Kita semua punya ekspektasi besar untuk Bumi Pertiwi dalam kehidupannya hari ini, juga untuk masa depannya. Kita semua berharap bahwa suatu hari nanti, Indonesia yang baik akan sungguh-sungguh bersemi dan membuktikan bahwa dirinya sama sekali bukan sekedar bualan aparatur negeri Kita bisa bermimpi tentang apa saja bagi bangsa Indonesia agar negeri ini bisa kita sebut sebagai Indonesia yang berdaulat bebas dari intervensi, bukan sebagai tirani. Kita mungkin membayangkan sebuah Indonesia yang seluruh rakyatnya bebas dari kemiskinan dan rasa lapar. Kita mungkin bisa membayangkan sebuah Indonesia yang seluruh rakyatnya bisa bebas menikmati air dan udara yang segar. Kita mungkin membayangkan sebuah Indonesia dimana seluruh rakyatnya bisa melangsungkan hidupnya secara nyaman dan tentram tanpa khawatir digusur sewaktu-waktu.
Akhir-akhir ini kita disuguhi potret pilu kekerasan konflik agraria antara masyarakat petani pedesaan dengan pemilik modal (perkebunan dan tambang) serta Negara beserta aparatur keamanannya. Kita juga sering mendengar terkait konflik agraria yang menyeruak diberbagai media. Jika kita melihat akar rumput dan sejarahnya tentu konflik agraria bukanlah hal baru didalam era reformasi ini. sepanjang sejarah bangsa ini, konflik agraria ini memang selalu menjadi gunjingan yang legit untuk diperbincangkan bagi khalayak umum. Konflik agraria ini di Indonesia atau lebih tepatnya Hindia Belanda mulai muncul di era pemerintahan kolonial. Saat itu kebijakan pemerintah kolonial dibuat untuk mengeksploitasi besar-besaran sumber agraria untuk kepentingan negara kolonial. Akibatnya terjadi penyingkiran rakyat dimana-mana dari tanah-tanah yang mereka garap sebagai sumber hidup mereka [1]. Setelah itu paska kemerdekaan konflik agraria mulai menjamur dan menyeruak dimana-mana seperti halnya kasus konflik Agraria di Cilegon Banten (1988), Cimacan Bandung (1989), Jenggawah Jember (1995) hingga yang terbaru-baru ini seperti kasus Rembang, Urut Sewu dan Salim Kancil di Lumajang
Mengenal Sedikit Banyak Tentang Konflik Agraria dan Perspektif.
Apa sih yang terbayang dibenak kita jika mendengar konflik agraria? Mengacu pada dua teori marxis dan pluralisme hukum. Teori Marxis menyatakan bahwa konflik agraria terjadi akibat perkembangan ekonomi kapitalis yang mengakibatkan penduduk terlempar dari tanahnya (tesis ploretarisasi). Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tanah atau yang tanahnya dirampas kepada kapitalis. Negara ditempatkan sebagai instrumen kapitalis. Di pihak lain, Teori Pluralisme Hukum memandang konflik agraria terjadi akibat adanya lebih dari satu hukum yang kontradiktif yang dipakai oleh berbagai pi hak, terutama hukum adat dan hukum negara. Hukum negara dipahami memberikan kekuatan kepada negara untuk mendelegitimasi hak-hak komunitas lokal, sementara komuniats lokal menggunakan hukum adat untuk membenarkan hak-hak mereka (Benda-Beckmann & Benda-Beckmann, 1999:6, Ruwiyastuti, 1997, Biezeveld, 2001). Secara umumn konflik agraria adalah suatu proses interaksi yang melibatkan dua orang aktor (lebih) atau kelompok yang saling bertentangan guna memperjuangkan kepentingan mereka atas objek yang sama, yaitu tanah, apa yang ada di dalam tanah itu, maupun udara yang ada di atas tanah itu[2]. Perebutan atas sumber daya ini biasanya memakan waktu yang tidak singkat, penyelesaiiannya pun harus melalui perdebatan yang alot dan tarik menarik kepetingan. Bahkan tidak jarang konflik yang terjadi jadinya juga melibatkan pemerintah di dalamnya. Pada dasarnya, sumber konflik agraria adalah adanya ketidakadilan ataupun ketimpangan dalam pemanfaatan sumber-sumber agraria. Menurut Wiradi Gunawan, di Indonesia sendiri ada tiga macam ketimpangan yang dapat memicu hal tersebut, salah satunya adalah ketimpangan dalam hal ‘peruntukan’ tanah[3]. Ketimpangan ini berkaitan erat dengan berubahnya fungsi lahan-lahan yang ada. Yang paling sering memicu konflik adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Untuk kasus yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan dimana peran negara dalam menangani konflik-konflik Agraria
Konflik Agraria Mengacu pada Data Konsorsium Pembaruan Agraria
Data yang terekam Konsorsium Pembaruan Agraria, dalam 2014 sedikitnya terjadi 472 konflik dengan luas mencapai 2.860.977 hektar. Konflik ini melibatkan sekitar 105.887 keluarga. Dari jumlah itu, konflik agraria menyangkut infrastruktur terkait MP3EI sekitar 1.215 (45,55%). Disusul perkebunan 185 kasus (39,19%), sektor kehutanan 27 kasus (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan 12 (2,97%), perairan dan kelautan empat kasus (0,85%, dan lain-lain tuh konflik (1,48%). Jika dibandingkan dengan 2013, terjadi peningkatan sebanyak 103 kasus (27,95). Catatan KPA, periode 2004-2014, terjadi 1.520 konflik, dengan luasan 6.541.951 hektar, melibatkan 977.103 keluarga. Jika dilihat dari luasan konflik, perikanan dan kelautan mencapai 1.548.150 hektar (54,1%), perkebunan 924,740 ribu hektar (32,32%), dan kehutanan 271,544 ribu hektar (9,49%). Lalu, infrastruktur 74,405 ribu hektar (2,6%), pertanian 23.942 hektar (0,8%), lain-lain 11.242 hektar (0,39%) dan pertambangan 6.963 hektar (0,2%). Dibanding 2013, terjadi peningkatan 123% atau sebesar 1.579.316 hektar. “Perikanan dan kelautan terbesar karena perebutan konsesi migas dan perbatasan antara negara (Malaysia dan Indonesia).”[4]
Konflik agraria dan penguasaan sumberdaya alam tidak hanya mengakibatkan tanah yang menjadi tumpuan hidup petani “terampas”. Disamping itu, kadang kala terjadi kriminalisasi dan pengalihan isu yang cenderung menggunakan pendekatan kekerasan. Sementara pemerintah seakan-akan berpangku tangan dan lambat merespons untuk upaya penyelesaian. Dalam banyak kasus, konflik agraria ini berujung pada ekslusi atau penyingkiran terhadap rakyat, terutama petani dan masyarakat adat, dari alat-alat produksi, sumber daya, dan ruang kehidupan. Yang perlu dilihat, pertama, ada korelasi antara peningkatan jumlah kasus konflik agraria dengan kebijakan ekonomi pemerintah yang mengarah ke liberalisasi ekonomi, termasuk sektor agraria. Data KPA menyebutkan, sebagian besar konflik agraria di Indonesia meletus di sektor perkebunan, infrastruktur, pertambangan, dan kehutanan. Di sisi lain, seiring dengan kebijakan liberalisasi investasi, jumlah kapital yang berduyung-duyung masuk ke sektor tersebut juga banyak. Di tahun 2013, misalnya, PMA paling banyak jatuh ke sektor pertambangan, yakni 20,7% (BKPM, 2013). Selain itu, ekspansi kapital yang sangat massif, terutama yang berbasiskan eksploitasi sumber daya alam, membutuhkan penguasaan atas tanah dan ruang yang mengandung kekayaan alam (mineral, hutan, minyak, gas, batubara, dll). Inilah yang mendorong penyingkiran terhadap terhadap penduduk yang mendiami atau sedang berusaha di atas tanah/teritori tersebut. Di sini, pemerintah memainkan dua peran dominan. Satu, menyiapkan regulasi yang meliberalkan penguasaan terhadap tanah dan sumber daya tersebut. Dua, memberikan jaminan keamanan bagi ekspansi kapital itu, termasuk membantu penyingkiran penduduk di atas tanah atau ruang yang hendak dicaplok oleh investor. Ini terbukti dengan pelibatan TNI/Polri dalam penanganan konflik agraria. Kedua, konflik agraria ini juga mencerminkan menajamnya ketidakadilan agraria di Indonesia. Indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,72 (Khudori, 2013). Selain itu, BPN juga mengungkapkan, hanya 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 persen aset nasional yang sebagian besar dalam bentuk tanah. Sementara 85% rumah tangga petani di Indonesia adalah petani gurem dan petani tak bertanah. Ditambah lagi, seiring dengan liberalisasi sektor agraria, terjadi praktek penjungkir-balikkan, penghancuran, dan penghilangan hak-hak milik bersama dan atau hak-hak untuk menggunakan secara adat atas tanah atau sumber daya alam. Juga penciptaan payung hukum yang memungkinkan swasta/korporasi bisa memonopoli kepemilikan tanah yang luas. Karena itu, saya kira, penyelesaian konflik agraria tidak akan mungkin efektif jika tidak menyentuh langsung ke akar persoalan. Maksudnya, penyelesaian konflik agraria harus koheren dengan langkah mengubah model kebijakan ekonomi saat ini, termasuk di sektor agraria. Jadi, pembentukan Panitia Ad-hoc saja belum cukup. Pembentukan Panitia Ad-Hoc, bila tidak disertai dengan upaya mengubah kebijakan ekonominya, justru akan menjadi alat kanalisasi terhadap radikalisasi petani dalam memperjuangkan haknya atas tanah. Dari runtutan peristiwa diatas dapat diambil benang merahnya bahwa potret kebijakan yang menjadi pilihan pemerintahan dari waktu ke waktu masih saja memiliki wajah yang kapitalistik, berpihak pada usaha pemanfaatan atau eksploitasi skala besar dan melupakan keberadaan rakyat yang hidup miskin di tengah kekayaan yang dieksploitasi tanpa sedikitpun memberikan manfaat bagi kehidupan mereka yang hidup didalam atau di sekitar sumber daya tersebut.[5] Sementara itu keadilan agraria jelas merupakan mandat UUD 1945, tegasnya dalam Pasal 33 UUD 1945, yang implementasinya sudah diatur di dalam Peraturan Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Sekilas salah satu potret konflik agraria di Indonesia ini “diTanah Bumi Pertiwi, Nyawa tak Semahal Tambang yang Beroperasi”
Salim adalah salah satu dari jutaan keluarga petani di Indonesia hari ini yang terampas haknya dan terenggut jiwanya. Salim seorang petani biasa yang meyakini bahwa tambang di desanya hanya membawa petaka. Keyakinan ini berujung malapetaka baginya. Keyakinan yang membuat dia teraniaya. salim dianiaya mirip dengan binatang: didatangi oleh rombongan preman bermotor yang membawa senjata: Pentungan, cangkul, clurit hingga batu. Matahari jadi saksi bisu kebiadaban itu. Salim yang babak belur tapi tak banyak luka itu akhirnya diseret ke dekat makam. Kesal karena seolah Salim kebal, penganiaya ambil batu. Di sana kepalanya dipukuli berkali-kali dengan batu. Berulang-ulang hingga roboh dan bermandi darah. Salim wafat tercabik-cabik dengan batu serta kayu di sekucur tubuhnya Negara yang seharusnya menjaga, memelihara dan melindungi keamanan warganya, dalam pembantaian tersebut, Negara absen seolah-olah tutup mata atas kejadian biadab tersebut. Jika bandingkan dengan progresivitas perkembangan tambang Batu bara Indonesia 10 tahun terakhir mengalami tingkat pengurasan salah satu yang tertinggi di dunia. Indonesia menguras batu baranya lebih tinggi dari Australia yang memiliki cadangan batu bara lebih banyak ketimbang Indonesia. Batu bara Indonesia salah satunya diekspor ke China, dan China adalah salah satu negara yang memiliki cadangan batu bara terbesar di dunia. Bauksit yang harus dimurnikan ke luar negeri menjadi alumina, lalu alumina-nya dijual kembali ke Indonesia dengan harga mahal. Alumina diolah menjadi aluminium ingot dalam negeri tapi dijual ke satu negara dengan kontrak jangka panjang yang tidak terlalu profitable bagi pendapatan negara. Apakah Negara justru memberikan legitimasi bagi para kapital untuk mengkooptasi sumber daya termasuk tambang? Apa yang kita lihat justru negara dan para pemodal dibeking pria-pria gagah berbintang kian marak, pengadilan sebagai buntut terakhir dalam menyelesaikan masalah justru juga ikut memenjarakan orang-orang yang mengusik kenyamanan investor. Apa hasil kebun dan tambang selama era harga komoditas tinggi? Sumbangsih ke negara memang ada. Tapi menyisakan banyak persoalan dengan kerusakan ekologis, konflik agraria, dan strategi hilirasi yang entah kapan selesainya. Dalam program kerjanya kini pemerintah akan membangun infrastruktur. Tidak main-main, pemerintah canangkan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW, satu juta rumah per tahun, 47-49 bendungan besar, pelabuhan, industri galangan kapal, rel kereta di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua. Setidaknya seluruh proyek infrastruktur akan menelan ribuan triliun hingga melebihi kapasitas dalam APBN. Jumlah yang tidak sedikit, sementara ruang gerak fiskal dan kemampuan perbankan nasional sangat terbatas. (K.Dirgantoro:2015) Sebagai contoh, bendungan besar yang memakan biaya Rp5-7 triliun per unit. Digunakan untuk sawah penghasil padi. Untuk apa membuat demikian banyak atas nama swasembada beras? Apakah setelah semua bendungan terbangun, output pertanian yang dihasilkan dan dikoleksi pemerintah, sanggup membayar cicilan bendungan? Membangun kereta api di Kalimantan, berapa investasi lahannya, Siapa penggunanya? Orang Kalimantan-kah? Atau jalur kereta yang digunakan untuk mengangkut batu bara dan hasil kebun milik konglomerasi ke pelabuhan atas nama efisiensi, siapa yang sungguh mendapat manfaatnya? Siapa yang untung besar atas pembebasan lahan, mulai dari proses rincikan hingga penentuan harga? Rakyatkah? Konglomerasi kebun sawit, dan tambang berbagai macam mineral, dibantu dengan upaya negara membangun infrastruktur adalah suatu langkah bernyali untuk kemajuan negeri. Tapi apakah negara siap senantiasa hadir untuk menegakkan hukum, melindungi hak warganya, mencari jalan tengah agar tak terjadi konflik yang kian hari berpotensi kian tajam? Tragedi Salim adalah satu dari sekian banyaknya contoh betapa negara absen melindungi rakyatnya. Salim Kancil berdiri tegak menampar kekuasaan yang congkak, walau risiko yang mereka terima sungguh berat. Mereka hanya petani di ujung daerah yang mungkin kita tak pernah kenali. Hanya ingin mempertahankan sejengkal lahan. Hidup atau mati. Apakah Negara masih buta terhadap penindasan dan ketidak adilan yang muaranya berasal dari konflik agraria? Apakah negara masih tuli terhadap seruan aspirasi masyarakat yang tertindas haknya? Dan akan berapa banyak Salim lagi yang akan terenggut jiwanya demi sebuah pertumbuhan ekonomi makro? Disini saya bukan benci terhadap pemerintahan Disini saya juga bukan tidak percaya ataupun skeptis terhadap kinerja pemerintah beserta aparatur negerinya Tapi, ini adalah wujud cinta dan kasih sayang kami terhadap pemerintah bahwa negara beserta aparatur negaranya seharusnya menjaga, memelihara, mengayomi, memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak warganya yang tertindas
Ditulis oleh Sri Bintang Pamungkas
(Mahasiswa Departemen Politik & Pemerintahan Fisipol UGM 2014, Kader HMI Fisipol UGM)
Daftar Pustaka
-Benda-Beckmann, Von, F.& Von K. Benda -Beckmann, “Social Security, Natural Resources Management And Legal Complexity,” makalah dalam Seminar on Legal Complexity, Natural Resources Management and Social Security, Padang, 6 -9 November 1999.
-Biezeveld, R., “Nagari, Negara dan Tanah Komunal di Sumater a Barat, “ dalam Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
-Ekslusi” dalam bahasa Hall, Hirsch and Li. “The Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia”. Honolulu: The University of Hawaii, 2011
-Nancy Lee Peluso, Rich Forest Poor People: Resource Control and Resistance in Java.Berkeley: University of California Press, 1992
-Ruwiastuti, R., M., Sesat Pikir: Politik Hukum Agraria, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
-Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000
[1] Ekslusi” dalam bahasa Hall, Hirsch and Li, 2011. “The Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia”. Honolulu: The University of Hawaii, hlm. 34 [2] Hoult dalam Gunawan Wiradi “Reforma Agraria: perjalanan yang belum berakhir” hlm. 85 [3] Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Jakarta: Pustaka Pelajar hal. 87 [4] dikutip dari Iwan Nurdin, Sekjen KPA kala diskusi Catatan Akhir Tahun 2014 di Jakarta, Selasa (23/12/14). [5] Sebuah ironi diperlihatkan dalam buku Nancy Lee Peluso,1992, Rich Forest Poor People: Resource Control and Resistance in Java.Berkeley: University of California Press. Dalam buku ini Peluso menyebutkann bahwa konflik dan kemiskinan mengitari keberadaan sumber-sumber daya alam (dalam bukunya secara khusus membahas tentang kekayaan sumber daya hutan) yang kaya namun dieksploitasi tidak untuk memakmurkan.
sumber foto : http://regional.liputan6.com/read/2531516/tuntutan-keluarga-salim-kancil-utang-beras-bayar-beras#
0 komentar:
Posting Komentar