Kamis, 28 Februari 2013
Jumat, 15 Februari 2013
Seputar Hak Asasi Manusia
BY HMI Komisariat Fisipol UGM No comments
Konsepsi HAM
Ada
dua rujukan terkait konsepsi HAM, yakni Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) 1948 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Menurut DUHAM 1948, setiap orang berhak atas
semua hak dan kebebasan dengan tidak ada pengecualian apapun seperti perbedaan
ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, politik, atau pandangan lain,
asal usul kebangsaan. Sedangkan menurut UU No. 39 Tahun 1999, HAM adalah hak yang melekat pada hakekat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerahnya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Sebelum
kita melakukan pemantauan maupun investigasi tentang HAM, ada baiknya memahami
atau menguasai doktrin, metodologi pemantauan, dan investigasi HAM terlebih
dahulu. Doktrin dan metodologi tersebut tersurat dan tersirat di dalam pelbagai
instrumen HAM dan hukum humaniter
internasional. Inilah yang membedakan pola pemantauan dan investigasi HAM
dengan pemantauan maupun investigasi lainnya.
Karakter Umum Doktrin HAM
a.
Fokus
pada martabat manusia (dignity of human
being)
b.
Dilindungi
secara legal (legally protected)
c.
Dijamin
oleh norma-norma internasional (international
guaranteed)
d.
Melindungi
baik entitas individual maupun kolektif
e.
Menempatkan
negara (state) dan aparatus negara (state actors) sebagai pemangku kewajiban
(state responsibility)
f.
Tidak
dapat dicabut dan diambil
g.
Asas
kesetaraan (equality), saling
berkaitan, dan bergantung (interrelated and independent)
h.
Asas
universalitas (universality)
Setting Lahirnya HAM
Pendeklarasian
DUHAM pada tanggal 10 Desember 1948 merupakan respon komunitas internasional,
khususnya para perwakilan pemerintahan di dunia saat itu, atas salah satu
pengalaman paling gelap dalam sejarah umat manusia, yakni Perang Dunia II dan
Fasisme, yang memproduksi puluhan korban jiwa, dikarenakan adanya kebijakan
yang rasis dan mengekang kebebasan fundamental. Maka konsepsi tentang HAM
dianggap sangat penting karena umat manusia terusik nuraninya oleh perbuatan
“barbar” para tiran di dunia. Setidaknya DUHAM dapat menjadi salah satu cara
dari komunitas internasional untuk mencegah terulangnya kembali parketk serupa
di kemudian hari.
Instrumen HAM
Semenjak
DUHAM dideklarasikan, instrumen HAM berkembang semakin banyak dan progresif.
Ada dua instrumen penting HAM internasional yang penting untuk dipahami, yakni
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) dan
Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/ICESCR).
Kedua kovenan (perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak negara, dan
sifatnya law making) ini kemudian
diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB pada Desember 1966.
Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil mencakup dua kategori, yakni hak sipil yang
mengandaikan jaminan hak-hak/kebebasan individu
dari “campur tangan” negara dan hak-hak politik yang mengandaikan
jaminan hak-hak atau kebebasan individu untuk “memiliki akses” pada negara.
Namun kategorisasi ini menjadi kabur karena adanya pertarungan ideologi politik besar (yang antagonistik satu sama lain)
pada proses penyusunan kovenan ini, yaitu konteks perang dingin. Klaim
bahwa hak-hak sipil dan politik merupakan hak yang bersifat “negatif” (karena pemenuhannya
mengandaikan tidak adanya campur tangan atau intervensi negara), sementara
hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan hak yang bersifat “positif” (pemenuhannya perlu campur
tangan negara). Akhirnya sampai saat ini, baik di level nasional maupun
internasional telah dikenal prinsip HAM yang tidak terbagi/terpisahkan (indivisible), setara (equal), dan saling mempengaruhi (inter-dependent).
DUHAM
+ (ICCPR dan ICESCR) = International Bill
of Human Rights
International
Bill of Human Rights
seringkali dianggap
sebagai konstitusi HAM internasional
Teks-teks
yang tercantum di dalam instrumen HAM internasional selain merupakan kodifikasi
hukum internasional, juga menyumbang landasan konseptual tentang isu
ketatanegaraan yang baru, menyangkut hubungan antara negara dengan warganya,
antara negara satu dengan negara lainnya, dan suatu negara dengan komunitas
internasional di luarnya.
Aktor Pemangku Hak dan Kewajiban dalam
Konteks HAM
Seperti
yang tertera di dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, HAM memiliki tempat dan
bersubjek pada setiap diri manusia atau individu (rights holder). Aktor yang menikmati serta mampu mengklaim suatu
perlindungan dan pemenuhan HAM adalah seorang individu. Ini sesuai dengan
idiom di dalam diskursus HAM, yakni “one is too many”, satu sudah terlalu
banyak. Artinya, pelanggaran HAM tidak menyangkut suatu kualifikasi kuantitas
orang, cukup satu korban maka pelanggaran HAM sudah terjadi. Lalu, siapa
pemangku kewajibannya?
Ketika
membincangkan tentang hak, tentu membincangkan pula tentang kewajiban. Dalam
konteks HAM, negara-lah yang memiliki tugas/kewajiban (duty -bearer) untuk menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to protect), dan memenuhi HAM (obligation to fulfil) bagi setiap individu di bawah juridiksinya.
Tiga kewajiban negara ini dikenal dengan trias
of state obligation. Adapun yang dimaksud dengan “setiap individu di bawah
sistem juridiksinya”, tidak terbatas warganegara, pun sama halnya dengan
warganegara asing, seperti pencari suaka, pengungsi, buruh migran, sampai
individu yang tidak mempunyai kewarganegaraan sekalipun.
Trias
of State Obligation
Kewajiban
|
Batasan
|
Implementasi
|
Menghormati
|
Negara harus menghindari tindakan
interventif (negatif/pasif)
|
Negara berkewajiban untuk tidak melakukan
pembunuhan
|
Melindungi
|
Negara harus mengambil kewajiban positifnya
untuk menghindari pelanggaran HAM
Perlindungan terhadap HAM termasuk pula
kewajiban negara untuk melakukan investigasi, penuntutan/penghukuman terhadap
pelaku, dan pemulihan bagi korban setelah terjadi tindak pidana (human rights abuse) atau pelanggaran
HAM (human rights violation)
|
Negara beserta institusinya mengambil
tindakan yang diperlukan guna mencegah praktek kejahatan yang dilakukan oleh
pihak ketiga.
Kegagalan negara untuk mengungkap suatu
kebenaran (right to know),
penuntutan, dan penghukuman terhadap pelaku (right to justice), dan pemulihan bagi korban (right to reparation) merupakan suatu
pelanggaran HAM yang baru, yang sering disebut impunitas
|
Memenuhi
|
Negara harus mengambil tindakan legislatif,
administratif, peradilan, dan langkah lain yang diperlukan untuk memastikan
bahwa para pejabat negara ataupun pihak ketiga (non state actors)
melaksanakan penghormatan dan perlindungan HAM
|
Negara harus melatih institusi kepolisian
dan militer tentang bagaimana melakukan tindakan dalam melawan para pengunjuk
rasa ataupun kriminal yang agresif secara profesional dan efisien
Dalam konteks Ekosob, negara harus
memastikan bahwa lembaga-lembaga pemerintahan harus mampu memberikan
pelayanan yang memadai kepada warganegara dan warga asing dalam hal mengakses
fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan dengan mudah dan
tidak ada diskriminasi.
|
Impunitas atau Imunitas?
Seringkali
kita menafsirkan impunitas sebagai kekebalan hukum. Konsep impunitas tidaklah
kekebalan hukum, namun suatu bentuk pelanggaran HAM baru. Konsep impunitas adalah
kegagalan negara untuk mengungkap suatu kebenaran (right to know), penuntutan, dan penghukuman terhadap pelaku (right to justice), dan pemulihan bagi
korban (right to reparation).
