Rabu, 16 November 2011

Opor Rasa Demokrasi

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN No comments

Oleh : Niccolo Attar


Bagi mahasiswa, praktek berdemokrasi ternyata tidak hanya dapat diperoleh melalui Pemira, atau bagi kader HMI tidak hanya melalui RAK atau Konfercab. Dalam hal memasak ternyata kita juga bisa belajar berdemokrasi. Setidaknya itulah yang terjadi malam minggu sebelum Idul Adha 2011 di sekretariat HMI. Sebenarnya memasak merupakan kegiatan yang biasa (buat yang biasa masak). Namun di HMI kegiatan memasak menjadi ajang pertarungan ide-ide dan kelompok kepentingan. HMI memang dikenal sebagai organisasi yang kental suasana politisnya. Banyak tokoh partai politik nasional yang dulunya merupakan kader HMI. Tidak mengherankan jika kegiatan memasak pun dikaitkan dengan politisasi.

Kejadiaannya bermula ketika anak-anak sekre HMI yang hampir semua jomblo berniat memasak opor ayam dan sambal ketang untuk disantap saat Idul Adha. Bahan-bahan memasak sudah disiapkan sejak sore hari. Berbekal resep yang entah dari mana asalnya dibantu google untuk memastikan validitas resepnya, kegiatan memasak pun dimulai.
Hampir semua anggota yang ada di sekre yakni Angga, Dede, Pandu, Vebi, Yoga, Agung, dan Intan lalu disusul Uci yang baru selesai pacaran (kayaknya Cuma dia yang punya pacar.Penting g sih?) bahu membahu mempersiapkan bahan, mulai dari mencuci, mengupas, mengulek, memarut sampai memasak. Saya sendiri mengambil peran mengupas bawang, kentang, kelapa parut, dan meracik bumbu. Biar lebih praktis sebenarnya bisa aja beli bumbu jadi atau yang instan-instan apalagi tidak ada yang bisa masak. Tapi ada yang bilang “kurang esensinya” (siapa ya?).
Semua berjalan tenang tanpa “gejolak” yang berarti. Sebenarnya saya sudah agak ribut sewaktu memasak sambal kentang. Uci “bereksperimen” menggarami kentangnya sebelum digoreng. Menurut saya kentangnya nggak usah digarami, nanti hasilnya keasinan, karena bumbunya juga sudah diberi garam. Benar saja, masakannya keasinan di kentangnya dan kepedasan di bumbunya (ini karena saran buat nambah cabe rawit.Siapa ya?).
Kericuhan baru terjadi ketika mulai memasak opor. Pertama karena bingung tidak ada saringan buat meras santan. Semua yang ada di dapur sahut-sahutan memberi usul, ada yang usul pake tissu (Pandu), ada yang usul pake alat buat nyaring minyak (halagh lupa namanya. Agung), ada yang usul pake kaos sisa seminar (itu saya). Usul saya ditentang, jorok katanya (ya, kan gal apa2, yang lain kan g tau, hehe). Semua ribut dengan segala argumentasinya masing-masing. Akhirnya Dede Chairuddin Fahmi dan Tri Suci Kamalian duet Abang-adik pemarut dan pemeras santan memutuskan memilih penyaring minyak walau lubangnya agak besar. Mereka bekerja sambil saling curhat masalah keluarga dan menjadi tontonan. Masalah santan pun selesai, walaupun saya heran, kenapa santan kental dan encer dipisah ya? Padahal kalo dah masuk panci ya sama aja jadinya (tanya uci).
Anak-anak sebenarnya sudah agak kesel sama saya karena cerewet dan banyak komentar. Saya dianggap “menghegemoni” acara memasak bersama. Ada yang bilang saya berisik dan cerewet (siapa ya?). Bahkan memberi gelar sebagai “quality control” (siapa ya?). Biarlah, saya menganut pepatah “anjing menggonggong, masak jalan terus”.
Perdebatan terakhir pada teknik memasak opor, diresep tertulis kalo ayamnya digoreng dulu setengah matang. Tapi saya tidak pernah makan opor yang ayamnya digoreng dulu. Uci paling ngotot kalo ayamnya harus digoreng dulu. Saya sendiri juga ngotot kalo ayamnya g usah digoreng dulu. Perdebatan berlangsung seru. Semua ambil suara. Ada yang bingung, ada yang cari alternatif lain. Angga misalnya menelpon salah seorang senior perempuan mencari kepastian. Karena tidak tercapai titik temu akhirnya ada yang bercanda mengusulkan voting. Sambil terus ngotot dan menghegemoni saya juga setuju kalo harus voting. Akhirnya opor dimasak tanpa menggoreng ayam terlebih dahulu. Wacana voting terus menjadi andalan. Bahkan ketika memutuskan mau diapakan potongan ayam yang tidak muat masuk panci. Mau direbus, digoreng, dikukus, atau diformalin. Karena jika tidak diapa-apain besok pasti sudah busuk.
Begitu deh akhirnya kalo orang-orang yang tidak terbiasa masak berkumpul dan mulai memasak. Apalagi di HMI, semua dipolitisasi sampai harus ada mekanisme voting segala. Seru dan lucu pokoknya.
Besok paginya selepas salat Ied Pandu mencoba masak opor lagi. Kali ini dengan bumbu yang sudah jadi. Mungkin dia masih penasaran sama masak memasak. Tapi ketika dihidangkan ternyata Opor hasil kekisruhan dan voting lebih diminati. Opor rasa Demokrasi (dari anggota HMI, oleh anggota HMI, dan untuk anggota HMI)memang beda sih rasanya dengan opor bumbu jadi, “Esensi”nya dapet banget (apaan sih?).

Sumber : http://tgkattar.wordpress.com/2011/11/08/opor-rasa-demokrasi/

0 komentar:

Posting Komentar