Latar Belakang
Kasus-kasus pembatasan aktivitas keilmuan dan kebebasan berpendapat bermunculan akhir-akhir ini. Mulai dari pelarangan buku-buku berbau kiri, pembubaran aksi damai mahasiswa papua, pemukulan aktivis perpustakaan jalanan di Bandung, hingga upaya pembubaran acara diskusi dan pemutaran film di berbagai tempat. Kasus-kasus tadi membuat heran karena dilakukan di alam demokrasi seperti sekarang ini. Perjalanan bangsa Indonesia telah beralih dari rezim otoriter, Orde Baru, yang represif dan intimidatif menuju era reformasi yang digadang-gadang sebagai masa di mana kebebasan dan demokrasi sejati dapat tercipta. Namun, tampaknya watak negara yang represif terhadap ruang-ruang kebebasan warganya termasuk dalam dunia akademis masih terus berulang. Malahan, kini Ia menjelma ke dalam bentuk yang semakin beragam. Misal, dahulu tindakan tersebut lebih banyak dilakukan oleh negara melalui aparat-aparat yang dimilikinya. Adapun kini, tindakan negara masih saja represif, hanya saja kekerasan dan tindakan represif dimodifikasi oleh Negara menjadi lebih halus dan ramah (soft approach) dengan turut menggandeng ormas-ormas konservatif dan reaksioner. Lebih miris lagi, beberapa kasus kekerasan dan pembatasan ruang-ruang akademis ternyata dimotori oleh ormas-ormas yang mengatasnamakan Islam.
Stigma negatif terhadap suatu identitas sosial (misal, dicap sebagai komunis atau Cina) yang dimiliki oleh sekelompok seringkali menjadi belenggu ketakutan bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia yang secara tidak sadar telah tertanam di bawah sadar mereka. Ketakutan atas steorotip buruk tesebut seolah-olah dirawat Negara dengan tujuan mengamankan legitimasi dan kekuasaan negara dari kelompok-kelompok yang mengancam kekuasaan negara itu sendiri. Pada akhirnya, pola indoktrinasi dan pelestarian atas stigma tersebut membuat kebanyakan orang takut untuk memahami identitas atau ideologi yang dianggap buruk di kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi, stigma negatif malah digunakan sebagai pembenaran untuk melakukan tindak kekerasan atas nama memusuhi identitas-identitas tersebut, tanpa menelusuri lebih lanjut terkait kebenarannya dahulu.
Rendahnya tingkat literasi di Indonesia kemudian makin memperparah pemahaman orang-orang di Indonesia atas berbagai informasi yang beredar. Padahal, melalui literasi inilah masyarakat tercerahkan secara pikiran. Sederhananya, literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun sekarang ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti (multi-literacies). Ada bermacam-macam keberaksaraan atau literasi, misalnya literasi komputer (computer literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), literasi ekonomi (economy literacy), literasi informasi (information literacy), bahkan ada literasi moral (moral literacy). Jadi, keberaksaraan atau literasi dapat diartikan melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis, peka terhadap lingkungan, bahkan juga peka terhadap politik. Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.
Kemerdekaan Berpikir Menurut Islam
Islam telah menjamin kebebasan berpikir. Hal itu sangat jelas terlihat saat Islam menyeru agar menggunakan pikiran dalam menjelajahi penciptaan semesta, langit, dan bumi. Hal itu, merupakan anjuran yang banyak disebut-sebut, sebagaimana firman Allah Taala, "Katakanlah, Sesungguhnya Aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan." (Saba: 9) Juga dalam firman-Nya, "Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena sesunguhnya bukanlah mata itu yang buta, ialah hati yang ada di dalam dada." (Al-Hajj: 46)
Bahkan, Islam sendiri sangat mencela orang-orang yang merusak kekuatan akal berpikir dan perasaan mereka dari melaksanakan profesi tugasnya di muka bumi ini, menjadikan mereka dalam tingkatan yang sama atau sederajat dengan hewan, sebagaimana firman Allah Taala, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (Al-Araf: 179)
Islam juga mencela orang yang hanya mengikuti prasangka dan perkiraan. Allah Taala berfirman, "Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada bermanfaat sedikitpun terhadap kebenaran." (An-Najm: 28) Juga mencela orang yang suka taklid kepada nenek moyang atau para pemimpin tanpa melihat kondisi mereka benar atau batil. "Dikatakan kepada mereka sebagai sindiran atas urusan mereka ini dengan firman-Nya, Dan mereka berkata, Ya Rabb Kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)." (Al-Ahzab: 67).
Islam dalam menetapkan akidah Islamiyah berpedoman dengan dalil akal. Karena itu, para ulama mengatakan, akal merupakan asas perpindahan. Karena hukum perwujudan Allah Taala tegak atas dasar ketetapan akal. Demikian pula hukum kenabian Muhammad pertama kalinya ditetapkan atas dasar akal. Kemudian dibuktikan dengan mukjizat akan kebenaran kenabiannya. Ini merupakan bentuk dari pemuliaan Islam pada akal serta pemikiran. Berpikir dalam kacamata Islam merupakan kewajiban yang tidak boleh dihilangkan dalam kondisi bagaimanapun juga. Islam telah membuka pintu seluas-luasnya untuk selalu berpikir tentang urusan agama. Demikian itu untuk membahas kebenaran syariat pada tiaptiap yang didapatinya dari problematika hidup. Inilah yang oleh para ulama disebut juga dengan ijtihad. Caranya, berpegang atas dasar berpikir dalam mengambil hukum (istinbath) syariat.
Merupakan salah satu asas fundamental Islam yang memberikan kebebasan berpikir dalam Islam berpengaruh besar dalam metode pebelajaran fikih bagi kaum Muslimin, memperbaharui analisa syariat bagi permasalahan yang tidak memungkinkan pandangan di masa awal permulaan Islam. Di masa awal Islam telah berkembang secara pesat madzhab-madzhab fikih Islam yang masyhur, terus-menerus tumbuh dan berkembang dalam dunia Islam yang metode pengajarannya berlaku sampai hari ini. Begitulah seorang Muslim berpegang pada kejelian akal dan pikirannya terhadap segala perkara-perkara sulit dari permasalahan agama dan dunia yang tidak terdapat sumber nashnya dari nash syariat, yaitu lebih mengokohkan pijakan akal yang begitu kuat dalam Islam. Ini pijakan yang kedudukannya sangat urgen, dibangun dan diletakkan oleh peradaban yang memesona dalam catatan tinta sejarah Islam (Disusun ulang dari Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Pustaka Al Kautsar, 2011)
Gerakan Mahasiswa & Kemerdekaan Berpikir
Sebagai gerakan mahasiswa Islam, HMI perlu bersikap. Islam sebagai agama yang bertumpu pada ilmu perlu dipahami sebagai jalan pencerahan. Penafsiran Islam harus dijadikan nafas pergerakan yang mendobrak kemapanan dan menjadi pemicu transformasi sosial, bukan menjerumuskan umat pada kepasrahan sementara penindasan struktural terus berlangsung. Konstruksi kebenaran juga tidak bisa dimonopoli dan dipaksakan oleh satu pihak atau golongan kepada lainnya. Oleh karena itu, forum-forum diskusi, gagasan kritis dan usaha menyebarkan pengetahuan harus terus dilakukan oleh gerakan mahasiswa.
Wacana Merdeka Berpikir mencoba menegaskan bahwa karunia terbesar manusia ialah akal. Oleh karena itu, aktivitas keilmuan, kebebasan berpikir dan berpendapat semestinya disikapi dengan dewasa. Gagasan semestinya ditandingi dengan gagasan, dan bukan dilibas dengan kekerasan. Jangan sampai ada penghalang bagi kita untuk mengakses pengetahuan yang lebih luas. Dengan proses tersebut kita berlatih untuk menjadi masyarakat yang adil dan gandrung pada pengetahuan serta kebenaran. Sebab, kebenaran yang sejati itu adalah hasil dari ikhtiar berpikir dan berusaha manusia yang semata-mata diperjuangkan untuk kemuktian diri dan bijaknya kehidupan manusia. Meski pada perjalanannya, berbagai perbedaan di antara manusia adalah tantangan sekaligus berkah yang harus dilewati.
Gerakan mahasiswa sebagai entitas akademis, sudah seharusnya bersikap pro-aktif dan menjadikan setiap elemen yang ada responsif menanggapi berbagai persoalan sekitar. Kemerdekaan berpikir pun adalah kunci bagi terciptanya pola berpikir yang revolusionis serta memiliki independensi yang kuat tanpa dipengaruhi oleh yang lain. HMI sebagai organisasi kader juga merasa perlu menciptakan iklim kemerdekaan berpikir di kalangan anggotanya, termasuk perihal menciptakan independensi dalam merespon berbagai masalah di sekitar.
***
Panitia Pelaksana Latihan Kader I
HMI Komisariat Fisipol UGM