Selasa, 31 Mei 2016

Refleksi dan Pemaknaan Mendasar dalam Pemberdayaan Masyarakat Desa

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , 1 comment


Mahasiswa sebagai representasi dari kaum muda intelektual memiliki peran strategis dalam pengembangan sosial dan masyarakat. Mahasiswa diharapkan untuk mampu melahirkan ide, pemikiran inovatif serta gagasan yang bermanfaat, untuk bisa bersama-sama dengan masyarakat keluar dari masalah-masalah dan demi tercapainya kesejahteraan bersama. Peran mahasiswa sangat diharapkan oleh masyarakat dalam perkembangannya. Mahasiswa dianggap cerminan kaum berpendidikan yang dekat dengan mayarakat sehingga kehadiran dan konstribusinya selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat, termasuk desa.
Dalam menanggapi hal ini, banyak dari mahasiswa yang mengagendakan program-program pengabdian dan pemberdayaan desa. Mulai dari event-event yang dilaksanakan di desa oleh para mahasiswa seperti bakti sosial –yang kini telah begitu populer, pembagian nasi gratis hingga donor darah. Tak hanya itu, dalam level organisasi maupun lembaga pun juga dibentuk divisi-divisi yang bergerak dibidang pemberdayaan seperti lembaga sosmas di tiap jurusan, fakultas maupun universitas. Termasuk pihak Universitas  yang memiliki komitmen dalam pembangunan sosial desa dengan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai tanggung jawab morilnya merealisasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Akan tetapi, tak ada gading yang tak retak. Berbicara soal pemberdayaan desa ala mahasiswa selama ini, diakui bahwa realitanya, mahasiswa masih sangat sulit untuk menemukan ramuan dan konsep pemberdayaan yang tepat dengan konteks kemahasiswaan yang -jujur saja- serba kekurangan. Mulai dari kekurangan pengetahuan dalam keilmuannya, kurangnya kemampuan dalam assassement dan analisis masalah sosial yang harusnya menjadi dasar dan landasan praktik awal dalam melakukan pemberdayaan dan lainnya. Bahkan kemampuan material di lapangan juga begitu minim (Pras, 2016). Namun para mahasiswa seharusnya jangan sampai terjebak dan terperangkap dalam hal-hal yang seperti ini (meskipun dirasa urgen) karena pada dasarnya harus kembali kita dudukkan makna pemberdayaan masyarakat desa itu sendiri dalam setiap kegiatan-kegiatan kita nantinya. 
Menarik sebenarnya jika kita merefleksikan sejenak pemikiran Pak Surjadi (1941) dalam pemaknaannya terhadap pemberdayaan masyarakat desa yang di rasa semakin hari semakin pudar. Baginya, bagaimanapun kondisi keadaan negara, desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan orisinil Indonesia berupa musyawarah, tolong-menolong, gotong royong dan menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Sehingga menurutnya, pembangunan desa hendaknya menggali serta mengembangkan kebudayaan dan sistem kehidupan di pedesaan tersebut dengan memegang teguh kehidupan moral untuk menjaga kestabilan dan keutuhan iklim budaya yang sehat. Dari pemaknaannya tadi maka ia memandang bahwasanya pembangunan masyarakat desa adalah suatu proses gerakan dari mereka sendiri dan bersifat mandiri untuk menciptakan kehidupan desa yang lebih baik, memenuhi kebutuhan mereka secara individu maupun komunal. Mereka berkumpul untuk memusyawarahkan apa saja kebutuhan mereka bersama sehingga keluarlah hasil mufakat yang nantinya dirasa mampu untuk merangkul semua kebutuhan dari masyarakat desa tersebut. Lalu dalam pembangunannya terjadi kolaborasi yang baik antar satu dengan lainnya dan pada diakhir akan terbentuknya desa yang baik dan masyarakat yang rukun. Penduduk desa masih menerapkan musyawarah sebagai bentuk manifestasi demokrasi mereka, bentuk persaudaraan mereka, dan tanggung jawab bersama dalam proses gotong royong itu sendiri.
Lantas timbul pertanyaan, dimana peran mahasiswa dalam konstribusinya terhadap desa? Sebelum kita membahas apa yang bisa dilakukan mahasiswa sekarang lebih jauh, alangkah lebih baiknya jika kita mau dengan jujur dalam melihat realita desa masa kini. Masyarakat desa hari ini seperti terpinggirkan dari perhatian pemerintah, bagaimana tidak, Kementerian DPDTT (2015) menyatakan bahwa sebanyak 39.091 desa dari 74.093 jumlah desa di Indonesia atau 52,79 persen dari total keseluruhannya. Belum lagi jika kita memandang aspek psikologis khusus yang dimiliki para masyarakat desa pada umumnya, menurut Landis (1948) masyarakat desa memiliki kecerendungan-kecerendungan psikologis atau kepribadian yang unik atau yang biasa ia sebut “Psychological Traits of Farm People”. Baginya masyarakat desa memiliki sifat menentang terhadap orang luar,selanjutnya memiliki sifat rendah diri yang sifat ini sebagai akibat adanya kemiskinan yang dialami, atau dengan kata lain mempunyai derajat kemakmuran yang rendah, masyarakat desa juga mempunyai sifat udik/pedalaman, dimana sifat ini sebagai akibat kurangnya kontak dengan dunia luar (kurangnya sarana transportasi dan komunikasi). Tidak hanya itu, orientasi pemikiran masyarakat saat ini terpusat pada bagaimana ia mendapatkan uang dan makmur material (akibat pengaruh kapitalisasi perekonomian Indonesia). Belum lagi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia. Sungguh banyak masalah yang dihadapi desa hari ini.
Mengingat situasi dan melihat kondisi yang seperti demikian, tampaknya masalahnya terdapat pada anggota-anggota dari masyarakat desa itu sendiri, Pak Surjadi menyadari itu dan mengatakan bahwa sebetulnya pembangunan masyarakat desa didasarkan kepada inisiatif atau swadaya dari anggotanya sendiri. perlulah sekiranya masyarakat agar disadarkan terlebih dahulu terhadap tanggung jawabnya dan konstribusi yang dapat ia berikan, dengan demikian upaya-upaya pemberdayaan masyarakat desa mestinya didahului oleh pembangunan manusia itu sendiri (Human Building), mempersiapkan mereka agar mampu menerima dan melaksanakan tanggung jawab pembangunan. Untuk itu perlulah ada pihak lain yang melaksanakan Human Building tersebut, pihak tersebut harus mampu menolong masyarakat agar masyarakat itu mampu menolong dirinya sendiri (to help people to help themselves).
Dari pandangan Pak Surjadi ini, setidaknya kita para mahasiswa sebagai agen pemberdayaan desa diharapkan mampu untuk kembali mengahayati makna dasar dari pemberdayaan itu sendiri secara komperhensif dan tidak terjebak terhadap persoalan-persoalan yang akan menguras tenaga dan pikiran kita. Memang banyak cara untuk membangun desa, namun dengan apa yang telah disampaikan pak Surjadi ini sekiranya mampu memberikan insight mendasar terhadap makna dibalik pemberdayaan tersebut. Apakah selama ini kita hanya sekedar mengasihani mereka tanpa adanya edukasi ataupun sebaliknya.
Bukan mahasiswa namanya jika terjadi sebuah masalah ia berpaling, bahkan seorang Itachi Uciha yang dianggap oleh orang banyak sebagai pengkhianat desa pun mengatakan "Desa mungkin sudah penuh dengan kontrakdisi dan kegelapan, akan tetapi aku tetaplah Itachi dari desaku, Konohagakure". Mahasiswa sebagai Agent of Change tentu diharapkan menjadi garda terdepan  demi lahirnya perubahan masyarakat desa kearah yang lebih baik. Tapi ingat,  justru perubahan itu dimulai dari sendiri, termasuk dalam pemaknaannya, karena toh sesungguhnya Tuhan tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Daftar Pustaka                      
(n.d.).
K, S. (1953). Desa. Jogjakarta: Sumur Bandung.
Soeanrjono. (1968). Buku Pegangan Bagi Kader Pembangunan Desa. Jakarta: Pustaka Masa.
Surjadi. (1979). Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Alumni.
Surjadi. (1983). Da'wah Islam dengan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Alumni.

Oleh: Mochamad Ridha
(Kader HMI Komisariat Fisipol UGM, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, 2015)


*Tulisan dimuat dalam Press Release Kementerian Pengembangan Desa Mitra BEM KM UGM  

1 komentar: