Sabtu, 24 September 2016

Lafran Pane dan Konsensus Nasional

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , No comments


                Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) merupakan kesatuan wilayah, politik, hukum dan budaya secara resmi diproklamirkan sebagai sebuah negara (state) pada tanggal 17 Agustus 1945. Sementara, sebagai sebuah kesatuan bangsa (nation) paling tidak bisa kita katakan terbentuk pada saat Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 yang mengikrarkan sumpah kebangsaan. Selanjutnya, Indonesia sebagai sebuah negara hukum modern perlu memiliki beberapa prinsip-prinsip yang perlu dirumuskan dalam sebuah konstitusi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

                Kita patut bersyukur, para bapak pendiri bangsa (founding fathers) daripada Indonesia merupakan para intelektual dan negarawan yang memiliki visi-visi kebangsaan jangka panjang yang minus kepentingan pribadi. Mereka telah sangat baik merumuskan prinsip-prinsip dasar kebangsaan dan kenegaraan yang tertuang di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Meskipun, konstitusi Indonesia mengalami beberapa kali perubahan bentuk dan isi sebagai buah dari eksperimentasi menemukan sistem politik yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Nyatanya, sejarah konstitusi dan politik ketatanegaraan Indonesia dapat keluar dari kemelut yang sangat riskan akan munculnya konflik di antara anak bangsa. Pengalaman itu, minimal dapat kita lihat pada tahun 1959 ketika UUD 1945 kembali diberlakukan sebagai konstitusi pengganti UUD Sementara tahun 1950. Serta, dapat pula kita saksikan pada proses atau rangkaian amandemen UUD 1945 dalam kurun 1999 - 2002.

                Tulisan singkat ini, berupaya mengungkap pemikiran salah satu intelektual muslim Indonesia yaitu Lafran Pane, berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar kebangsaan dan kenegaraan yang termaktub di dalam UUD 1945 atau tepatnya di dalam Batang Tubuh konstitusi itu. Diangkatnya masalah ini karena penulis menilai penting untuk diketahui publik, bukan semata-mata untuk menyebarluaskan pemikiran Lafran Pane. Tetapi, terlebih karena mengingat kondisi mutakhir daripada kehidupan kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan kita sekarang yang tampak menjauh dari prinsip-prinsip dasar yang dicantumkan dalam UUD 1945 itu. Sebelum penulis uraikan hal dimaksud, akan penulis tampilkan terlebih dahulu profil singkat daripada Lafran Pane itu sendiri

Lafran Pane, mungkin seuntai nama yang asing bagi sebagian besar dari masyarakat Indonesia saat ini. Jika mendengar atau menyebut kata Pane, sebagian dari kita mesti mengasosiasikan dengan nama dua orang pujangga besar Indonesia generasi pujangga baru, yakni Sanusi Pane dan Armijn Pane. Memang, kedua orang pujangga ini tidak lain merupakan saudara (abang) kandung dari Lafran Pane. Dilahirkan di Kampung Pangurabaan, Kecamatan Sipirok di Tapanuli Selatan, pada tanggal 5 Februari 1922. Lafran terlahir sebagai anak keenam dan bungsu dari istri pertama seorang tokoh yang berpengaruh di daerah tersebut, Sutan Pangurabaan Pane (Sitompul 2008). Lafran Pane merupakan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah organisasi kemahasiswaan terbesar dan tertua di Indonesia saat ini.

Seperti diketahui, pada pertengahan tahun 1945 Jepang mulai mengalami kemunduran dan kekalahan di banyak tempat dalam menghadapi gempuran dari Sekutu. Di Indonesia, di bulan Juli 1945 didirikan sebuah perguruan tinggi agama Islam di Jakarta, perguruan tinggi itu diberi nama Sekolah Tinggi Islam (STI). Kehadiran STI merupakan perwujudan tekad dari para tokoh-tokoh intelektual muslim pra-kemerdekaan yang menginginkan kehadiran sebuah lembaga pendidikan tinggi bagi umat Islam di Indonesia. Keinginan para tokoh-tokoh Islam terkemuka dari berbagai golongan tersebut mendapatkan restu dari Jepang (Latif 2012).
Lafran Pane sendiri tercatat sebagai angkatan pertama dari STI. Sampai akhirnya, STI pindah ke Yogyakarta sebagai akibat dari kepindahan ibu kota negara dari Jakarta yang telah dikuasai Sekutu dalam rangka agresi militer. Di STI, Lafran merupakan seorang aktivis dengan menduduki posisi Ketua III Senat Mahasiswa sekaligus perwakilan mahasiswa STI di dalam Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY). Tetapi, karena menurutnya di PMY mahasiswa muslim taat tidak mendapat tempat dan perlakuan yang layak terutama dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Maka, pada tanggal 5 Februari 1947 bersama dengan 14 rekannya di STI ia mendeklarasikan pendirian HMI.
Nyatanya, pendirian HMI itu tidak hanya dimaksudkan untuk memfasilitasi mahasiswa muslim untuk bersama-sama belajar dan mengamalkan ajaran agama Islam. Lebih dari itu, HMI dimaksudkan pula untuk menjadi wadah perjuangan bagi mahasiswa muslim khususnya di Yogyakarta saat itu, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dari upaya pendudukan kembali oleh tentara Sekutu. Hal itu terbukti dari bunyi dua tujun pertama saat HMI didirikan yaitu, "Mempertahan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia; Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam". Dari awal dibentuknya, inilah dapat dapat diketahui bahwa HMI mengembangkan wawawasan keislaman (agama) dan keindonesiaan (bangsa) dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Perubahan Konstitusionil

Pendirian HMI dan kiprah HMI dalam kehidupan berbangsa, penulis rasa sudah sangat banyak diulas oleh beragam penulis dalam berbagai bentuk tulisan. Memang, kita harus akui bahwa HMI merupakan master piece dari pemikiran Lafran Pane yang dengan sangat jenius memadukan pemikiran keislaman dan keindonesiaan dalam satu kesatuan konsep yang padu. Bahkan, pemikiran keislaman-keindonesiaan itu kini, menjadi semacam common platform jika kita membicarakan hubungan antara agama Islam dengan negara-bangsa Indonesia. Apalagi, sebagian besar intelektual yang mengembangkan wawasan pemikiran keislaman-keindonesiaan, itu juga ialah alumni-alumni HMI. Sebut saja misalnya, Ahmad Tirtosudiro, Dahlan Ranuwiharja, Deliar Noer, Ismail Hasan Matareum, Sulastomo, Nurcholish Madjid, Akbar Tandjung, Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, Azyumardi Azra, Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, Harry Azhar Aziz, Ade Komaruddin sampai Anies Baswedan.

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis akan menyampaikan sisi lain dari pemikiran Lafran Pane. Pemikiran yang kali ini lebih sebagai hasil dari status dirinya sebagai seorang Guru Besar Ilmu Tata Negara. Perlu diketahui, Lafran merupakan seorang Guru Besar IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) yang membidangi ilmu tata negara, ia merupakan sarjana ilmu politik angkatan pertama UGM. Setelah pindah dari STI ke Akademi Ilmu Politik (AIP), yang dilebur ke dalam Fakultas Hukum, Sosial dan Politik (HSP) pada masa permulaan UGM. Pemikiran Lafran kali ini, yaitu tentang adanya enam prinsip dasar atau azas di dalam UUD yang tidak boleh dirubah atau bersifat tetap.

Pemikiran Lafran tentang enam azas dasar yang bersifat tetap itu dapat kita temukan dalam tulisannya yang berjudul Perubahan Konstitusionil. Tulisan tersebut disampaikan dalam upacara pengukuhan Guru Besar IKIP Yogyakarta pada tanggal 16 Juli 1970. Lalu, apa saja enam azas yang menurut Lafran bersifat tetap dan tidak bisa diubah yang tercantum di dalam Batang Tubuh UUD 1945? Pertama, adalah dasar (filsafat) negara yaitu Pancasila. Seperti kita mengetahui, dasar negara ini adalah hasil persetujuan antara semua golongan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dan akhirnya dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menetapkan Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945.

Kedua, tujuan negara. Bahwa sebagai Indonesia sebagai organisasi yang berbentuk negara jelas memiliki tujuan-tujuan tertentu seperti yang terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Ketiga, azas negara hukum. Bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat), pemerintahan harus dijalankan di atas hukum (rule of law) berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Keempat, azas kedaulatan rakyat. Karena Indonesia merupakan negara republik yang menganut sistem demokrasi maka, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Indonesia bukan negara teokrasi dan tidak berbentuk monarki.

Kelima, azas kesatuan. Indonesia sebagai negara kesatuan (NKRI) sudah merupakan bentuk final yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Bentuk kesatuan ini bahkan sudah jelas dikatakan tidak boleh diubah di dalam UUD 1945 hasil amandemen keempat. Negara kesatuan telah disepakati lebih baik dan lebih cocok bagi Indonesia ketimbang negara serikat (federal). Keenam, azas republik. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Indonesia berdasarkan kebulatan suara para pendiri bangsa di dalam sidang BPUPKI telah sepakat dan yakin bahwa, bentuk republik merupakan yang terbaik.

Itulah keenam azas kebangsaan dan kenegaraan yang menurut Lafran tidak bisa diubah dan bersifat tetap. Jika salah satu azas di atas diubah menurutnya, maka Indonesia bukanlah suatu negara lagi yang sama seperti dicita-citakan saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Dengan demikian, kita segenap generasi penerus harus sekuat mungkin mempertahankan dan mengamalkan keenam prinsip dasar itu. Melihat kondisi bangsa saat ini, kita perlu merenung dan berkata jujur, apakah Pancasila itu sudah kita hayati dan amalkan dengan baik? Kita harus berani mengatakan, apakah tujuan-tujuan negara sudah tercapai? Apakah pelaksanaan aturan hukum di negeri ini sudah adil? Apakah rakyat benar-benar menjadi pemegang kedaulatan tertinggi? Apakah rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai anak bangsa masih kuat? Serta, apakah kita sudah menjalankan prinsip-prinsip negara republik dengan baik pula? Semoga.

Ditulis oleh Ekamara Ananami Putra (Ketua Bidang Litbang HMI Cabang Bulaksumur Sleman, Mahasiswa DPP Fisipol UGM 2012)
Referensi:
Latif, Yudi, 2012, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Abad ke-20, Jakarta:              Yayasan Abad Demokrasi.
Pane, Lafran, 1970, Perubahan Konstitusionil, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Tata Negara,                        Tanggal 16 Juli 1970 di IKIP Yogyakarta.
Satria, Hariqo Wibawa, 2011, Lafran Pane: Jejak Hayat dan Pemikirannya, Jakarta: Lingkar.
Sitompul, Agussalim, 2008, Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947 - 1975, Surabaya:                Bina Ilmu Offset.



0 komentar:

Posting Komentar