Setiap
tahunnya pada tanggal 10 Dzulhijjah 1,4 miliar umat muslim di seluruh dunia
merayakan hari raya Idul Adha. Pada hari tersebut dan tiga hari tasyrik
setelahnya umat muslim di seluruh dunia biasa menyembelih hewan-hewan kurban
seperti sapi, kambing, kerbau, domba, dan unta untuk memenuhi panggilan Allah. Kurban
dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan qurbah yang berarti mendekatkan diri
kepada Allah. Bila dilihat dari sisi historis, Idul Adha juga merupakan
refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk
mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang ditorehkan Nabi Ibrahim.
Idul Adha bermakna keteladanan Ibrahim yang mampu mentransformasi pesan
keagamaan ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan. Sebelum Nabi Ibrahim sendiri,
kurban sudah dikenal dalam sejarah ajaran agama-agama Samawi yaitu ketika dua
putera Adam, Habil dan Qabil (Habel dan Kain di kitab perjanjian lama)
diperintahkan untuk berkurban.
Kembali
ke cerita kurban Nabi Ibrahim AS. Diceritakan Setelah melalui penantian yang
begitu lama, Ibrahim akhirnya dikaruniai seorang putra bernama Ismail, dari
istrinya bernama Siti Hajar. Ia pun begitu gembira dan bahagia. Kebahagiaannya
memiliki seorang putra, kemudian diuji oleh Allah SWT. Saat berusia 100 tahun,
datanglah sebuah perintah Allah SWT kepadanya melalui sebuah mimpi. ”…Hai
anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka
pikirkanlah apa pendapatmu..?” (QS: as-Saffat:102). Dengan penuh keikhlasan,
Ismail pun menjawab, ”…Wahai Ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah)
kepada mu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
(QS:as-Saffat:102).
Kemudian,
Nabi Ibrahim AS membawa Ismail ke suatu tempat yang sepi di Mina. Ismail pun
mengajukan tiga syarat kepada sang ayah sebelum menyembelihnya. Pertama,
sebelum menyembelih hendaknya Nabi Ibrahim AS menajamkan pisaunya. Kedua,
ketika disembelih, muka Ismail harus ditutup agar tak timbul rasa ragu dalam
hatinya. Ketiga, jika penyembelihan telah selesai, pakaiannya yang berlumur
darah dibawa kepada ibunya, sebagai saksi kurban telah dilaksanakan.”Maka
tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai
Ibrahim!’ sesunggu engkau telah membenarkan mimpi itu…” (QS: as-Saffat ayat
103-104).
Ketika
pisau telah diarahkan ke arah leher Ismail, lalu Allah SWT menggantikannya dengan
seekor domba yang besar. ”Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang
besar.” Atas pengorbanan Ibrahim AS itu, Allah SWT berfirman, ”Dan Kami
abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.
Selamat sejahtera bagi Ibrahim. Sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba Kami yang
beriman.” (QS: as-Saffat:108-109). Dalam konteks cerita ini, mimpi Ibrahim
untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus
perjuangan maha berat seorang Nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui
malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai
pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan
seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.
Makna Berkurban
Cendekiawan terkemuka
asal Iran, Ali Syariati berpandangan bahwa ritual kurban bukan cuma bermakna
bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan tetapi juga
mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Menurutnya, Dengan berkurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir.
Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda wajib berbagi kenikmatan itu dengan orang
lain. Bila Anda puasa, Anda akan merasa lapar seperti mereka yang miskin.
Ibadah kurban mengajak mereka yang mustadh’afiin
untuk merasakan kenyang seperti Anda. Intinya, ibadah kurban mengambarkan
spirit penting dalam agama Islam yaitu spirit kemanusiaan. Ironisnya, sekarang
ini spirit kemanusiaan agama Islam itu sering tereduksi oleh aspek-aspek
simbolis yang bisa jadi tidak penting dan lebih sering menimbulkan
masalah-masalah sosial. Contoh mudahnya seperti meneriakan takbir ketika
menutup paksa diskusi-diskusi ilmiah dan membakar buku padahal Allah
memerintahkan kita untuk selalu membaca (Iqra!).
Hujjatul
Islam Imam Al Ghazali jauh-jauh hari telah mengingatkan kita bahwa
penyembelihan hewan kurban menyimbolkan penyembelihan sifat-sifat kehewanan
manusia. Berkurban itu bukan hanya sebatas seekor kambing, sapi, kerbau atau
unta semata. Tetapi yang lebih penting adalah mengorbankan dan menyembelih hawa
nafsu kehewanan yang membelenggu setiap manusia; nafsu serakah, sifat kikir, ego,
dan nafsu menerabas yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan
personal maupun komunal. Menurut Nasir Djamil orang yang berkurban sejatinya
sedang diperintahkan untuk menyucikan diri, membersihkan batin, melepaskan
jerat-jerat nafsu yang mengekang diri. Barangkali itulah pula rahasia mengapa
penyembelihan hewan dilakukan pada hari yang sama dengan pelontaran Jumrah
Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah, karena sesungguhnya dua prosesi itu
merupakan satu kesatuan simbolik dalam mengusir unsur-unsur setan di dalam
diri, melempar elemen-elemen Iblis di dalam jiwa, menyembelih berhala-berhala
duniawi.
Lantas apa makna berkurban bagi kita
mahasiswa yang alih-alih bisa membeli hewan kurban sedangkan makan di warung
burjo dan angkringan saja masih sering berhutang? Saya kira kita tidak perlu
bersedih, Allah berfirman: “Daging-daging dan darah hewan kurban itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan kalian-lah
yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37). Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya
Allah tidak menginginkan Ibrahim menyembelih anaknya, Allah hanya ingin melihat
Ibrahim menunjukkan kekuatan tekadnya untuk menjalankan titah-Nya.” Saya kira
jelas bahwa walaupun kita masih sering berhutang di warung burjo dan angkringan
kita tetap harus “berkurban”.
Kita mungkin bisa meneladani
cara-cara “berkurban” lain. Kita mungkin bisa meneladani Soekarno yang mau
“berkurban” dipenjara di ruangan 2x1 meter demi memerdekakan bangsanya yang
terjajah. Kita mungkin bisa meneladani Hatta dan Syahrir yang “berkurban”
diasingkan ke Banda Neira dan hanya ditemani dua peti berisi buku-buku. Kita
mungkin bisa meneladani Tan Malaka yang “berkurban” dalam pelariannya di
berbagai negara sambil terus menerus menulis untuk mencerdaskan bangsanya. Kita
mungkin bisa meneladani Natsir yang “berkurban” tetap memakai jas bolong dan
menghindari kemewahan selama menjadi Perdana Menteri. Kita mungkin bisa
meneladani Hamka yang “berkurban” menjadi Imam shalat jenazah bagi orang yang
pernah menjebloskan dirinya ke penjara selama bertahun-tahun. Kita mungkin bisa
meneladani Nelson Mandela yang “berkurban” tidak melakukan balas dendam apa pun
terhadap rezim yang mendekamkannya dalam penjara Robben Island di Afrika
Selatan selama 27 tahun (1963-1990). Kita mungkin bisa meneladani Ahmad Dahlan
yang “berkurban” rela disebut sebagai “Kyai Kafir” dalam usahanya memajukan
umat Islam di Yogyakarta ketika itu.
Kalau cara-cara “berkurban” seperti
itu masih terasa sulit bagi kita, mungkin kita bisa memulai dengan
“menyembelih” ego kita dalam aktivitas kita di kampus. Kita bisa “menyembelih”
ego kita untuk menduduki suatu jabatan di organisasi dan menyerahkannya pada
orang yang lebih pantas. Kita bisa “menyembelih” ego kita untuk menjadi
mahasiswa paling pintar dengan IP tinggi yang berbagi ilmu pada temannya saja
tidak mau dengan mulai mengajarkan apa yang kita ketahui pada teman kita. Kita
bisa “menyembelih” ego kita untuk membuat organisasi/partai mahasiswa kita
menjadi penguasa di kampus dengan cara-cara kotor dan mulai berkompetisi dengan
sehat. Kita bisa “menyembelih” ego kita untuk dianggap paling berjasa dalam
gerakan-gerakan dan aksi-aksi di kampus dengan mulai menghargai kontribusi
orang lain. Kita bisa “menyembelih” ego kita untuk merokok di sembarang tempat
dengan mulai merokok di area merokok. Kita bisa “menyembelih” ego kita agar
oran lain menganggap bidang ilmu kita yang paling berguna bagi kehidupan
masyarakat dengan mulai berpikir bahwa setiap bidang ilmu punya kontribusi pada
kehidupan dan mulai mempromosikan kolaborasi antar bidang ilmu. “menyembelih”
ego dan sisi narsistik kita memang tidak mudah, saya pun tak pernah berhasil
melakukannya tapi bukankah Nabi Ibrahim AS pengorbanannya jauh lebih berat?
Saya kira sudah saatnya kita “berkurban” dan “menyembelih” ego kita.
Saya
ucapkan Selamat Idul Adha 1437 H semoga “kurban” kita diterima Allah Subhana Wa
Taala aamiin ya rabbal alamin.
Dendy Raditya Atmosuwito (Kader HMI Fisipol UGM, Mahasiswa MKP Fisipol UGM 2014)
0 komentar:
Posting Komentar