Judul : Lipstick Traces : A Secret History Of The 20th
Century
Pengarang : Greil Marcus
Tebal buku : 496 halaman
Bahasa : Inggris
Penerbit :
Harvard University Press
Tahun terbit : 1989
(cetakan perdana)
Sebuah abad tidak dapat terlepas dari
peristiwa-peristiwa yang membentuknya. Di setiap abad ada sebuah ciri khas
tersendiri. Lipstick Traces bercerita mengenai abad ke 20 dari sisi yang tidak
“biasa”. Abad ke 20 dalam buku ini adalah sebuah abad yang penuh dengan gelora
resistensi anak-anak muda meskipun tidak dapat dipungkiri buku ini juga
membahas kontradiksi tersendiri yang dialami oleh anak-anak muda abad itu yaitu
sebuah kecenderungan untuk menjadi cuek atau bahkan nihilistik.
Dalam
buku Lipstick Traces merangkai argumennya dari peristiwa-peristiwa sejarah yang
tidak biasa dan bagaimana peristiwa tersebut berelasi dengan konteks zaman ini
. Lahirnya etika seni seperti Dada, Situasionist, atau bahkan kelahiran
genre musik seperti rock & roll maupun
punk bukanlah sebuah sejarah kelahiran yang instan atau dapat dikatakan netral
dari tendensi politik apapun. Di buku Lipstick Traces ini, karya seni
diperlakukan tidak seperti artefak sejarah yang hanya mengisi etalase museum
atau teronggok mati di gudang belakang rumah anda. Karya seni adalah sebuah
bentuk aktualisasi diri, sebuah hasil produk budaya yang tidak hanya saja dapat
dinikmati namun juga direnungkan maknanya. Dalam karya seni, tidak hanya berisi
estetika atau keindahan, akan tetapi juga sebuah statemen. Kita bisa merujuk
kepada sebuah etika seni Dadaisme , sebuah etika yang memiliki absurditas dan
juga tendensi ke arah nihilistik. Alasan mengapa Dadaisme bisa populer dan
dinikmati oleh para kawula muda ketika itu karena Dadaisme dianggap cocok
dengan realita yang dibentuk abad ke 20, sebuah zaman dimana nihilisme,
kepasifan dan absurditas adalah sebuah cara lari dari kenyataan. Itu satu sisi
yang diungkap oleh Greill Marcus mengenai Dadaisme dan mengapa itu berkolerasi
dengan muda-mudi di abad ke 20. Setelah bercerita panjang lebar mengenai
Dadaisme , Greill Marcus membawa para pembacanya ke etika seni yang kedua yaitu
Situationist, sebuah etika seni yang merupakan kombinasi dari teori Marxisme ,
semangat perlawanan terhadap kesenjangan sosial dan instrumen artistik Avant –garde
ala Eropa. Semangat dari aliran ini adalah menyediakan sebuah konsep alternatif
untuk membahasakan politik dan mempropagandakan resistensi melalui seni. Tujuan
mereka jelas yaitu menyediakan pendidikan politik bagi masyarakat urban untuk tidak
menjadi masyarakat yang tidak ambil peduli akan permasalahan sosio politik di
sekitar mereka. Aliran seni yang terakhir yang dibahas dalam buku ini adalah
aliran seni musik rock & roll dan punk. Kedua aliran musik ini lahir pada
sebuah masa yang dimana alienasi , kebosanan dan kemapanan sebuah sistem
menjadi sebuah wacana yang dominan. Rock & roll dan punk tidak hanya
sekedar alunan musik namun juga merambah ke gaya hidup anak muda di awal abad
ke 20 seperti seks, minuman keras, lirik lagu yang maskulin dan gaya berpakaian
serta model rambut. Punk dan Rock & Roll adalah sebuah tonggak sejarah baru
di abad ke 20 karena tidak hanya produk budaya berupa lagu-lagu hits belaka
namun juga sebuah cara mewacanakan resistensi terhadap kemapanan, perang, isu
gender, rasisme dan kapitalisme.
Dalam
buku ini, Greill Marcus mengajak para pembaca untuk membaca sebuah pola
kecenderungan sejarah khususnya sejarah seni. Buku ini menawarkan pembacaan
baru untuk melihat bagaimana seni dapat menjadi ruang berpolitik, ruang dimana
diskursus budaya saling berkontradiksi dan berdialektika. Di era sekarang,
produk budaya tanding seperti budaya punk, rock & roll, hip-hop, visual kei
atau graffiti merajalela dan dapat diakses dengan mudah. Seniman – seniman
dengan ide – ide budaya tanding tadi apabila dipertemukan strategi pemasaran
yang tepat akan meraup keuntungan secara maksimal disertai dengan meroketnya
popularitas. Hal inilah yang tidak banyak dibahas atau diantisipasi dalam buku
ini. Greill Marcus tidak mencoba untuk melihat kecenderungan sebuah produk
budaya tanding untuk dikomodifikasi yang nantinya akan membuat produk budaya
tersebut tidak ada ubahnya seperti barang industri belaka.
Membaca
Lipstick Traces akan mempermudah anda untuk mengerti genealogi dari budaya tanding
itu sendiri dimulai dari isu apa yang dibahas instrumen seni macam apa yang
digunakan, dan bagaimana situasi sosial politik mempengaruhi sebuah konteks
dari karya itu sendiri. Untuk para akademisi studi budaya, buku ini bisa
menjadi acuan untuk genealogi dan juga kritik terhadap budaya kontemporer di
masa sekarang. Sesamar apapun, seni
adalah bentuk peninggalan jejak
peradaban manusia dan akan selalu menarik untuk dikaji. Ya, seperti
jejak samarnya jejak lipstik. (By : Dipa Raditya)