Mahasiswa sebagai representasi dari kaum muda intelektual memiliki peran
strategis dalam pengembangan sosial dan masyarakat. Mahasiswa diharapkan untuk mampu
melahirkan ide, pemikiran inovatif serta gagasan yang bermanfaat, untuk bisa
bersama-sama dengan masyarakat keluar dari masalah-masalah dan demi tercapainya
kesejahteraan bersama. Peran mahasiswa sangat diharapkan oleh masyarakat dalam
perkembangannya. Mahasiswa dianggap cerminan kaum berpendidikan yang dekat dengan
mayarakat sehingga kehadiran dan konstribusinya selalu ditunggu-tunggu oleh
masyarakat, termasuk desa.
Dalam menanggapi hal ini, banyak dari mahasiswa yang mengagendakan program-program
pengabdian dan pemberdayaan desa. Mulai dari event-event yang dilaksanakan di desa
oleh para mahasiswa seperti bakti sosial –yang kini telah begitu populer, pembagian
nasi gratis hingga donor darah. Tak hanya itu, dalam level organisasi maupun
lembaga pun juga dibentuk divisi-divisi yang bergerak dibidang pemberdayaan seperti
lembaga sosmas di tiap jurusan, fakultas maupun universitas. Termasuk pihak
Universitas yang memiliki komitmen dalam
pembangunan sosial desa dengan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai tanggung
jawab morilnya merealisasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Akan tetapi, tak ada gading yang tak retak. Berbicara soal pemberdayaan desa
ala mahasiswa selama ini, diakui bahwa realitanya, mahasiswa masih sangat sulit
untuk menemukan ramuan dan konsep pemberdayaan yang tepat dengan konteks
kemahasiswaan yang -jujur saja- serba kekurangan. Mulai dari kekurangan
pengetahuan dalam keilmuannya, kurangnya kemampuan dalam assassement dan
analisis masalah sosial yang harusnya menjadi dasar dan landasan praktik awal
dalam melakukan pemberdayaan dan lainnya. Bahkan kemampuan material di lapangan
juga begitu minim (Pras, 2016). Namun para mahasiswa seharusnya jangan sampai
terjebak dan terperangkap dalam hal-hal yang seperti ini (meskipun dirasa
urgen) karena pada dasarnya harus kembali kita dudukkan makna pemberdayaan
masyarakat desa itu sendiri dalam setiap kegiatan-kegiatan kita nantinya.
Menarik sebenarnya jika kita merefleksikan sejenak pemikiran Pak Surjadi (1941)
dalam pemaknaannya terhadap pemberdayaan masyarakat desa yang di rasa semakin
hari semakin pudar. Baginya, bagaimanapun kondisi keadaan negara, desa masih
dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan
kebudayaan orisinil Indonesia berupa musyawarah, tolong-menolong, gotong royong
dan menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Sehingga menurutnya, pembangunan
desa hendaknya menggali serta mengembangkan kebudayaan dan sistem kehidupan di
pedesaan tersebut dengan memegang teguh kehidupan moral untuk menjaga
kestabilan dan keutuhan iklim budaya yang sehat. Dari pemaknaannya tadi maka ia
memandang bahwasanya pembangunan masyarakat desa adalah suatu proses gerakan dari
mereka sendiri dan bersifat mandiri untuk menciptakan kehidupan desa yang lebih
baik, memenuhi kebutuhan mereka secara individu maupun komunal. Mereka
berkumpul untuk memusyawarahkan apa saja kebutuhan mereka bersama sehingga
keluarlah hasil mufakat yang nantinya dirasa mampu untuk merangkul semua kebutuhan
dari masyarakat desa tersebut. Lalu dalam pembangunannya terjadi kolaborasi
yang baik antar satu dengan lainnya dan pada diakhir akan terbentuknya desa
yang baik dan masyarakat yang rukun. Penduduk desa masih menerapkan musyawarah
sebagai bentuk manifestasi demokrasi mereka, bentuk persaudaraan mereka, dan
tanggung jawab bersama dalam proses gotong royong itu sendiri.
Lantas timbul pertanyaan, dimana peran mahasiswa dalam konstribusinya
terhadap desa? Sebelum kita membahas apa yang bisa dilakukan mahasiswa sekarang
lebih jauh, alangkah lebih baiknya jika kita mau dengan jujur dalam melihat
realita desa masa kini. Masyarakat desa hari ini seperti terpinggirkan dari
perhatian pemerintah, bagaimana tidak, Kementerian DPDTT (2015) menyatakan
bahwa sebanyak 39.091 desa dari 74.093 jumlah desa di Indonesia atau 52,79
persen dari total keseluruhannya. Belum lagi jika kita memandang aspek
psikologis khusus yang dimiliki para masyarakat desa pada umumnya, menurut
Landis (1948) masyarakat desa memiliki kecerendungan-kecerendungan psikologis
atau kepribadian yang unik atau yang biasa ia sebut “Psychological Traits of
Farm People”. Baginya masyarakat desa memiliki sifat menentang terhadap
orang luar,selanjutnya memiliki sifat rendah diri yang sifat ini sebagai akibat
adanya kemiskinan yang dialami, atau dengan kata lain mempunyai derajat
kemakmuran yang rendah, masyarakat desa juga mempunyai sifat udik/pedalaman,
dimana sifat ini sebagai akibat kurangnya kontak dengan dunia luar (kurangnya
sarana transportasi dan komunikasi). Tidak hanya itu, orientasi pemikiran
masyarakat saat ini terpusat pada bagaimana ia mendapatkan uang dan makmur
material (akibat pengaruh kapitalisasi perekonomian Indonesia). Belum lagi masalah
pemerataan pendidikan di Indonesia. Sungguh banyak masalah yang dihadapi desa
hari ini.
Mengingat situasi dan melihat kondisi yang seperti demikian, tampaknya
masalahnya terdapat pada anggota-anggota dari masyarakat desa itu sendiri, Pak
Surjadi menyadari itu dan mengatakan bahwa sebetulnya pembangunan masyarakat
desa didasarkan kepada inisiatif atau swadaya dari anggotanya sendiri. perlulah
sekiranya masyarakat agar disadarkan terlebih dahulu terhadap tanggung jawabnya
dan konstribusi yang dapat ia berikan, dengan demikian upaya-upaya pemberdayaan
masyarakat desa mestinya didahului oleh pembangunan manusia itu sendiri (Human
Building), mempersiapkan mereka agar mampu menerima dan melaksanakan
tanggung jawab pembangunan. Untuk itu perlulah ada pihak lain yang melaksanakan
Human Building tersebut, pihak tersebut harus mampu menolong masyarakat
agar masyarakat itu mampu menolong dirinya sendiri (to help people to help
themselves).
Dari pandangan Pak Surjadi ini, setidaknya kita para mahasiswa sebagai
agen pemberdayaan desa diharapkan mampu untuk kembali mengahayati makna dasar
dari pemberdayaan itu sendiri secara komperhensif dan tidak terjebak terhadap
persoalan-persoalan yang akan menguras tenaga dan pikiran kita. Memang banyak
cara untuk membangun desa, namun dengan apa yang telah disampaikan pak Surjadi ini
sekiranya mampu memberikan insight mendasar terhadap makna dibalik
pemberdayaan tersebut. Apakah selama ini kita hanya sekedar mengasihani mereka
tanpa adanya edukasi ataupun sebaliknya.
Bukan mahasiswa namanya jika terjadi sebuah masalah ia berpaling, bahkan
seorang Itachi Uciha yang dianggap oleh orang banyak sebagai pengkhianat desa
pun mengatakan "Desa mungkin sudah penuh dengan kontrakdisi dan
kegelapan, akan tetapi aku tetaplah Itachi dari desaku, Konohagakure". Mahasiswa
sebagai Agent of Change tentu diharapkan menjadi garda terdepan demi lahirnya perubahan masyarakat desa
kearah yang lebih baik. Tapi ingat, justru
perubahan itu dimulai dari sendiri, termasuk dalam pemaknaannya, karena toh
sesungguhnya Tuhan tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Daftar Pustaka
(n.d.).
K, S. (1953). Desa. Jogjakarta: Sumur
Bandung.
Soeanrjono. (1968). Buku Pegangan Bagi Kader
Pembangunan Desa. Jakarta: Pustaka Masa.
Surjadi. (1979). Pembangunan Masyarakat Desa.
Bandung: Alumni.
Surjadi. (1983). Da'wah Islam dengan Pembangunan
Masyarakat Desa. Bandung: Alumni.
Oleh: Mochamad Ridha
(Kader HMI Komisariat Fisipol UGM, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, 2015)
*Tulisan dimuat dalam Press Release Kementerian
Pengembangan Desa Mitra BEM KM UGM