak untuk memakmurkan. sumber foto : http://regional.liputan6.com/read/2531516/tuntutan-keluarga-salim-kancil-utang-beras-bayar-beras#

Jumat, 01 Juli 2016

Anomali Gerakan Volunterisme

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , , No comments


Babak baru dari perjalanan demokrasi di Indonesia tengah dimulai dengan menggejalanya gerakan volunterisme untuk merespon berbagai isu publik. Hebatnya lagi, gerakan-gerakan volunterisme ini mayoritas diinisiasi oleh ide kreatif anak muda melalui pemanfaatan kemajuan teknologi dan informasi sebagai akses guna mencapai tujuan mereka.
Kecenderungan partisipasi anak muda dalam merambah urusan publik ini patut diapresiasi sebagai sebuah kemajuan intelektual, afektif, dan kognitif yang sangat luar biasa. Bahkan kehadiran mereka dalam suatu momentum dapat menjadi subtitusi negara dalam mendistribusian kesejahteraan. Misalnya aksi nyata menghimpun dana untuk membantu para penderita kanker yang terlantar, anak-anak putus sekolah, bantuan kemanusiaan, termasuk gerakan donasi untuk ibu Saeni, yang belakangan sempat menjadi topik perbincangan viral di kalangan netizen.
Pada perkembangannya, gerakan volunterisme ini ternyata tidak berhenti sebatas isu-isu sosial kemasyarakatan saja. Sebagian telah menjalar ke ranah politik praktis. Sebagaimana kemunculan sekumpulan anak muda yang tergabung dalam gerakan relawan tokoh politik. Secara positif, fenomena ini dapat dilihat dari dua hal. Pertama, telah munculnya kesadaran anak muda untuk turut ambil bagian dalam menentukan nasib bangsa kedepan. Mereka sadar siapa yang dianggap layak untuk dikokohkan dalam elektoral. Dalam pandangan Marshal (1950), kesadaran berpolitik adalah wujud dari penyempurnaan kesadaraan diri individu sebagai citizen, yang tidak melulu memandang dirinya dari sudut pemenuhan haknya sebagai civil atau social saja. Lebih dari itu, kewajiban sekaligus hak untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi nyata, yaitu: kekuasaan rakyat.
Kedua, sebagai mosi untuk menunjukan kejenuhan publik kepada pola kepemimpinan berbasis partai politik yang terstigma elitis, dan kurang mengakomodasi kepentingan rakyat. Sehingga secara tidak langsung kemunculan mereka ini menjadi evaluasi bagi pemerintah untuk segera melakukan pembenahan institusional sistem representasi politik di Indonesia. Bagaimanapun representasi politik ini penting dalam fungsinya menghimpun suara publik yang beragam, untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam kebijakan publik.
Akan tetapi tak dapat dimungkiri fenomena volunterisme tokoh politik ini disisi lain juga menunjukan anomalinya. Sebab dalam perjalanannya, terdapat pengkultusan tokoh politik layaknya “nabi”. Tidak tanggung-tanggung, pengkritiknya pun akan dengan cepat di framming sebagaihaters. Sebagaimana pada masa kampanye pilpres 2014. Para relawan-relawan politik –baik yang terlibat secara langsung, ataupun tidak langsung– dari kedua kandidat presiden terus memproduksi wacana siapa yang layak menduduki tampuk kekuasaan. Tak jarang aksi saling serang dengan isu-isu SARA pun dilakukan. Begitu fenomenalnya, bahkan romantisme saling serang tersebut masih dapat dijumpai dalam media sosial saat ini.
Sedang kasus terbaru, yakni pasca Teman Ahok diberitakan oleh Tempo terkait indikasi kucuran dana. Begitu cepatnya, organisasi relawan ini melakukan counter atas pemberitaan tersebutsembari beramai-ramai menyudutkan Tempo melalui hastag #jatuhtempo melalui linimasa media sosial. Selanjutnya, kabar terkait Teman Ahok yang merestui pilihan alternatif Ahok untuk menempuh jalur parpol pada pencalonan pilgub Jakarta 2017 juga penuh tanda tanya. Lantas, apa fungsi teman Ahok selama ini bersusah payah menggalang dukungan dengan mengumpulkan satu juta KTP untuk Ahok? Bukankah ini dilakukan dalam rangka kampanye atas independensi Ahok? Mengapa terkesan plin-plan sekali?
Selain itu, ikhwal keidentitasan Teman Ahok juga nampak seksi untuk dibicarakan. Sebagaimana ricuh kasus pengakuan beberapa eks Teman Ahok yang membocorkan permasalahan internal organisasi. Apakah ini yang namanya teman? Kalau teman dikala koleganya sulit otomatis membantu, sedangkan karyawan ya berunjuk rasa. Beginilah cara eks teman Ahok ini berunjuk rasa. Sehingga bagi saya pribadi, agak sulit untuk diterima akal perihal keidentitasan teman Ahok sebagai relawan.
Dalam kurun waktu tertentu, anomali gerakan volunterisme politik semacam ini dikhawatirkan dapat melemahkan fungsi kontrol publik (popular control) terhadap urusan publlik, lantaran ketergantungan massa pengikut kepada figur tokoh yang terlalu berlebihan. Dengan kata lain, gerakan yang awalnya muncul sebagai bentuk kritik sekaligus alat kontrol atas kekuasaan, justru berbalik “mengamankan” jalannya kekuasaan melalui perilaku-perilaku fanatiknya itu. Tentu kita tidak menginginkan situasi demikian berlanjut bukan?
Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya mengajak pembaca yang budiman untuk menyadari bahwa bekerjanya demokrasi bukan sebatas political liberty sematatetapi lebih dari itu, yakni soal integrated politics, fairness, dan kedewasaan berperilaku. Akhir kalam saya tekankan, tak ada yang salah dengan menjadi volunter tokoh politik. Hanya saja yang perlu diingat, begitu sang tokoh berhasil ke puncak, lekaslah sadar peran kita sebagai sipil, lalu segera awasi jalannya kekuasaan –juga dengan “sukarela”.

Oleh : Tauchid Komara Yuda 
(Mahasiswa PSDK 2013, Kadep Litbang HMI Komisaroat Fisipol UGM 2015/2016 )