Selasa, 15 Maret 2016

Islam Agama Perlawanan

BY HMI Komisariat Fisipol UGM No comments


Galih Kartika Ade Saputra

Diskursus Islam sebagai agama perlawanan bukanlah diskursus baru. Pun bukanlah diskursus yang hendak meng-kiri-kan Islam. Pada dasarnya, tanpa harus diberi label apapun, Islam datang untuk melawan kezaliman, ketidakadilan, serta penindasan. Wacana ini diangkat sebagai respon terhadap kondisi umat Islam saat ini, khususnya kaum mudanya. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, orientasi perjuangan umat Islam saat ini terjebak pada ritus-ritus keagaman, tetapi abai terhadap dimensi profetiknya.  Orientasi perjuangan umat Islam oleh beberapa orang atau golongan  mengalami penyempitan, misal  semangat amar ma’ruf nahi munkar hanya sebatas pada penggrebekan tempat tempat maksiat (khususnya saat mendekati Ramadhan saja), pemboikotan aliran baru yang dianggap sesat, dan berbagai fatwa yang dimaksudkan untuk menjaga kemurnian Islam yang semuanya hampir selalu dilakukan dengan jalan kekerasan. Namun, di sisi lain semangat amar ma’ruf nahi munkar ini seolah sirna ketika dihadapkan pada ketidakadilan di bidang ekonomi, sosial, dan politik. 

Kehidupan beragama juga cenderung timpang sebelah, ibadah yang bersifat hablumminallah begitu kuat namun, sering menutup mata terhadap permasalahan ekonomi, sosial dan politik (hablumminannas) di sekitarnya. Kepedulian terhadap kaum miskin tertindas sering dikesampingkan, padahal dalam banyak ajaran dan kisah dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, menyeru untuk peduli terhadap kaum miskin dan melawan segala bentuk penindasan, keserakahan dan ketidakadilan. Oleh karena itu menggali kembali nilai perlawanan dari ajaran Islam penting bagi penyadaran umat Islam dan khususnya bagi pergerakan mahasiswa Islam dalam berjuang.

Berawal dari Tauhid, Abadi dalam Qur’an

Darimana sebenarnya risalah perlawanan berawal? Risalah perlawanan justru berawal dari inti ajaran Islam yaitu tauhid. Tauhid sebagai misi utama Islam pada dasarnya berisi kepercayaan dan ketunduk-patuhan hanya kepada Allah dan menolak belenggu kepercayaan dan ketundukan kepada segala sesuatu selain Allah. Seperti yang dikatakan Joko Arizal dalam tulisan Rekonstruksi Islam sebagai Ideologi Pembebasan, kepercayaan dan ketundukan hanya kepada Allah berarti membebaskan manusia dari segala pengekangan, penindasan,ketidakadilan, kepercayaan palsu dan semua yang menghambat manusia untuk hidup sesuai dengan fitrahnya. Dengan dasar itulah berarti manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, posisinya setara. Jika ada penindasan manusia yang satu kepada manusia yang lain harus ditolak sebab segala bentuk penindasan  berlawanan dengan  keyakinan manusia terhadap ke-Esa-an Allah.  Ini berlaku juga ketika ada rezim yang zalim dan menindas rakyatnya. Kezaliman itu bertentangan dengan pokok ajaran Islam, maka sebagai umat yang meyakini ke-Esa-an Allah, umat Islam tidak boleh tinggal diam.

Namun, makna perlawanan tak lantas diartikan identik dengan kekerasan. Seperti yang ditulis Eko Prasetyo dalam bukunya Kisah-Kisah Pembebasan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an mengabadikan kisah-kisah yang memberi pelajaran mengenai bentuk-bentuk perlawanan. Tidak semua berbentuk perlawanan fisik. Bahkan perlawanan tidak selalu ada dua aktor yang saling bertentangan. Bisa saja perlawanan itu berbentuk usaha memperbaiki kondisi masyarakat, bisa juga perlawanan itu berupa pergolakan yang berlangsung di dalam batin. Misalkan kisah Nabi Ibrahim ketika mengalami pergolakan batin saat mencari Tuhan, kemudian kisah Nabi Musa melawan rezim zalim Fir’aun, kisah Nabi Muhammad membebaskan masyarakat dari kejahiliyahan, menghapus perbedaan ras dan kelas. Kisah-kisah Al-Qur’an telah banyak mencontohkan bagaimana utusan Allah melawan kezaliman. Meminjam kalimat Eko Prasetyo, ia percaya tiap utusan Tuhan hadir untuk memprotes kezaliman.

Hal lain yang patut dicatat, ketika kita membaca kehidupan bernegara seperti kisah Nabi Muhammad, Umar bin Khatab, atau Umar bin Abdul Aziz; di dalamnya selalu ada poin penekanan bahwa jangan pernah main-main ketika berurusan dengan orang miskin. Kepedulian terhadap mereka yang paling tidak beruntung dalam masyarakat sangat diutamakan. Keputusan yang diambil selalu mengutamakan  mereka yang lemah dan bukan sebaliknya. Ini juga menjadi pelajaran bahwa setiap kebijakan tidak boleh dengan semena-mena mengorbankan mereka yang lemah.

Perlawanan juga sama sekali tidak bertentangan dengan islam sebagai rahmatan lil alamin. Bahkan Said Tuhuleley mengatakan bukankah sebagai rahmatan lil alamin, kita juga memikul amanat amar ma’ruf nahi munkar? Perlawanan adalah salah satu kunci penting dalam konteks nahi munkar . Nilai perlawanan yang diajarkan dalam Al-Qur’an seperti inilah yang perlu diangkat. 

Harapan

Upaya menggali kembali nilai-nilai perlawanan dalam ajaran Islam bermaksud mengingatkan kembali disamping kewajibannya menegakkan keimanan dan ketaqwaan (habluminallah) terdapat tugas untuk peduli kepada sesama, membela mereka yang lemah dan melawan segala bentuk ketidakadilan serta penindasan. Wacana ini sangat relevan bagi kita --mahasiswa-- untuk mengingat kembali tanggungjawabnya sosialnya, yakni mengamalkan (kembali) ilmu untuk memperjuangkan nasib rakyat. 

Wallahu ‘alam bissawab
Beriman, Berilmu, Beramal! Yakin, Usaha, Sampai!

Oleh : Galih Kartika 
(Kader HMI Komisariat Fisipol UGM, Mahasiswa Departemen Politik & Pemerintahan Fisipol UGM, 2014)

Referensi
Eko Prasetyo. 2012. Kisah-Kisah Pembebasan dalam Al-Qur’a. Yogyakarta : Resist Book
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fisipol UGM. 2015. Buku Saku Kader HMI. Yogyakarta : HMI Komisariat Fisipol UGM
Joko Arizal. Rekonstruksi Islam sebagai Ideologi Pembebasan diakses melalui http://indoprogress.com/2016/02/rekonstruksi-islam-sebagai-ideologi-pembebasan/

0 komentar:

Posting Komentar