Seringkali yang menjadi korban (victim)
dari kasus impunitas negara antara lain; jurnalis, aktivis, demonstran.
Adapun
yang dimaksud dengan “keistimewaan” di muka hukum adalah hak imunitas ataupun
hak eksteritorial. Sebagai contohnya, anggota parlemen dan menteri mempunyai
hak untuk membicarakan atau menyatakan secara tertulis segala hal di dalam
lembaga tersebut tanpa boleh dituntut di muka pengadilan. Contoh yang lain
semisal, hak kepala negara dan anggota perwakilan diplomatik
(Dubes/Atase/Konjen) untuk tidak tunduk pada hukum pidana, perdata, dan hukum
administrasi negara di negara tempat mereka bekerja (seringkali disebut hak
eksteritorial)
Mekanisme Replikasi Instrumen HAM
Internasional di Tingkat Nasional
Untuk
dapat membuat sebuah instrumen HAM internasional diberlakukan di sebuah negara,
hal pertama yang dilakukan adalah mendorong pemerintah untuk meratifikasi
instrumen HAM. Proses ratifikasi ini
pun harus disertai dengan proses deklarasi,
karena deklarasi dari sebuah negara menjadi satu bentuk pengakuan atas
mekanisme pengaduan individu. Selain itu, harus dipastikan pula adanya reservasi atas pasal-pasal tertentu di
dalam setiap instrumen karena reservasi dalam proses ratifikasi akan membuat
sejumlah pasal tertentu tidak dapat diberlakukan. Contohnya, pada Pasal 29
CEDAW, ketika terjadi perselisihan antarnegara mekanismenya dibawa ke ICJ (International Court of Justice). Namun
dalam proses reservasi, Indonesia tidak mengakui proses tersebut. Indonesia
bersedia melakukan mekanisme tersebut ketika kedua negara yang berselisih
setuju membawa persoalannya ke ICJ.
Isu dalam Diskursus HAM
Dalam
konteks HAM, ada beberapa isu/topik yang seringkali didiskursuskan. Beberapa
isu tersebut antara lain :
1.
Bisnis
dan HAM
2.
Pengarusutamaan
Gender (Penguatan kapasitas perempuan)
3.
Kebebasan
Beragama
4.
Buruh
dan HAM
5.
Masyarakat
Adat
6.
Kelompok
Rentan
7.
Konflik
Bersenjata dan Kekerasan Komunal
Konsepsi Pelanggaran HAM
Pelanggaran
HAM merupakan jenis kejahatan yang secara eksklusif berbeda dengan pelanggaran
atau kejahatan pidana. Pelanggaran HAM adalah segala pelanggaran atau
kejahatan yang dilakukan oleh aparat negara lewat sebuah penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power), baik
melalui tindakan langsung (by act)
maupun pembiaran (by ommission).
Pelanggaran atau kejahatan HAM ini merupakan kegagalan negara untuk memenuhi
tanggungjawab (responsibility)
ataupun kewajiban (obligation) di
bawah hukum HAM internasional. Pelanggaran HAM terjadi ketika sebuah produk
hukum, kebijakan, atau praktik pejabat/aparatus negara secara sengaja
melanggar, mengabaikan, atau gagal memenuhi standar hak asasi manusia normatif.
Sementara itu, pelanggaran atau kejahatan pidana berkaitan dengan segala
pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh pelaku non negara, yang dalam
istilah teknis hukum HAM internasional disebut sebagai human rights abuses.
Kejahatan HAM/Pelanggaran HAM Berat
Dalam
Statuta Roma, kejahatan HAM terbagi
ke dalam tiga kategori, yaitu Kejahatan Perang, Kejahatan terhadap
Kemanusiaan, dan Kejahatan Genosida. Sementara dalam Undang-Undang tentang Pengadilan HAM, istilah kejahatan HAM disebut
sebagai pelanggaran HAM yang berat. Dalam undang-undang tersebut, pelanggaran
HAM yang berat terbagi dalam dua kategori, yaitu kejahatan genosida, dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagai informasi, Undang-Undang tentang
Pengadilan HAM tidak memasukkan kejahatan pearang sebagai kategori pelanggaran
HAM yang berat.
Bahan Diskusi :
1.
Mana
diantara kasus ini yang termasuk pelanggaran HAM dan apa alasanmu?
a. Aparat pemerintah yang membubarkan
demontrasi dengan menembakkan peluru tajam, dan salah satu demonstran terbunuh
karenanya.
b. Pembunuhan yang dilakukan oleh sipil A
terhadap sipil B dikarenakan persoalan dendam.
2.
Bagaimana
pendapatmu terhadap implementasi HAM di negara China dan Korea Utara?
3.
Mungkinkah
sebuah negara yang telah meratifikasi HAM melakukan pembatasan, bahkan
penyimpangan HAM terhadap warganegaranya? Jelaskan!
4.
Bagaimana
implementasi HAM di Indonesia? Dan sejauhmana Indonesia melakukan Trias of Obligation?
5.
Merujuk
pada kasus Aceh dan Papua, sejauhmana pelanggaran HAM yang sudah dilakukan
negara?
6.
Kemukakan
analisismu menggunakan perspektif HAM terhadap kasus Munir?
7.
Dalam
konteks peristiwa 30 September, apakah negara melakukan pelanggaran HAM berat?
Jelaskan pendapatmu!
8.
Diskusikan
kembali isu-isu yang HAM terkini, terutama pengarusutamaan gender, buruh dan
HAM, dan kebebasan beragama. Berikan analisismu?
by : Yoga Bubu Prameswari (bubudafreak@gmail.com)
*Tulisan ini merupakan intisari dari diskusi mingguan HMI dengan tema Hak Asasi Manusia pada 13 November 2012*
Rabu, 23 Januari 2013
Resensi Lipstick Traces : A Secret History Of The 20th Century
BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN Resensi buku No comments
Judul : Lipstick Traces : A Secret History Of The 20th
Century
Pengarang : Greil Marcus
Tebal buku : 496 halaman
Bahasa : Inggris
Penerbit :
Harvard University Press
Tahun terbit : 1989
(cetakan perdana)
Sebuah abad tidak dapat terlepas dari
peristiwa-peristiwa yang membentuknya. Di setiap abad ada sebuah ciri khas
tersendiri. Lipstick Traces bercerita mengenai abad ke 20 dari sisi yang tidak
“biasa”. Abad ke 20 dalam buku ini adalah sebuah abad yang penuh dengan gelora
resistensi anak-anak muda meskipun tidak dapat dipungkiri buku ini juga
membahas kontradiksi tersendiri yang dialami oleh anak-anak muda abad itu yaitu
sebuah kecenderungan untuk menjadi cuek atau bahkan nihilistik.
Dalam
buku Lipstick Traces merangkai argumennya dari peristiwa-peristiwa sejarah yang
tidak biasa dan bagaimana peristiwa tersebut berelasi dengan konteks zaman ini
. Lahirnya etika seni seperti Dada, Situasionist, atau bahkan kelahiran
genre musik seperti rock & roll maupun
punk bukanlah sebuah sejarah kelahiran yang instan atau dapat dikatakan netral
dari tendensi politik apapun. Di buku Lipstick Traces ini, karya seni
diperlakukan tidak seperti artefak sejarah yang hanya mengisi etalase museum
atau teronggok mati di gudang belakang rumah anda. Karya seni adalah sebuah
bentuk aktualisasi diri, sebuah hasil produk budaya yang tidak hanya saja dapat
dinikmati namun juga direnungkan maknanya. Dalam karya seni, tidak hanya berisi
estetika atau keindahan, akan tetapi juga sebuah statemen. Kita bisa merujuk
kepada sebuah etika seni Dadaisme , sebuah etika yang memiliki absurditas dan
juga tendensi ke arah nihilistik. Alasan mengapa Dadaisme bisa populer dan
dinikmati oleh para kawula muda ketika itu karena Dadaisme dianggap cocok
dengan realita yang dibentuk abad ke 20, sebuah zaman dimana nihilisme,
kepasifan dan absurditas adalah sebuah cara lari dari kenyataan. Itu satu sisi
yang diungkap oleh Greill Marcus mengenai Dadaisme dan mengapa itu berkolerasi
dengan muda-mudi di abad ke 20. Setelah bercerita panjang lebar mengenai
Dadaisme , Greill Marcus membawa para pembacanya ke etika seni yang kedua yaitu
Situationist, sebuah etika seni yang merupakan kombinasi dari teori Marxisme ,
semangat perlawanan terhadap kesenjangan sosial dan instrumen artistik Avant –garde
ala Eropa. Semangat dari aliran ini adalah menyediakan sebuah konsep alternatif
untuk membahasakan politik dan mempropagandakan resistensi melalui seni. Tujuan
mereka jelas yaitu menyediakan pendidikan politik bagi masyarakat urban untuk tidak
menjadi masyarakat yang tidak ambil peduli akan permasalahan sosio politik di
sekitar mereka. Aliran seni yang terakhir yang dibahas dalam buku ini adalah
aliran seni musik rock & roll dan punk. Kedua aliran musik ini lahir pada
sebuah masa yang dimana alienasi , kebosanan dan kemapanan sebuah sistem
menjadi sebuah wacana yang dominan. Rock & roll dan punk tidak hanya
sekedar alunan musik namun juga merambah ke gaya hidup anak muda di awal abad
ke 20 seperti seks, minuman keras, lirik lagu yang maskulin dan gaya berpakaian
serta model rambut. Punk dan Rock & Roll adalah sebuah tonggak sejarah baru
di abad ke 20 karena tidak hanya produk budaya berupa lagu-lagu hits belaka
namun juga sebuah cara mewacanakan resistensi terhadap kemapanan, perang, isu
gender, rasisme dan kapitalisme.
Dalam
buku ini, Greill Marcus mengajak para pembaca untuk membaca sebuah pola
kecenderungan sejarah khususnya sejarah seni. Buku ini menawarkan pembacaan
baru untuk melihat bagaimana seni dapat menjadi ruang berpolitik, ruang dimana
diskursus budaya saling berkontradiksi dan berdialektika. Di era sekarang,
produk budaya tanding seperti budaya punk, rock & roll, hip-hop, visual kei
atau graffiti merajalela dan dapat diakses dengan mudah. Seniman – seniman
dengan ide – ide budaya tanding tadi apabila dipertemukan strategi pemasaran
yang tepat akan meraup keuntungan secara maksimal disertai dengan meroketnya
popularitas. Hal inilah yang tidak banyak dibahas atau diantisipasi dalam buku
ini. Greill Marcus tidak mencoba untuk melihat kecenderungan sebuah produk
budaya tanding untuk dikomodifikasi yang nantinya akan membuat produk budaya
tersebut tidak ada ubahnya seperti barang industri belaka.
Membaca
Lipstick Traces akan mempermudah anda untuk mengerti genealogi dari budaya tanding
itu sendiri dimulai dari isu apa yang dibahas instrumen seni macam apa yang
digunakan, dan bagaimana situasi sosial politik mempengaruhi sebuah konteks
dari karya itu sendiri. Untuk para akademisi studi budaya, buku ini bisa
menjadi acuan untuk genealogi dan juga kritik terhadap budaya kontemporer di
masa sekarang. Sesamar apapun, seni
adalah bentuk peninggalan jejak
peradaban manusia dan akan selalu menarik untuk dikaji. Ya, seperti
jejak samarnya jejak lipstik. (By : Dipa Raditya)
Langganan:
Postingan (Atom)