oleh : Jarot Doso Purwanto
SAYA mengenal
Anas Urbaningrum sejak tiga belas tahun lalu. Ketika itu saya sebagai wartawan yang meliput kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Yogyakarta. Entah bagaimana awalnya, melihat Anas sebagai kandidat ketua umum PB HMI yang santun, intelek, tapi bermodal pas-pasan, tiba-tiba muncul solidaritas kalangan wartawan untuk membelanya dalam ajang kongres itu.
Sementara para pesaing Anas ada yang dibeking pengusaha, pejabat, bahkan sejumlah jenderal aktif Orde Baru. Mungkin karena sifat dasar wartawan yang gemar memihak “underdog” (mereka yang lemah atau tertindas), ditambah karakter perlawanan mereka terhadap rezim Orde Baru waktu itu, membuat hampir semua wartawan media massa berdiri di belakang Anas.
Paling tidak, ada tiga wartawan media cetak nasional yang bergabung, yang masih saya ingat namanya. Mereka adalah Elly Rosita dari Kompas, Sururi dari Jawa Pos, dan saya sendiri dari Republika. Di luar itu, masih ada dari Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Yogya Pos, Suara Pembaruan, dan sebagainya. Kebetulan saya dan Elly sama-sama pernah bergabung di HMI, sehingga terpanggil ikut menjaga HMI dari intervensi kekuatan luar yang terlalu jauh. Elly mantan Wakil Bendahara PB HMI, sementara saya pernah memimpin HMI Komisariat Fisipol UGM.
Bahkan, menjelang pemungutan suara untuk memilih ketua umum PB HMI yang baru, kami para wartawan berbagi tugas: sebagian melakukan pengawalan secara fisik terhadap Anas, guna mengantisipasi ancaman penculikan oleh tim sukses pesaing. Sisanya mengawasi segala kemungkinan yang bisa terjadi di ajang kongres. Dan kami bergerak atas inisiatif sendiri, tanpa dibayar atau diperintah oleh tim sukses Anas. Justru kadang-kadang tim sukses Anas yang mengikuti arahan dari tim wartawan.
Pengawalan dilakukan dengan cara Anas dipagar betis para wartawan di lokasi kongres. Bahkan ketika tidur pun, kami haruskan Anas berada di dalam lokasi kongres, dengan dikelilingi para kuli tinta. Ini kami lakukan karena kami yakin, pihak kompetitor Anas akan pikir-pikir dua kali jika berani menculik Anas secara terang-terangan di hadapan wartawan. Kami bersama-sama tidur di lantai keramik, di teras gedung tempat kongres, hanya beralas koran atau tanpa alas apa pun.
Maklum, kongres HMI sejak dulu dikenal acap berlangsung panas, sering dihiasi baku hantam, bahkan gelas dan kursi tak jarang beterbangan di ruang kongres. Termasuk adanya aksi sabotase atau menculik kandidat lain untuk sementara waktu, agar ia tidak bisa ikut pemilihan ketua umum dan otomatis tidak terpilih. Walhasil suasana kongres HMI di Yogyakarta waktu itu juga demikian, terutama menjelang pemilihan ketua umum PB HMI.
Sementara saya sendiri, akibat dianggap terlalu memihak Anas (padahal faktanya memang demikian hahaha), sampai-sampai kantor Republika biro Yogyakarta yang terletak persis di depan lokasi kongres beberapa kali didemo. Pelakunya siapa lagi jika bukan massa HMI pendukung saingan Anas. Bahkan nyaris saja perwakilan kantor saya itu akan dibakar massa. Gara-garanya, berita saya yang dimuatRepublika, menyebut Anas sebagai kandidat ketua umum PB HMI “yang semakin bersinar.”
Tambahan kata-kata yang beropini dan memihak Anas terang-terangan itu sebetulnya bukan ulah saya. Itu hasil perbuatan redaktur saya, seorang alumni HMI, yang juga mendukung Anas. Apa yang saya lakukan sendiri tidak sejauh itu, dan masih dalam batas-batas etika jurnalistik.
Tapi apa boleh buat, karena yang menambahkan redaksi dan tanpa memberi tahu saya sebelum naik cetak, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Meski akibatnya sayalah yang harus menanggung, karena dituduh sebagai wartawan yang “tulisannya beropini dan tidak netral”. Saya pun sejak itu harus main petak umpet dengan massa pendemo yang mencari-cari saya.
Namun, di luar urusan berita, waktu kongres HMI itu saya akui bahwa saya ikut berpolitik. Saya terus mendesak yunior saya di HMI Cabang Bulaksumur untuk konsisten mendukung Anas. Bahkan, bersama mereka, saya ikut aktif melobi pengurus cabang HMI lainnya untuk mendukung Anas.
Saya menyadari, hal itu seharusnya memang tidak boleh dilakukan kaum jurnalis yang mestinya netral. Hanya konteks perlawanan terhadap rezim otoriter Orde Barulah yang membuat saya bisa membenarkan tindakan saya itu.
Berusaha Dijegal
Sebagai kandidat ketua umum PB HMI, posisi Anas tidak diunggulkan kala itu. Beberapa cabang HMI yang sejak awal mengusungnya juga bukanlah cabang besar atau cabang utama. Seingat saya, pengusung awal Anas dulu adalah HMI Cabang Purwokerto, HMI Cabang Bulaksumur Sleman (UGM), dan HMI Cabang Solo. HMI Cabang Bulaksumur ini masih berusia muda, sebagai hasil pemekaran HMI Cabang Yogyakarta, sehingga belum begitu diperhitungkan.
Kekuatan Anas baru bertambah mantap ketika mendapat dukungan Saan Mustofa, yang seingat saya waktu itu Ketua HMI Badan Koordinasi (Badko) Jawa Barat. Saan Mustofa, kini anggota DPR RI, inilah yang sekarang menjadi juru bicara tim sukses Anas dan berhasil mengantarnya menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Hal ini seperti mengulang sukses sebelumnya. Karena pada 1997, Saan Mustofa dkk yang didukung kalangan wartawan, berhasil mendudukkan Anas sebagai Ketua Umum PB HMI. Tim sukses Anas lainnya waktu itu adalah
Dwiki Setiyawan, yang sekarang menjadi senior saya di
Kompasiana.
Dan, seperti ketika mencalonkan diri sebagai ketua umum PB HMI, posisi Anas sewaktu mencalonkan diri sebagai kandidat ketua umum Partai Demokrat sekarang pun tidak mendapat dukungan keluarga Cikeas, sehingga sempat tidak diunggulkan oleh para pengamat, alias dianggap “underdog”.
Nah, salah satu peristiwa dramatis yang selalu saya ingat dari ajang kongres HMI di Yogyakarta tersebut ialah adanya upaya cukup kasar untuk menjegal Anas. Hal ini terjadi tak lama setelah dimulainya penghitungan suara pemilihan ketua umum PB HMI. Ketika itu tiba-tiba saja listrik padam dan ruangan kongres gelap gulita.
Sejenak kemudian kami, para wartawan, yang berada di dekat kotak suara melihat sosok berkelebat mengambil kota suara dan membawanya lari ke arah belakang gedung. Suasana pun menjadi sangat gaduh. Kami ikut berteriak-teriak memprotes tanda-tanda kecurangan yang mencolok mata ini. Kami menduga, isi kotak suara telah dimanipulasi selama dibawa lari, dan hal itu sengaja dilakukan untuk menjegal Anas, karena Anas sementara terlihat unggul dalam penghitungan suara.
Para wartawan pun berembug. Saya, Elly, Sururi, mewakili tiga media nasional utama, sepakat akan memboikot atau mem-blackout liputan terhadap kongres HMI jika pemungutan suara untuk memilih ketua umum PB HMI tidak diulang. Para wartawan yang lain mendukung. Panitia pelaksana kongres pun keder juga menerima ancaman koalisi media massa. Pemungutan suara akhirnya diulang kembali, dan hasil akhirnya Anas menang dengan perbandingan suara yang jauh meninggalkan kompetitornya.
Begitulah sekelumit kisah saya tentang Anas sewaktu ia masih aktivis mahasiswa. Setelah itu, saya bertahun-tahun tidak bertemu dengan Anas, karena saya meninggalkan Jakarta dan pulang ke Yogya untuk meneruskan studi S2 di UGM. Beberapa waktu lalu, seusai Anas dilantik sebagai anggota DPR RI, saya tak sengaja bertemu lagi dengan sosok kalem itu di pintu lift Gedung Nusantara I DPR RI.
Syukurlah, meski sekian lama tidak bertemu, ternyata Anas masih ingat saya. Anas juga masih ramah seperti dulu, kendati sekarang ia menjadi anggota dewan, bahkan memimpin Fraksi Partai Demokrat, fraksi terbesar di DPR. Maka, setelah bertukar kabar sejenak, Anas berujar kepada saya, “Mampir ke ruangan saya, Mas,” katanya.
“Insya Allah,” jawab saya. Namun hingga sekarang saya belum sempat bersilaturahmi. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, saya bisa berkunjung ke ruangannya, memenuhi janji saya untuk bertandang. Sebab janji adalah utang.
Akhirulkalam, selamat Bung Anas Urbaningrum. Buktikan kaum muda mampu mengawal masa depan bangsa! []