Kamis, 11 Agustus 2016

Dekonstruksi Makna Mahasiswa

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , 1 comment

Iron stock, agent of change, moral force, dan agen pembangunan adalah sedikit dari sekian banyak julukan atau embel-embel yang disematkan kepada kelompok pemuda-pemudi yang sedang menempuh pendidikan tinggi yang biasa kita sebut: Mahasiswa. Selain julukan-julukan tersebut, pemaknaan beprestasi bagi mahasiswa yang sering diidentikan dengan IPK tinggi, menjuarai perlombaan, menjadi pemimpin di organisasi, sukses menyelenggarakan event besar, juga sering kita dengar bahkan kita percayai. Julukan-julukan dan pemaknaan berprestasi tersebut tentu saja tidak datang dengan sendirinya, semua hal tersebut tentu dikonstruksikan kedalam pikiran kita oleh pihak yang berkepentingan. Lantas siapa pihak yang berkepentingan itu? Sebelum kita jawab pertanyaan tersebut, mari kita tenggok terlebih dahulu sejarah singkat pemaknaan tentang menjadi pemuda (yang kemudian berubah menjadi mahasiswa) di Indonesia.
Hilmar Farid (2011) dalam tulisannya yang berjudul Meronta dan Berontak: Pemuda dalam Sastra Indonesia menunjukan bahwa pemaknaan menjadi pemuda dan gerakan pemuda direpresentasikan berbeda pada setiap era. Pada awal abad ke-20, pemuda digambarkan sebagai mereka yang bersinggungan dekat dengan ‘kemajuan’ berkat persentuhannya dengan kultur Eropa. Representasi yang lain lagi nampak pada era Perang Kemerdekaan. Pada era Orde Baru, pemuda digambarkan sebagai pemberontak. Keberagaman ini membuat Farid menyimpulkan bahwa tak ada gerakan pemuda yang sejati. Pemuda adalah ‘floating signifier’ yang tak punya sifat tetap. Karakternya akan terus berubah dari masa ke masa. Tulisan Hilmar Farid ini juga punya makna tersirat bahwa julukan-julukan dan pemaknaan beprestasi yang melekat pada mahasiswa sekarang ini bukanlah hal yang alami, semua itu adalah artificial atau buatan. Dan pembuatnya tentu saja mereka yang punya kepentingan dan kuasa: Negara.
Kepengaturan Negara pada Mahasiswa
Tadzkia Nurshafira dan Rizky Alif Alvian (2015) menunjukan bahwa secara umum ada dua hal yang diharapkan negara pada pemuda (dalam hal ini mahasiswa). Pertama, pemuda diharapkan untuk memperkuat daya kompetisi negara di ekonomi global. Kedua, pemuda diharapkan menjadi pewaris dari nilai-nilai generasi tua. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana negara membuat mahasiswa mengikuti keinginan mereka?. Kita bisa melihat fenomena ini dari kacamata analisis Foucauldian. Michel Foucault, seorang filsfuf dari Prancis, mengemukakan konsep yang dinamainya governmentality. Foucault menjelaskan bahwa governmentality atau kepengaturan adalah “ensemble formed by the institiutions, procedures, anlyses and reflections, the calculations and tactics, that allow the exercise of this very specific albeit complex form of power” (Foucault, 1979). Sederhananya kepengaturan adalah sebuah konsep atau boleh juga disebut alat penggiring niat, pembentuk kebiasaan, harapan dan kepercayaan. Berbeda dengan disiplin yang dilakukan melalui paksaan dan hukuman seperti yang dikatakan oleh Foucault dalam bukunya tentang penjara di Prancis, kepengaturan lebih mengacu pada pengontrolan yang dilakukan oleh agen modern dengan tujuan kemaslahatan orang banyak meskipun dalam prakteknya bisa saja dilakukan untuk keuntungan segelitir orang.
Contoh konkritnya seperti ini, pada zaman Orde Baru pendisiplinan mahasiswa dilakukan dengan program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Pada era tersebut NKK-BKK dilaksanakan dengan sistem pendisiplinan ketat seperti penangkapan para aktivis mahasiswa ketika itu. Pasca Reformasi tentu saja cara semacam itu tidak mungkin lagi dilakukan mengingat gelombang demokratisasi dan kesadaran akan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia yang semakin tinggi. Akhirnya dipilihlah NKK/BKK model baru. Lantas bagaimana bentuk NKK/BKK model baru tersebut? Contoh paling jelas tentu mahalnya Uang Kuliah Tunggal dan terbitnya Permendikbud No 49 Tahun 2014 (Pelaksanaan Permendikbud tersebut akhirnya ditunda) tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi yang