Faizal Akbar
[Ketua Umum Hmi
Komisariat FISIPOL UGM]
UU
Pendidikan Tinggi menjadi dasar dari sistem penyelenggaraan perguruan tinggi
(PT) di Indonesia setelah disahkan oleh DPR pada 13 Juli 2012. Kemudian
mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi mengajukan uji materi terhadap UU No
12 Tahun 2012 tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya MK memutuskan
untuk menolak judicial review terhadap UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi pada Mei 2014 dengan dasar bahwa UU tersebut tidak bertentangan dengan
UUD 1945.
PT juga diberi kekuasaan untuk memenuhi
kebutuhan dananya secara mandiri. Dari mana PT dapat memenuhi kebutuhan dananya
selain dari mahasiswa sendiri? Kalaupun ada peluang lain, itu tidak akan
mencukupi kebutuhan operasionalisasi PT yang cukup besar. Alhasil biaya kuliah
pun akan semakin tinggi dan masyarakat kurang mampu akan kesulitan mengakses
pendidikan tinggi.
Di sini terjadi suatu fenomena yang berbanding terbalik
antara amanat UUD 1945 dengan sistem pendidikan tinggi kita. Kedua, UU Dikti
mengatakan bahwa masyarakat tidak mampu terjamin untuk dapat menikmati
pendidikan tinggi. Caranya, pertama, UU Dikti mengalokasikan kuota 20% untuk
mahasiswa tidak mampu.
Kedua agar tidak ada mahasiswa yang gagal untuk melanjutkan kuliah karena kekurangan biaya, diterapkanlah Badan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). BOPTN merupakan bantuan pemerintah terhadap perguruan tinggi negeri untuk membiayai kekurangan operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan SPP. Namun yang terjadi adalah kebalikannya.
Kedua agar tidak ada mahasiswa yang gagal untuk melanjutkan kuliah karena kekurangan biaya, diterapkanlah Badan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). BOPTN merupakan bantuan pemerintah terhadap perguruan tinggi negeri untuk membiayai kekurangan operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan SPP. Namun yang terjadi adalah kebalikannya.
Justru dengan status perguruan tinggi yang menjadi badan
hukum milik negara (BHMN) telah terjadi pemisahan keuangan negara dengan
perguruan tinggi. Hal tersebut mengarahkan PT menjadi lahan privatisasi dan
liberalisasi.
PT melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan laba minimal
menutup biaya operasionalisasi pendidikan dengan cara meningkatkan biaya kuliah
melalui berbagai variannya seperti beragamnya ujian masuk, penetapan penerima
UKT yang dirasa belum adil, dan kuota 20% mahasiswa kurang mampu yang terdengar
hanya pemanis saja.
Paradoks tersebut adalah sedikit dari banyaknya paradoks
sistem pendidikan kita dan ini menuntut peran mahasiswa sebagai minoritas
beruntung untuk memperbaiki keadaan sesuai dengan cita-cita mencerdaskan
kehidupan bangsa.
*) Tulisan ini pernah dimuat di Poros
Mahasiswa, Harian KoranSindo, 11 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar