Indonesia sebagai sebuah
negara-bangsa (nation-state)
merupakan kesatuan wilayah, politik, hukum dan budaya secara resmi
diproklamirkan sebagai sebuah negara (state)
pada tanggal 17 Agustus 1945. Sementara, sebagai sebuah kesatuan bangsa (nation) paling tidak bisa kita katakan
terbentuk pada saat Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 yang mengikrarkan
sumpah kebangsaan. Selanjutnya, Indonesia sebagai sebuah negara hukum modern
perlu memiliki beberapa prinsip-prinsip yang perlu dirumuskan dalam sebuah
konstitusi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Kita patut bersyukur, para bapak
pendiri bangsa (founding fathers)
daripada Indonesia merupakan para intelektual dan negarawan yang memiliki
visi-visi kebangsaan jangka panjang yang minus kepentingan pribadi. Mereka
telah sangat baik merumuskan prinsip-prinsip dasar kebangsaan dan kenegaraan
yang tertuang di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Meskipun, konstitusi
Indonesia mengalami beberapa kali perubahan bentuk dan isi sebagai buah dari
eksperimentasi menemukan sistem politik yang terbaik bagi bangsa Indonesia.
Nyatanya, sejarah konstitusi dan politik ketatanegaraan Indonesia dapat keluar
dari kemelut yang sangat riskan akan munculnya konflik di antara anak bangsa.
Pengalaman itu, minimal dapat kita lihat pada tahun 1959 ketika UUD 1945
kembali diberlakukan sebagai konstitusi pengganti UUD Sementara tahun 1950.
Serta, dapat pula kita saksikan pada proses atau rangkaian amandemen UUD 1945
dalam kurun 1999 - 2002.
Tulisan singkat ini, berupaya
mengungkap pemikiran salah satu intelektual muslim Indonesia yaitu Lafran Pane,
berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar kebangsaan dan kenegaraan yang termaktub
di dalam UUD 1945 atau tepatnya di dalam Batang Tubuh konstitusi itu.
Diangkatnya masalah ini karena penulis menilai penting untuk diketahui publik,
bukan semata-mata untuk menyebarluaskan pemikiran Lafran Pane. Tetapi, terlebih
karena mengingat kondisi mutakhir daripada kehidupan kebangsaan, kenegaraan dan
kemasyarakatan kita sekarang yang tampak menjauh dari prinsip-prinsip dasar
yang dicantumkan dalam UUD 1945 itu. Sebelum penulis uraikan hal dimaksud, akan
penulis tampilkan terlebih dahulu profil singkat daripada Lafran Pane itu
sendiri
Lafran
Pane, mungkin seuntai nama yang asing bagi sebagian besar dari masyarakat
Indonesia saat ini. Jika mendengar atau menyebut kata Pane, sebagian dari kita
mesti mengasosiasikan dengan nama dua orang pujangga besar Indonesia generasi
pujangga baru, yakni Sanusi Pane dan Armijn Pane. Memang, kedua orang pujangga
ini tidak lain merupakan saudara (abang) kandung dari Lafran Pane. Dilahirkan
di Kampung Pangurabaan, Kecamatan Sipirok di Tapanuli Selatan, pada tanggal 5
Februari 1922. Lafran terlahir sebagai anak keenam dan bungsu dari istri
pertama seorang tokoh yang berpengaruh di daerah tersebut, Sutan Pangurabaan
Pane (Sitompul 2008). Lafran Pane merupakan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), sebuah organisasi kemahasiswaan terbesar dan tertua di Indonesia saat
ini.
Seperti
diketahui, pada pertengahan tahun 1945 Jepang mulai mengalami kemunduran dan
kekalahan di banyak tempat dalam menghadapi gempuran dari Sekutu. Di Indonesia,
di bulan Juli 1945 didirikan sebuah perguruan tinggi agama Islam di Jakarta,
perguruan tinggi itu diberi nama Sekolah Tinggi Islam (STI). Kehadiran STI
merupakan perwujudan tekad dari para tokoh-tokoh intelektual muslim
pra-kemerdekaan yang menginginkan kehadiran sebuah lembaga pendidikan tinggi
bagi umat Islam di Indonesia. Keinginan para tokoh-tokoh Islam terkemuka dari
berbagai golongan tersebut mendapatkan restu dari Jepang (Latif 2012).
Lafran Pane
sendiri tercatat sebagai angkatan pertama dari STI. Sampai akhirnya, STI pindah
ke Yogyakarta sebagai akibat dari kepindahan ibu kota negara dari Jakarta yang
telah dikuasai Sekutu dalam rangka agresi militer. Di STI, Lafran merupakan
seorang aktivis dengan menduduki posisi Ketua III Senat Mahasiswa sekaligus
perwakilan mahasiswa STI di dalam Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY).
Tetapi, karena menurutnya di PMY mahasiswa muslim taat tidak mendapat tempat
dan perlakuan yang layak terutama dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Maka,
pada tanggal 5 Februari 1947 bersama dengan 14 rekannya di STI ia
mendeklarasikan pendirian HMI.
Nyatanya,
pendirian HMI itu tidak hanya dimaksudkan untuk memfasilitasi mahasiswa muslim
untuk bersama-sama belajar dan mengamalkan ajaran agama Islam. Lebih dari itu,
HMI dimaksudkan pula untuk menjadi wadah perjuangan bagi mahasiswa muslim
khususnya di Yogyakarta saat itu, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dari
upaya pendudukan kembali oleh tentara Sekutu. Hal itu terbukti dari bunyi dua
tujun pertama saat HMI didirikan yaitu, "Mempertahan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat
Indonesia; Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam". Dari awal
dibentuknya, inilah dapat dapat diketahui bahwa HMI mengembangkan wawawasan
keislaman (agama) dan keindonesiaan (bangsa) dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa.
Perubahan Konstitusionil
Pendirian
HMI dan kiprah HMI dalam kehidupan berbangsa, penulis rasa sudah sangat banyak
diulas oleh beragam penulis dalam berbagai bentuk tulisan. Memang, kita harus
akui bahwa HMI merupakan master piece dari
pemikiran Lafran Pane yang dengan sangat jenius memadukan pemikiran keislaman
dan keindonesiaan dalam satu kesatuan konsep yang padu. Bahkan, pemikiran
keislaman-keindonesiaan itu kini, menjadi semacam common platform jika kita membicarakan hubungan antara agama Islam
dengan negara-bangsa Indonesia. Apalagi, sebagian besar intelektual yang
mengembangkan wawasan pemikiran keislaman-keindonesiaan, itu juga ialah
alumni-alumni HMI. Sebut saja misalnya, Ahmad Tirtosudiro, Dahlan Ranuwiharja,
Deliar Noer, Ismail Hasan Matareum, Sulastomo, Nurcholish Madjid, Akbar
Tandjung, Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, Azyumardi Azra, Jimly Asshiddiqie,
Mahfud MD, Harry Azhar Aziz, Ade Komaruddin sampai Anies Baswedan.
Oleh karena
itu, pada kesempatan kali ini penulis akan menyampaikan sisi lain dari
pemikiran Lafran Pane. Pemikiran yang kali ini lebih sebagai hasil dari status
dirinya sebagai seorang Guru Besar Ilmu Tata Negara. Perlu diketahui, Lafran
merupakan seorang Guru Besar IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) yang membidangi
ilmu tata negara, ia merupakan sarjana ilmu politik angkatan pertama UGM.
Setelah pindah dari STI ke Akademi Ilmu Politik (AIP), yang dilebur ke dalam
Fakultas Hukum, Sosial dan Politik (HSP) pada masa permulaan UGM. Pemikiran
Lafran kali ini, yaitu tentang adanya enam prinsip dasar atau azas di dalam UUD
yang tidak boleh dirubah atau bersifat tetap.
Pemikiran
Lafran tentang enam azas dasar yang bersifat tetap itu dapat kita temukan dalam
tulisannya yang berjudul Perubahan
Konstitusionil. Tulisan tersebut disampaikan dalam upacara pengukuhan Guru
Besar IKIP Yogyakarta pada tanggal 16 Juli 1970. Lalu, apa saja enam azas yang
menurut Lafran bersifat tetap dan tidak bisa diubah yang tercantum di dalam
Batang Tubuh UUD 1945? Pertama,
adalah dasar (filsafat) negara yaitu Pancasila. Seperti kita mengetahui, dasar
negara ini adalah hasil persetujuan antara semua golongan dalam Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dan akhirnya dalam
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menetapkan Pembukaan UUD 1945 dan
UUD 1945.
Kedua, tujuan negara.
Bahwa sebagai Indonesia sebagai organisasi yang berbentuk negara jelas memiliki
tujuan-tujuan tertentu seperti yang terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat. Ketiga, azas negara hukum.
Bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat),
pemerintahan harus dijalankan di atas hukum (rule of law) berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Keempat, azas kedaulatan rakyat. Karena
Indonesia merupakan negara republik yang menganut sistem demokrasi maka, rakyat
adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Indonesia bukan negara teokrasi dan tidak
berbentuk monarki.
Kelima, azas kesatuan.
Indonesia sebagai negara kesatuan (NKRI) sudah merupakan bentuk final yang
terbaik bagi bangsa Indonesia. Bentuk kesatuan ini bahkan sudah jelas dikatakan
tidak boleh diubah di dalam UUD 1945 hasil amandemen keempat. Negara kesatuan
telah disepakati lebih baik dan lebih cocok bagi Indonesia ketimbang negara
serikat (federal). Keenam, azas
republik. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Indonesia berdasarkan
kebulatan suara para pendiri bangsa di dalam sidang BPUPKI telah sepakat dan
yakin bahwa, bentuk republik merupakan yang terbaik.
Itulah
keenam azas kebangsaan dan kenegaraan yang menurut Lafran tidak bisa diubah dan
bersifat tetap. Jika salah satu azas di atas diubah menurutnya, maka Indonesia
bukanlah suatu negara lagi yang sama seperti dicita-citakan saat Proklamasi 17
Agustus 1945. Dengan demikian, kita segenap generasi penerus harus sekuat
mungkin mempertahankan dan mengamalkan keenam prinsip dasar itu. Melihat
kondisi bangsa saat ini, kita perlu merenung dan berkata jujur, apakah
Pancasila itu sudah kita hayati dan amalkan dengan baik? Kita harus berani
mengatakan, apakah tujuan-tujuan negara sudah tercapai? Apakah pelaksanaan
aturan hukum di negeri ini sudah adil? Apakah rakyat benar-benar menjadi
pemegang kedaulatan tertinggi? Apakah rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai
anak bangsa masih kuat? Serta, apakah kita sudah menjalankan prinsip-prinsip
negara republik dengan baik pula? Semoga.
Referensi:
Latif, Yudi, 2012, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi
Inteligensia Muslim Abad ke-20, Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi.
Pane, Lafran, 1970,
Perubahan Konstitusionil, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Tata Negara, Tanggal 16 Juli 1970 di IKIP
Yogyakarta.
Satria, Hariqo
Wibawa, 2011, Lafran Pane: Jejak Hayat
dan Pemikirannya, Jakarta: Lingkar.
Sitompul,
Agussalim, 2008, Sejarah Perjuangan
Himpunan Mahasiswa Islam 1947 - 1975, Surabaya: Bina Ilmu Offset.
0 komentar:
Posting Komentar