Senin, 12 September 2016

Menyembelih Ego Kita Catatan Tentang Idul Adha

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , No comments


Setiap tahunnya pada tanggal 10 Dzulhijjah 1,4 miliar umat muslim di seluruh dunia merayakan hari raya Idul Adha. Pada hari tersebut dan tiga hari tasyrik setelahnya umat muslim di seluruh dunia biasa menyembelih hewan-hewan kurban seperti sapi, kambing, kerbau, domba, dan unta untuk memenuhi panggilan Allah. Kurban dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan qurbah yang berarti mendekatkan diri kepada Allah. Bila dilihat dari sisi historis, Idul Adha juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang ditorehkan Nabi Ibrahim. Idul Adha bermakna keteladanan Ibrahim yang mampu mentransformasi pesan keagamaan ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan. Sebelum Nabi Ibrahim sendiri, kurban sudah dikenal dalam sejarah ajaran agama-agama Samawi yaitu ketika dua putera Adam, Habil dan Qabil (Habel dan Kain di kitab perjanjian lama) diperintahkan untuk berkurban.

Kembali ke cerita kurban Nabi Ibrahim AS. Diceritakan Setelah melalui penantian yang begitu lama, Ibrahim akhirnya dikaruniai seorang putra bernama Ismail, dari istrinya bernama Siti Hajar. Ia pun begitu gembira dan bahagia. Kebahagiaannya memiliki seorang putra, kemudian diuji oleh Allah SWT. Saat berusia 100 tahun, datanglah sebuah perintah Allah SWT kepadanya melalui sebuah mimpi. ”…Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu..?” (QS: as-Saffat:102). Dengan penuh keikhlasan, Ismail pun menjawab, ”…Wahai Ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepada mu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS:as-Saffat:102).

Kemudian, Nabi Ibrahim AS membawa Ismail ke suatu tempat yang sepi di Mina. Ismail pun mengajukan tiga syarat kepada sang ayah sebelum menyembelihnya. Pertama, sebelum menyembelih hendaknya Nabi Ibrahim AS menajamkan pisaunya. Kedua, ketika disembelih, muka Ismail harus ditutup agar tak timbul rasa ragu dalam hatinya. Ketiga, jika penyembelihan telah selesai, pakaiannya yang berlumur darah dibawa kepada ibunya, sebagai saksi kurban telah dilaksanakan.”Maka tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim!’ sesunggu engkau telah membenarkan mimpi itu…” (QS: as-Saffat ayat 103-104).

Ketika pisau telah diarahkan ke arah leher Ismail, lalu Allah SWT menggantikannya dengan seekor domba yang besar. ”Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” Atas pengorbanan Ibrahim AS itu, Allah SWT berfirman, ”Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Selamat sejahtera bagi Ibrahim. Sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS: as-Saffat:108-109). Dalam konteks cerita ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.

Makna Berkurban
         
      Cendekiawan terkemuka asal Iran, Ali Syariati berpandangan bahwa ritual kurban bukan cuma bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. Menurutnya, Dengan berkurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda wajib berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila Anda puasa, Anda akan merasa lapar seperti mereka yang miskin. Ibadah kurban mengajak mereka yang mustadh’afiin untuk merasakan kenyang seperti Anda. Intinya, ibadah kurban mengambarkan spirit penting dalam agama Islam yaitu spirit kemanusiaan. Ironisnya, sekarang ini spirit kemanusiaan agama Islam itu sering tereduksi oleh aspek-aspek simbolis yang bisa jadi tidak penting dan lebih sering menimbulkan masalah-masalah sosial. Contoh mudahnya seperti meneriakan takbir ketika menutup paksa diskusi-diskusi ilmiah dan membakar buku padahal Allah memerintahkan kita untuk selalu membaca (Iqra!).

            Hujjatul Islam Imam Al Ghazali jauh-jauh hari telah mengingatkan kita bahwa penyembelihan hewan kurban menyimbolkan penyembelihan sifat-sifat kehewanan manusia. Berkurban itu bukan hanya sebatas seekor kambing, sapi, kerbau atau unta semata. Tetapi yang lebih penting adalah mengorbankan dan menyembelih hawa nafsu kehewanan yang membelenggu setiap manusia; nafsu serakah, sifat kikir, ego, dan nafsu menerabas yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan personal maupun komunal. Menurut Nasir Djamil orang yang berkurban sejatinya sedang diperintahkan untuk menyucikan diri, membersihkan batin, melepaskan jerat-jerat nafsu yang mengekang diri. Barangkali itulah pula rahasia mengapa penyembelihan hewan dilakukan pada hari yang sama dengan pelontaran Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah, karena sesungguhnya dua prosesi itu merupakan satu kesatuan simbolik dalam mengusir unsur-unsur setan di dalam diri, melempar elemen-elemen Iblis di dalam jiwa, menyembelih berhala-berhala duniawi.

            Lantas apa makna berkurban bagi kita mahasiswa yang alih-alih bisa membeli hewan kurban sedangkan makan di warung burjo dan angkringan saja masih sering berhutang? Saya kira kita tidak perlu bersedih, Allah berfirman: “Daging-daging dan darah hewan kurban itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan kalian-lah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37). Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menginginkan Ibrahim menyembelih anaknya, Allah hanya ingin melihat Ibrahim menunjukkan kekuatan tekadnya untuk menjalankan titah-Nya.” Saya kira jelas bahwa walaupun kita masih sering berhutang di warung burjo dan angkringan kita tetap harus “berkurban”.

            Kita mungkin bisa meneladani cara-cara “berkurban” lain. Kita mungkin bisa meneladani Soekarno yang mau “berkurban” dipenjara di ruangan 2x1 meter demi memerdekakan bangsanya yang terjajah. Kita mungkin bisa meneladani Hatta dan Syahrir yang “berkurban” diasingkan ke Banda Neira dan hanya ditemani dua peti berisi buku-buku. Kita mungkin bisa meneladani Tan Malaka yang “berkurban” dalam pelariannya di berbagai negara sambil terus menerus menulis untuk mencerdaskan bangsanya. Kita mungkin bisa meneladani Natsir yang “berkurban” tetap memakai jas bolong dan menghindari kemewahan selama menjadi Perdana Menteri. Kita mungkin bisa meneladani Hamka yang “berkurban” menjadi Imam shalat jenazah bagi orang yang pernah menjebloskan dirinya ke penjara selama bertahun-tahun. Kita mungkin bisa meneladani Nelson Mandela yang “berkurban” tidak melakukan balas dendam apa pun terhadap rezim yang mendekamkannya dalam penjara Robben Island di Afrika Selatan selama 27 tahun (1963-1990). Kita mungkin bisa meneladani Ahmad Dahlan yang “berkurban” rela disebut sebagai “Kyai Kafir” dalam usahanya memajukan umat Islam di Yogyakarta ketika itu.

            Kalau cara-cara “berkurban” seperti itu masih terasa sulit bagi kita, mungkin kita bisa memulai dengan “menyembelih” ego kita dalam aktivitas kita di kampus. Kita bisa “menyembelih” ego kita untuk menduduki suatu jabatan di organisasi dan menyerahkannya pada orang yang lebih pantas. Kita bisa “menyembelih” ego kita untuk menjadi mahasiswa paling pintar dengan IP tinggi yang berbagi ilmu pada temannya saja tidak mau dengan mulai mengajarkan apa yang kita ketahui pada teman kita. Kita bisa “menyembelih” ego kita untuk membuat organisasi/partai mahasiswa kita menjadi penguasa di kampus dengan cara-cara kotor dan mulai berkompetisi dengan sehat. Kita bisa “menyembelih” ego kita untuk dianggap paling berjasa dalam gerakan-gerakan dan aksi-aksi di kampus dengan mulai menghargai kontribusi orang lain. Kita bisa “menyembelih” ego kita untuk merokok di sembarang tempat dengan mulai merokok di area merokok. Kita bisa “menyembelih” ego kita agar oran lain menganggap bidang ilmu kita yang paling berguna bagi kehidupan masyarakat dengan mulai berpikir bahwa setiap bidang ilmu punya kontribusi pada kehidupan dan mulai mempromosikan kolaborasi antar bidang ilmu. “menyembelih” ego dan sisi narsistik kita memang tidak mudah, saya pun tak pernah berhasil melakukannya tapi bukankah Nabi Ibrahim AS pengorbanannya jauh lebih berat? Saya kira sudah saatnya kita “berkurban” dan “menyembelih” ego kita.

Saya ucapkan Selamat Idul Adha 1437 H semoga “kurban” kita diterima Allah Subhana Wa Taala aamiin ya rabbal alamin.

Dendy Raditya Atmosuwito (Kader HMI Fisipol UGM, Mahasiswa MKP Fisipol UGM 2014)            



0 komentar:

Posting Komentar