memaksa pihak univeristas menekan para mahasiswa agar bisa lulus dalam jangka waktu maksimal 5 tahun. Jika mereka melebihi batas waktu tersebut, maka mereka akan didrop out (D.O). Orientasi para mahasiswa pun mulai berubah menjadi sekadar kegiatan kelas: datang, duduk, absen, lalu pulang. Contoh lain adalah Program Kreativitas Mahasiswa dan menjamurnya event-event yang diselenggarakan oleh mahasiswa. Menulis untuk Program Kreativitas Mahasiswa memang baik untuk pembelajaran riset. Namun pertanyaannya, apakah menulis PKM dilakukan dengan intensi pengetahuan atau dengan motif ekonomis? Kita tentu tak sulit menemukan peserta PKM yang melakukan mark-up anggaran PKM-nya untuk kepentingan ekonomis. Soal event, negara lewat agennya dalam hal ini kampus gencar mendorong mahasiswanya untuk menyelenggarakan event yang tujuannya tentu saja melatih mahasiswa menarik harti para investor menanamkan modalnya ke acara mereka. Wacana tentang mahasiswa sebagai pilar utama bonus demografi 2030 yang juga gencar disosialisasikan tentu bisa kita masukan dalam bentuk kepengaturan negara pada mahasiswa.
Dekonstruksi: Hal yang Mungkin Bisa Kita Lakukan
Lantas pertanyaan berikutnya adalah, apa yang harus kita lakukan sebagai mahasiswa? Saya tentu tidak punya wewenang untuk memutuskan apa yang harus kita lakukan tetapi saya setidaknya punya jawaban untuk pertanyaan apa yang mungkin bisa kita lakukan. Jawaban saya datang dari pemikiran teman Michel Foucault yang juga berasal dari Prancis, Jacques Derrida. Derrida seperti banyak filsuf lain bicara hal yang kita anggap sederhana dengan cara yang sangat rumit tentu saja. Dan kalau boleh saya sederhanakan sebenarnya Derrida bicara tentang bahasa, utamanya bahasa teks atau tulis. Mengapa bahasa? Karena di dalam bahasa itu tersimpan sesuatu yang sangat penting bagi manusia; sesuatu yang sangat esensial. Bahasa mengandung “makna yang dianggap benar” Derrida menyebutnya “keutamaan bahasa”. Bagi Derrida, “Keutamaan bahasa” atas tulisan menunjukkan adanya represi sebuah logika terhadap logika yang lain. Lewat struktur argumen yang runtut dan logis, sebuah logika berusaha menjadi benar sambil menunjukkan logika lain salah. Dan hal tersebut hanya bisa terjadi dengan adanya otoritas atau kewenangan untuk menentukan makna suatu hal.
Lalu apa hubungannya pemikiran Derrida tadi dengan hal yang mungkin kita bisa lakukan sebagai mahasiswa? Derrida kemudian mengajukan suatu cara pembacaan untuk menghilangkan represi sebuah logika terhadap logika lainnya yang ada didalam bahasa. Cara pembacaan itu dia sebut: dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan cara pembacaan yang unik. Ia destruktif sekaligus konstruktif dalam waktu bersamaan. Mudahnya, Derrida beranggapan bahwa pembaca bebas memaknai bacaan. Pembaca komik Batman bebas memaknai bahwa sesungguhnya Batman adalah penjahat juga karena dia sering main hakim sendiri dan pembaca juga bebas memaknai bahwa sesungguhnya Joker adalah orang yang baik karena ia selalu mengungkapnkan the painful truth atau kebenaran yang menyakitkan. Dekonstruksi lah yang mungkin bisa kita lakukan sebagai mahasiswa. Kita bebas memaknai bagaimana menjadi mahasiswa. Kita tidak perlu terikat dengan konstruksi mahasiswa harus ini dan harus itu. Kita bebas menjadi mahasiswa tipe apapun. Mau menjadi mahasiswa yang hanya kuliah pulang, akademisi, aktivis, event organizer dll atau bahkan menjadi semuanya dalam satu waktu sekaligus semua bebas terserah anda. Menarik bukan? Lepas dari itu semua, tulisan saya ini sifatnya adalah opini pribadi jadi anda tak tentu tak wajib mengikuti tulisan saya ini. Yang jelas bagi saya, manusia (termasuk mahasiswa tentu saja) yang paling baik adalah yang berguna bagi manusia lain, selebihnya terserah anda tentu saja.
Ditulis oleh Dendy Raditya Atmosuwito (Mahasiswa MKP Fisipol UGM 2014, Kader HMI Fisipol UGM)
Tulisan dimuat dalam Balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2016

1 komentar:

  1. postingan menarik, sangat bermanfaat. Semoga sukses terus. Terimakasih
    info Gadget lenovo menarik.

    Lenovo K900
    Lenovo A6000
    Lenovo A7000
    Lenovo A369i

    BalasHapus