Senin, 22 Oktober 2012

Kala Pers Mahasiswa Belajar Keberagaman

BY HMI Komisariat Fisipol UGM 2 comments

                                                                       dok pribadi

“laporan (tak) sekedar melapor, namun harus menjadi pelopor” 

Ah sial, sudah jam delapan pagi! Pasti akan telat, acaranya akan dimulai pukul sembilan nih!” marahku pada diri sendiri yang kadang tidak bisa berdamai dengan kedisiplinan. Aku memiliki agenda hari ini untuk mewakili HMI Komisariat FISIPOL UGM dalam mengikuti workshop pers mahasiswa yang di selenggarakan oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk) di Wisma MM UGM selama tiga hari kedepan. “ Pasti panitianya akan marah besar kepadaku,” omel ku. Lantas aku lekas bangun dan bergegas untuk mandi dan sholat dhuha. Matahari sudah mulai menampakkan eksistensinya untuk menerangi hari Jumat yang cerah. Ayam-ayam mulai berkokok mewarnai lalu-lalang kendaraan yang sudah mulai ramai di depan kos ku. “Aduh sudah jam setengah sembilan! Gawat!,” celotehku. Dengan bermodal sepeda butut bernama “blacky” yang selalu menemani aktivitas keseharianku, langsung ku kebut menuju ke wisma MM UGM yang terletak kurang lebih tiga kilo meter dari kos ku.
Ah, sampai juga akhirnya” ujarku. Waktu masih menunjukan jam Sembilan kurang 5 menit. Berarti aku belum telat. Langit yang cerah di wisma MM UGM pada hari itu serasa memberikan harapan untukku dalam mengikuti kegiatan ini. Lantas aku masuk dan bertanya kepada receptionis dimana acaranya akan dilaksanakan. “Oh, di lantai dua mas”, ucap seorang resepsionis cantik . Sesampainya dilantai dua aku kecewa dengan kondisi yang aku te,ukan. Ternyata belum ada partisipan dan panitia yang hadir. “Ah sial. Ini sudah waktunya namun belum ada siapa-siapa.” omelku. Yah, aku hanya bisa memaklumi saja. Toh, tidak hanya acara ini saja yang telat, namun anggota DPR saat rapat demi kepentingan rakyat pun sering telat, bahkan minim yang hadir. “ah mungkin benar yang dikatakan oleh Bang Yuri, bahwa watak orang indonesia sering tidak bisa menghargai waktu,dan hanya merpati yang bisa datang tepat waktu” batinku.
Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya acara dimulai pukul setengah 11. “Kalau seperti ini jadinya, mending kuliah dulu dan mengisi absensi!” batinku lagi. Memang pada hari itu aku sedang memanfaatkan kompensasi yang diberikan oleh dosen untuk tidak mengikuti sesi perkuliahan. Acara pun dimulai. Tema dari acara workshop pers kampus ini bertemakan “panduan memberitakan isu keberagaman”. Acara ini diselenggarakan oleh Sejuk yang bekerja sama dengan Beritasatu.com, Pers Mahasiswa Arena, Media Indonesia dan Friedrich Naumnan Shiftung (FNS).
Materi pertama diisi oleh seorang yang cukup tersohor di negeri ini, yakni Ulil Abshar Abdala. Ia adalah politisi partai Demokrat dan seorang aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Ya, momentum sekali aku bisa bertemu dan berdiskusi dengannya. Tidak main-main, yang didiskusikan pada saat itu yakni tentang kebebasan beragama.  Ah, ini dia kesempatan untuk melihat pemikiran dari seorang dedengkot JIL itu dalam berbicara tentang kebebasan beragama.
Dalam mengawali diskusinya Ulil mengatakan bahwa kebabasan dalam beragama sudah tertuang dalam UUD di negara kita bahwa setiap warga negara berhak memeluk keyakinannya masing-masing. Namun Ulil berujar apakah dalam kebebasan beragama, bebas juga untuk menyebarkan agama. “Dalam konteks kebebasan agama, ini bisa dilakukan, namun pada prakteknya sulit terjadi,” ujar Ulil.  Ulil juga mengatakan bahwa agama itu semuanya adalah sama, sama-sama baik dan sama-sama memiliki jalan yang sama menuju surga. “Lantas jika semua agama sama, apakah diperbolehkan bagi kita untuk keluar dari islam dan memeluk agama lain?” Tanya seorang partisipan. “Agama islam itu sudah sempurna dan mencakup semuanya, jadi kenapa kita harus berpindah agama?” jawab Ulil. Selang tiga jam pun berlalu dan mengakhiri diskusi ini dengan tepuk tangan meriah.  
Materi lain juga disampaikan mengenai perempuan dan media yang diisi oleh editor The Jakarta Post Ahmad Junaidi. Laki-laki berjiwa feminis yang biasa disapa Bang Jun ini mengawali diskusi dengan melihat media yang pesat banyak menjadikan konten pornografi sebagai komoditas. “konten pornografi yang dimuat oleh media hanya mengejar profit,” ujar Junaidi. Menurutnya perempuan masih dibelenggu struktur patriarki dalam masyarakat. “media sering menjadikan badan perempuan sebagai pemberitaan, bukan pemikirannya,” jawabnya. Media-media di Indonesia banyak tidak berpihak pada kaum perempuan dalam beritanya. Junaedi mengutip pernyataan Ashandi Siregar bahwa dalam pers pun banyak wartawan laki-laki dibanding perempuan. Sehingga dalam menulis berita didominasi oleh laki-laki yang seringkali tidak memiliki kesadaran gender.
