Pada Jumat, 29 Juni
2016 kami anggota HMI komisariat Fisipol UGM mengadakan diskusi melalui media sosial Line. Diskusi ini
diadakan atas respon kami melihat fenomena reshuffle kabinet kerja Presiden
Jokowi Jilid II. Pada awalnya kami memperhatikan reshuflle kali ini secara umum--adanya
manuver politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi yang seolah-olah ingin
mengamankan jalannya roda pemerintahan. Masuknya nama-nama baru dalam kursi menteri adalah cara presiden untuk
mengamankan kegaduhan dalam pemerintahan. Stabilitas politik jelas modal utama
mengejar target pertumbuhan ekonomi.
Ditambah momentum
reshuffle ini tentunya merupakan konsekuensi dari bergabungnya Partai Amanat
Nasional (PAN) dan Golongan Karya (Golkar) ke poros koalisi pemerintahan.
Pertanyaan pertama timbul sebegitu besarkah peran partai dalam pemerintahan?
Sangat kita pahami bahwa dukungan partai sekaliber PAN dan Golkar cukup vital
bagi kelangsungan kekuasaan eksekutif. Jika kita berkaca efek bergabungnya PAN
dan Golkar ke poros pemerintahan. Maka kekuasaan legislatif akan semakin bisa
dikendalikan. Karena mayoritas kursi di Legislatif yaitu delapan partai dengan
total lebih dari separuh sudah dikondisikan oleh partai poros pemenang
eksekutif.
Kemudian dalam
aspek kebijakan jelas fokus utama dari pemerintahan ini adalah meningkatkan
laju perekonomian nasional. Terlihat dari mayoritas menteri yang direshuffle
berhubungan erat dengan aspek perekonomian. Namun kami melihat komposisi yang
ditawarkan oleh reshuflle kabinet ini hanya menawarkan stabilitas ekonomi semu.
Reshuflle kabinet kali ini seolah-olah memberikan tanda bahwa Indonesia adalah
negara yang potensial bagi para investor. Pemerintahan hanya fokus terhadap
pertumbuhan ekonomi dengan mengharap kepada investasi asing. Analisa tersebut
berangkat dari bergabungnya Sri Mulyani yang telah berkecimpung di perbankan
internasional serta pola kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan investasi asing daripada
meningkatkan potensi ekonomi dalam negeri. Tentunya pemerintah harus mengetahui bahwa menggenjot pertumbuhan ekonomi, mendorong
investasi besar-besaran bukan jalan yang adil bagi rakyat. Apalagi ketika
investasi melahirkan konflik-konflik agraria dan kerusakan lingkungan.
Pada akhirnya kami
menyimpulkan bahwa perombakan kabinet ini adalah upaya jokowi memperoleh
legitimasi politik dan mengakomodasi kepentingan perekonomian disekelilingnya. Perombakan kabinet kami pandang tidak lain dari
transakasi politik Jokowi dengan kekuatan politik yang baru saja menyatakan dukungan
untuknya. Kecenderungan bagi-bagi kursi dan membuat suasana adem ayem lebih
menonjol dibandingkan dengan memperbaiki kinerja. Catatan
tambahan dari kami adalah stabilitas politik dan perekonomian memang hal yang
dijanjikan dalam momentum ini. Namun, tentuya tidak ada kepentingan tanpa syarat.
Kepentingan yang saling bersinggungan pasti akan terjadi dalam koalisi besar
kali ini. Jokowi harus bisa mengkondisikan kepentingan-kepentingan tersebut
suatu hari nanti. Stabilitas
politik bisa terjadi ketika kompromi antar kepentingan menghasilkan keuntungan
di masing-masing pihak. Tetapi, kegaduhan politik justru akan semakin besar
potensinya ketika banyaknya kepentingan dalam tubuh kabinet tak terpuaskan.
0 komentar:
Posting Komentar