Minggu, 07 Maret 2010 09:21:49
JOGJA: Puluhan mahasiswa dari HMI Cabang Jogja Sabtu (5/3) siang kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Mapoltabes Jogja, memprotes tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap mahasiswa HMI di Makassar. Aksi yang dikoordinatori oleh Taufi q Saifuddin itu diawali dengan long march dari Bunderan UGM, terus ke arah Tugu dan masuk ke Jalan Malioboro.
Dalam pernyataan pers-nya, HMI Cabang Jogja mengatakan, apapun alasannya polisi tidak dibenarkan melakukan penyerangan dan pemukulan terhadap masyarakat. Kewajiban polisi adalah mengayomi masyarakat. Sampai di depan Mapoltabes Jogja, puluhan polisi sudah siaga dengan menutup gerbang Mapoltabes, sehingga mahasiswa HMI tidak bisa masuk dan hanya berorasi di depan Mapoltabes.
Wahyu Minarno, Ketua Cabang HMI Jogja dalam pernyataannya mengatakan bahwa kejadian di Makassar sebenarnya adalah sebuah rekayasa politik untuk mengkriminalisasikan gerakan mahasiswa. Polisi telah dijadikan oleh rezim sebaga alat untuk menindas masyarakat.
“Seharusnya ada solusi yang bijak untuk meredam aksi-aksi teman-teman di Makassar yang terkenal keras, bukan dengan cara kekerasan,” imbuh Ichsan Ahmad Barokah, dari Komisariat HMI Fisipol UGM. Ia melanjutkan, HMI siap melakukan aksi yang lebih besar lagi jika tuntutan mereka tidak diindahkan.
Soal Century
Selain melakukan aksi solidaritas terhadap teman-teman mereka di Makassar, para demonstran pun menuntut pengalihan kasus Century dari mekanisme politik menuju mekanisme hukum, meminta KPK segera mengambilalih proses hukumnya, mereformasi kebijakan perbankan nasional, mendesak presiden untuk tidak bertele-tele dalam mengambil keputusan atas pelanggaran korupsi, meminta Budiono dan Sri Mulyani mundur dari jabatannya, serta mengajak masyarakat untuk terus mengawal proses hukum Century.
Setelah berorasi, para demonstran kemudian menyerahkan sepucuk surat raksasa yang berisi “Saran, usulan dan tak lupa peringatan bagi Kepolisian Republik Indonesia, yang semakin tak bersahabat dengan masyarakat”, dan diterima oleh Ipda Legowo, mewakili pihak kepolisian.
Setelah menyerahkan surat raksasa tersebut, peserta aksi melanjutkan long march ke perempatan Kantor Pos Besar, membentuk lingkaran dan berorasi, serta membakar ban bekas sebagai bentuk simbolik memusnahkan virus bangsa, serta diakhiri dengan melakukan salat ghaib bersama.
Jangan jadi musuh Menanggapi demo mahasiswa di Makassar sosiolog Imam B Prasodjo mengatakan mahasiswa, jangan sampai justru menjadi musuh rakyat. Pasalnya, dengan mengatasnamakan suara rakyat, mereka justru lebih banyak merusak fasilitas umum.
“Yang sedang terancam, komunitas akademis di Makassar,” tandasnya, seperti dikutip detikcom, kemarin. Imam menambahkan perlu ada reposisi kepemimpinan di tubuh ormas dan organisasi kemahasiswaan di Makassar untuk mengakhiri situasi tersebut.
“Mahasiswa harus segera mereposisi kepemimpinan yang didukung oleh tokoh-tokoh di Makassar,” ujarnya. Mulai dari Jusuf Kalla, Andi Mallarangeng serta beberapa tokoh nasional yang berasal dari Makassar, diharap mau untuk mendorong reposisi tersebut.
Hal ini dirasa sangat perlu karena selama ini Makassar cenderung lebih dikenal dengan aksi yang berujung tindak kekerasan. “Saya khawatir mahasiswa di situ [Makassar] akan lebih dikenal dengan unjuk rasa dengan kekerasan dibanding aktivitas akademiknya,” jelasnya.(MG Noviarizal Fernandez)
Dalam pernyataan pers-nya, HMI Cabang Jogja mengatakan, apapun alasannya polisi tidak dibenarkan melakukan penyerangan dan pemukulan terhadap masyarakat. Kewajiban polisi adalah mengayomi masyarakat. Sampai di depan Mapoltabes Jogja, puluhan polisi sudah siaga dengan menutup gerbang Mapoltabes, sehingga mahasiswa HMI tidak bisa masuk dan hanya berorasi di depan Mapoltabes.
Wahyu Minarno, Ketua Cabang HMI Jogja dalam pernyataannya mengatakan bahwa kejadian di Makassar sebenarnya adalah sebuah rekayasa politik untuk mengkriminalisasikan gerakan mahasiswa. Polisi telah dijadikan oleh rezim sebaga alat untuk menindas masyarakat.
“Seharusnya ada solusi yang bijak untuk meredam aksi-aksi teman-teman di Makassar yang terkenal keras, bukan dengan cara kekerasan,” imbuh Ichsan Ahmad Barokah, dari Komisariat HMI Fisipol UGM. Ia melanjutkan, HMI siap melakukan aksi yang lebih besar lagi jika tuntutan mereka tidak diindahkan.
Soal Century
Selain melakukan aksi solidaritas terhadap teman-teman mereka di Makassar, para demonstran pun menuntut pengalihan kasus Century dari mekanisme politik menuju mekanisme hukum, meminta KPK segera mengambilalih proses hukumnya, mereformasi kebijakan perbankan nasional, mendesak presiden untuk tidak bertele-tele dalam mengambil keputusan atas pelanggaran korupsi, meminta Budiono dan Sri Mulyani mundur dari jabatannya, serta mengajak masyarakat untuk terus mengawal proses hukum Century.
Setelah berorasi, para demonstran kemudian menyerahkan sepucuk surat raksasa yang berisi “Saran, usulan dan tak lupa peringatan bagi Kepolisian Republik Indonesia, yang semakin tak bersahabat dengan masyarakat”, dan diterima oleh Ipda Legowo, mewakili pihak kepolisian.
Setelah menyerahkan surat raksasa tersebut, peserta aksi melanjutkan long march ke perempatan Kantor Pos Besar, membentuk lingkaran dan berorasi, serta membakar ban bekas sebagai bentuk simbolik memusnahkan virus bangsa, serta diakhiri dengan melakukan salat ghaib bersama.
Jangan jadi musuh Menanggapi demo mahasiswa di Makassar sosiolog Imam B Prasodjo mengatakan mahasiswa, jangan sampai justru menjadi musuh rakyat. Pasalnya, dengan mengatasnamakan suara rakyat, mereka justru lebih banyak merusak fasilitas umum.
“Yang sedang terancam, komunitas akademis di Makassar,” tandasnya, seperti dikutip detikcom, kemarin. Imam menambahkan perlu ada reposisi kepemimpinan di tubuh ormas dan organisasi kemahasiswaan di Makassar untuk mengakhiri situasi tersebut.
“Mahasiswa harus segera mereposisi kepemimpinan yang didukung oleh tokoh-tokoh di Makassar,” ujarnya. Mulai dari Jusuf Kalla, Andi Mallarangeng serta beberapa tokoh nasional yang berasal dari Makassar, diharap mau untuk mendorong reposisi tersebut.
Hal ini dirasa sangat perlu karena selama ini Makassar cenderung lebih dikenal dengan aksi yang berujung tindak kekerasan. “Saya khawatir mahasiswa di situ [Makassar] akan lebih dikenal dengan unjuk rasa dengan kekerasan dibanding aktivitas akademiknya,” jelasnya.(MG Noviarizal Fernandez)
0 komentar:
Posting Komentar