Akhirnya materi yang ku ditunggu-tunggu datang juga. Yakni materi diisi oleh seorang dosen komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando. Dosen berkacamata itu membahas mengenai kiat-kiat peliputan berita tentang keberagaman. Dosen yang lumayan humoris ini selalu membuat jalannya diskusi selalu diselimuti candaan yang menghibur. Ade melihat media massa di Indonesia kini hanya sebagai bisnis semata. “rating menjadi penting karena adanya penguasa modal yang meninginkan profit” ujar Ade.  Salah satu tips yang diberikan ade bahwa wartawan itu harus meninggalkan konsep “bad news is good news” dalam peliputan. “Jadilah wartawan perdamaian, bukan wartawan yang mengabarkan konflik saja,” jawabnya. Ade mencontohkan bahwa wartawan pasti akan meliput jika ada konflik atau ada demonstrasi ‘bakar-bakaran’ saja. kadang kala orang-orang kecil yang tidak memiliki power seringkali tidak disorot oleh media. Mereka sangat rentan diskriminasi dari orang –orang yang memiliki power. Oleh sebab itu ade juga meminta selain berpihak pada kebenaran, wartawan juga harus berpihak pada kaum-kaum yang lemah ini.
                        Acara workshop yang diikuti 25 perwakilan pers mahasiswa yang berasal dari Yogyakarta, Palembang, Makassar, Salatiga, Malang, Cirebon dan lainnya ini  memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Pondok Pesantren khusus waria yang berada di daerah Notoyudan Yogyakarta.  Waktu menunjukan pukul tiga sore. Hujan rintik-rintik mulai menemani kunjungan ke pondok pesantren yang diberi nama ‘Al-Fatah Senin-Kamis’ itu. Kami dibagi menjadi lima kelompok untuk latihan meliput di pondok pesantren tersebut dan menulisaknnya dalam bentuk Feature.
               Berawal dari kesulitan kelompok waria, gay, dan lesbian  memiliki tempat ibadah,  Bunda Maryani berusaha mendirikan pondok pesantren khusus waria sejak tahun 2008 silam. “saya mendirikan untuk bekal nanti di akhirat mas” jawab Maryani. Ia memiliki rambut panjang tertutup kerudung cantik berwarna merah dengan hidung yang mancung. Meski sudah muncul keriput di sana-sini, Maryani masih terlihat energik dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh peserta. Pondok pesantren ini memiliki kegiatan seperti pengajian, belajar Al-Qur’an, belajar sholat dan bakti sosial rutin diselenggarakan. Menjadi seorang waria jelas tidak dikehendaki setiap orang. Seringkali kaum transgender mendapat perlakuan diskriminatif dari berbagai pihak. Maryani mengatakan masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan belum diakui secara penuh keberadaannya.
             Setelah itu, malamnya para partisipan memiliki kesempatan untuk menulis berita yang telah didapat saat berkunjung ke Pondok Pesantren Waria. Dengan menggunakan gaya penulisan feature dan diampu oleh Ahmad Junaidi. Penulisan jenis ini menurut Bang Jun seperti menulis narasi yang memberikan informasi. Aku sendiri memang sedang giat-giatnya belatih gaya tulisan feature ini. beruntung dalam acara ini bisa dilatih oleh jurnalis sekelas Ahmad Junaidi yang mau berbagi teknik-teknik penulisannya.
            Ah, tak terasa sudah hari Minggu saja. Jam sudah menunjukan  jam 12 siang. Sebentar lagi acara akan berakhir dan pertemuan ini harus diakhiri. Cukup banyak pelajaran, perspektif, dan pengalaman dari orang-orang hebat di bidang media dan aktivis keberagaman datang ke kepalaku. Belum lagi partisipan yang sudah banyak ku kenal dekat. Kita memang tidak minta untuk dipertemukan, namun takdir sudah mempertemukan kita dan menjadi keluarga baru. Itulah pertemuan, meski singkat, namun berbekas dan terus terkenang.  
            Pesan yang bisa ditarik dari kegiatan luar biasa selama tiga hari ini bahwa peranan wartawan khususnya pers kampus dalam meliput segala berita tentang kelompok-kelompok minoritas seperti gay, lesbian, homoseksual, waria, Ahmadiyah, GKI Yasmin dan lainnya harus memiliki keberpihakan terhadapnya. Mereka harus didengar suaranya karena mereka adalah manusia sama seperti kita. manusiakanlah manusia sebagaimana mestinya, jangan ada pembeda diantara kita. Karena kita adalah sama. Sama-sama makhluk Tuhan Yang Maha Esa [Ramadhan Rizki Saputra].





2 komentar: