Rabu, 01 Juni 2016

Pancasila dan Kemanusiaan Kita

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , , 2 comments


Tanggal 1 Juni 1945, seorang insinyur alumnus THS Bandung menyampaikan sebuah pidato tentang rumusan dasar negara untuk negaranya yang rencananya akan merdeka tidak lama setelah itu. Insinyur itu bernama Soekarno, negara yang akan merdeka tersebut bernama Indonesia, dan pidato itu oleh dr Radjiman Widyodiningrat (Ketua Badan Usaha-Usaha Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia) disebut dengan Lahirnya Pancasila. Bila diukur dengan standar usia manusia maka pantaslah kita sebut Pancasila ini sudah sangat dewasa, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pancasila yang sudah sedewasa itu sudah menjadi kepribadian kita, orang-orang yang menggaku berbangsa satu, bangsa Indonesia?. 
Sebelum tulisan ini dilanjutkan, ada satu hal yang ingin saya tegaskan kepada anda bahwa jika anda menganggap Pancasila itu sakral maka saya tidak bermaksud menjadikan kesakralannya untuk melegitimasi kesimpulan-kesimpulan yang akan saya buat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Soeharto dengan P4-nya bahwa siapa saja yang anti terhadap dirinya maka dapat juga dianggap sebagai anti Pancasila. Artinya anda boleh tidak setuju dengan saya, bahkan perlu untuk tidak setuju dengan saya. Lagipula saya tidak akan membahas Pancasila secara mendalam dikarenakan keterbatasan pengetahuan saya dan deadline paper UAS yang begitu banyak. Saya hanya akan menitikberatkan satu poin dari Pancasila yang menurut saya sangat penting untuk dibahas karena pada poin inilah krisis sedang terjadi. Poin tersebut adalah sila ke-2 “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Sederhananya, KEMANUSIAAN adalah tentang nilai-nilai yang dianut oleh manusia dalam kaitan hubungannya dengan sesama manusia, seperti toleransi, welas-asih, cinta-kasih, tolong-menolong, gotong-royong, mendahulukan kepentingan umum, dan banyak lainnya. Semua nilai-nilai itu adalah antara manusia dengan manusia. Lalu untuk apa sebenarnya kemanusian ini ada dalam Pancasila? Setidaknya ada satu hal yang sangat penting mengapa Pancasila harus memuat sila tentang kemanusiaan. Para pendiri bangsa kita ingin agar nasionalisme bangsa ini tidak melangkah lebih jauh menjadi fasisme dan chauvinisme, karena apabila hal itu terjadi dengan sendirinya kita telah menciptakan suatu berhala yang akan selalu mempengaruhi kesadaran dan rasionalitas kita sehingga ia tidak mampu keluar dari batas-batas kebangsaan, berhala tersebut pantas kita beri nama “berhala nasionalisme sempit”. Slogan militeris seperti “NKRI Harga Mati” dan slogan konsumeris “Damn, I Love Indonesia” (Agak unik karena cinta Indonesia tapi tidak menggunakan bahasa Indonesia) serta sikap penolakan bangsa ini (kecuali warga Aceh) pada para pengungsi Rohingnya dari Myanmar tahun lalu adalah bukti bahwa bangsa ini sedang terjangkit krisis kosmopolitanisme dan kemanusiaan serta sedang melakukan pemberhalaan, dan berhala itu bernama nasionalisme sempit. Hal ini menjadi ironis mengingat Soekarno pernah berkata “Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia.. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada ‘menselijkheid’. Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan, begitulah Gandhi berkata, Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru yang kami sebut: sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah demokrasi yang kami sebutkan: sosio-demokrasi”. Lebih jelas lagi beliau berkata bahwa landasan nilai yang menjadi inti dari nasionalisme Indonesia, yakni kemanusiaan, dalam pernyataan berikut ini:
Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka. Nasionalis yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti. Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.” (Soekarno, 1964).
Soekarno menegaskan bahwasanya nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang berkarakter chauvinis seperti halnya nasionalisme yang digembor-gemborkan Nazi-Hitler atau Mussolini di Eropa serta Hideki Tojo di Jepang. Hal ini ditegaskan kembali oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan BPUPKI, ketika ia menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia harus hidup dalam ‘tamansari’nya internasionalisme, yang ironisnya diartikan sangat sempit dengan slogan “NKRI Harga Mati” oleh bangsa yang dia bangun bersama para pendiri bangsa lainnya (http://www.berdikarionline.com/nasionalisme-ala-soekarno/).
Jika pemberhalaan terhadap nasionalisme sempit terus dilakukan maka akan terjadi adalah banalitas nasionalisme seperti yang dilakukan oleh Adolf Eichmann yang tertulis dalam karya Hanah Arendt Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil. 11 Mei 1960 anggota intel Israel menangkap Adolf Eichmann, seorang tentara Nazi yang melarikan diri di Argentina. Ia dibawa ke Israel untuk diadili atas kejahatannya selama perang dunia kedua terkait dengan pembunuhan orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Tugas utamanya sebagai prajurit adalah mengatur transportasi jutaan orang Yahudi dari seluruh Eropa ke dalam kamp-kamp konsentrasi buatan Nazi. Dan dalam hal ini, ia menjalankan tugasnya dengan amat baik. Setelah perang usai ia pergi ke Argentina, dan hidup sebagai orang biasa dengan identitas palsu. Konon pemerintah setempat mengetahui hal ini, dan tetap bersikap diam. Pemerintah Israel tidak berhasil melakukan perundingan terkait dengan extradisi tahanan dari Argentina. Intel mereka pun bermain. Setelah Eichmann sampai Israel, pemerintah Israel membuka sebuah sidang publik yang bersifat terbuka. Ketika diminta memberikan pendapat tentang persidangan ini, David Ben-Gurion, perdana menteri Israel pada masa itu, berpendapat, bahwa sidang terbuka ini untuk menarik perhatian dunia pada “peristiwa yang paling tragis di dalam sejarah kami, fakta paling tragis di dalam sejarah manusia.”(https://rumahfilsafat.com/2011/12/26/hannah-arendt-banalitas-kejahatan-dan-situasi-indonesia/)
Hanah Arendt yang mengetahui hal tersebut kemudian mengajukan diri sebagai koresponden dalam persidangan tersebut. Ketika mendarat di Yerusalem, Arendt begitu kaget, karena ternyata Eichmann, pelaku kejam kejahatan terhadap kemanusiaan selama perang dunia kedua, adalah orang biasa yang sama sekali tak tampak kejam. Sebaliknya ia adalah “warga negara yang patuh pada hukum. Tidak ada tanda-tanda kejahatan di dalam dirinya. Ia hanya menjawab dengan pernyataan-pernyataan baik yang normatif. Rupanya seperti ditulis oleh Benhabib, pikiran yang kejam tidak diperlukan untuk melakukan suatu kejahatan yang brutal. Kejahatan yang brutal bisa mengambil rupa wajah orang baik-baik, orang-orang biasa (Benhabib, 2000).
Apa yang dilakukan oleh Eichmann, oleh Arendt disebut dengan banalitas dari suatu kejahatan. Yakni suatu situasi, dimana kejahatan tidak lagi dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar. Argumen ini ia dapatkan dari pengamatannya terhadap orang-orang Jerman biasa, yang tidak memiliki pikiran jahat, namun mampu berpartisipasi aktif di dalam suatu tindak kejahatan brutal. Eichmann adalah seorang perwira militer yang patuh. Dan sikap patuh di dalam militer adalah suatu keutamaan, bukan kejahatan. Ia tidak akan pernah berkhianat atau bahkan membunuh orang lain demi memuaskan kepentingan pribadinya. Bahkan menurut Arendt sebagai seorang perwira militer, Eichmann sama sekali tidak sadar tentang akibat dari tindakan patuhnya tersebut (Benhabib, 2000). Dan jika pemberhalaan pada nasionalisme sempit tidak dihentikan maka di Indonesia akan lahir Eichmann-Eichmann baru.
Selain nasionalisme sempit, tindakan tidak manusiawi lainnya yang artinya tidak sesuai Pancasila dapat anda temukan dalam kehidupan berorganisasi sehari-hari. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa anggota-anggota dari sebuah gerakan atau organisasi mahasiswa harus mematuhi Presidennya, Ketuanya, Pimpinannya, dan Seniornya dalam hal apapun mulai dari buku apa yang harus mereka baca dalam acara-acara diskusi mereka sampai hari-hari tertentu dimana mereka harus memakai korsa. Bagi mereka yang berbeda pendapat dengan sikap para pemimpin “Neraka Dunia” pun sudah disiapkan dalam berbagai bentuk mulai dari tidak dianggap, diasingan, dikucilan, dan dikeluarkan dari organisasi atau gerakan. Orang-orang yang berbeda tersebut seakan-akan ahli bidah, orang murtad, bahkan orang kafir yang harus diperangi dan dibasmi. Kalau dilihat secara sungguh-sungguh, memang organisasi mahasiswa dalam praktiknya memang sangat elitis. Keputusan organisasi diputuskan melalui rapat yang menurut insting suudzon saya memang sengaja didesain untuk diikuti oleh segelintir elit yang mempunyai embel-embel jabatan Presiden, Menteri, Pimpinan, Ketua, Kepala Divisi, Kepala Departemen, Anggota Senat atau apapun namanya yang kemudian keputusan hasil rapat tersebut harus dilaksanakan oleh seluruh anggota organisasi bahkan yang tidak merasa diwakili oleh orang-orang tersebut. Sungguh tidak manusiawi (yang sekaligus tidak Pancasilais karena Pancasila berdasarkan kemanusiaan) bukan? Lalu bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjadi manusia pancasilais? Sudahkah kita menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya?
Oleh : Dendy Raditya Atmosuwito (Kader HMI Komisariat Fisipol UGM, Mahasiswa Manajemen & Kebijakan Publik Fisipol UGM, 2014)

2 komentar: