dok pribadi
“laporan
(tak) sekedar melapor, namun harus menjadi pelopor”
“Ah sial, sudah jam delapan pagi! Pasti akan telat, acaranya akan
dimulai pukul sembilan nih!” marahku pada diri sendiri yang kadang tidak bisa
berdamai dengan kedisiplinan. Aku memiliki agenda hari ini untuk mewakili HMI
Komisariat FISIPOL UGM dalam mengikuti workshop pers mahasiswa yang di
selenggarakan oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk) di Wisma MM UGM
selama tiga hari kedepan. “ Pasti panitianya akan marah besar kepadaku,” omel
ku. Lantas aku lekas bangun dan bergegas untuk mandi dan sholat dhuha. Matahari
sudah mulai menampakkan eksistensinya untuk menerangi hari Jumat yang cerah. Ayam-ayam
mulai berkokok mewarnai lalu-lalang kendaraan yang sudah mulai ramai di depan
kos ku. “Aduh sudah jam setengah sembilan!
Gawat!,” celotehku. Dengan bermodal sepeda butut bernama “blacky” yang selalu
menemani aktivitas keseharianku, langsung ku kebut menuju ke wisma MM UGM yang
terletak kurang lebih tiga kilo meter dari kos ku.
“Ah, sampai juga akhirnya” ujarku. Waktu masih menunjukan jam
Sembilan kurang 5 menit. Berarti aku belum telat. Langit yang cerah di wisma MM
UGM pada hari itu serasa memberikan harapan untukku dalam mengikuti kegiatan
ini. Lantas aku masuk dan bertanya kepada receptionis dimana acaranya akan
dilaksanakan. “Oh, di lantai dua mas”, ucap seorang resepsionis cantik .
Sesampainya dilantai dua aku kecewa dengan kondisi yang aku te,ukan. Ternyata belum
ada partisipan dan panitia yang hadir. “Ah
sial. Ini sudah waktunya namun belum ada siapa-siapa.” omelku. Yah, aku hanya bisa memaklumi saja. Toh, tidak hanya acara ini saja yang
telat, namun anggota DPR saat rapat demi kepentingan rakyat pun sering telat,
bahkan minim yang hadir. “ah mungkin benar yang dikatakan oleh Bang Yuri, bahwa
watak orang indonesia sering tidak bisa menghargai waktu,dan hanya merpati yang
bisa datang tepat waktu” batinku.
Setelah menunggu beberapa
jam, akhirnya acara dimulai pukul setengah 11. “Kalau seperti ini jadinya, mending kuliah dulu dan mengisi
absensi!” batinku lagi. Memang pada hari itu aku sedang memanfaatkan kompensasi
yang diberikan oleh dosen untuk tidak mengikuti sesi perkuliahan. Acara pun
dimulai. Tema dari acara workshop pers kampus ini bertemakan “panduan
memberitakan isu keberagaman”. Acara ini diselenggarakan oleh Sejuk yang
bekerja sama dengan Beritasatu.com, Pers Mahasiswa Arena, Media Indonesia dan
Friedrich Naumnan Shiftung (FNS).
Materi pertama diisi oleh
seorang yang cukup tersohor di negeri ini, yakni Ulil Abshar Abdala. Ia adalah
politisi partai Demokrat dan seorang aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Ya,
momentum sekali aku bisa bertemu dan berdiskusi dengannya. Tidak main-main,
yang didiskusikan pada saat itu yakni tentang kebebasan beragama. Ah,
ini dia kesempatan untuk melihat pemikiran dari seorang dedengkot JIL itu dalam
berbicara tentang kebebasan beragama.
Dalam mengawali diskusinya
Ulil mengatakan bahwa kebabasan dalam beragama sudah tertuang dalam UUD di
negara kita bahwa setiap warga negara berhak memeluk keyakinannya
masing-masing. Namun Ulil berujar apakah dalam kebebasan beragama, bebas juga
untuk menyebarkan agama. “Dalam konteks kebebasan agama, ini bisa dilakukan,
namun pada prakteknya sulit terjadi,” ujar Ulil. Ulil juga mengatakan bahwa agama itu semuanya
adalah sama, sama-sama baik dan sama-sama memiliki jalan yang sama menuju
surga. “Lantas jika semua agama sama, apakah diperbolehkan bagi kita untuk
keluar dari islam dan memeluk agama lain?” Tanya seorang partisipan. “Agama
islam itu sudah sempurna dan mencakup semuanya, jadi kenapa kita harus
berpindah agama?” jawab Ulil. Selang tiga jam pun berlalu dan mengakhiri
diskusi ini dengan tepuk tangan meriah.
Materi lain juga disampaikan
mengenai perempuan dan media yang diisi oleh editor The Jakarta Post Ahmad
Junaidi. Laki-laki berjiwa feminis yang biasa disapa Bang Jun ini mengawali diskusi dengan melihat media yang pesat
banyak menjadikan konten pornografi sebagai komoditas. “konten pornografi yang
dimuat oleh media hanya mengejar profit,” ujar Junaidi. Menurutnya perempuan
masih dibelenggu struktur patriarki dalam masyarakat. “media sering menjadikan
badan perempuan sebagai pemberitaan, bukan pemikirannya,” jawabnya. Media-media
di Indonesia banyak tidak berpihak pada kaum perempuan dalam beritanya. Junaedi
mengutip pernyataan Ashandi Siregar bahwa dalam pers pun banyak wartawan
laki-laki dibanding perempuan. Sehingga dalam menulis berita didominasi oleh
laki-laki yang seringkali tidak memiliki kesadaran gender.
Akhirnya materi yang ku ditunggu-tunggu
datang juga. Yakni materi diisi oleh seorang dosen komunikasi Universitas
Indonesia Ade Armando. Dosen berkacamata itu membahas mengenai kiat-kiat
peliputan berita tentang keberagaman. Dosen yang lumayan humoris ini selalu
membuat jalannya diskusi selalu diselimuti candaan yang menghibur. Ade melihat
media massa di Indonesia kini hanya sebagai bisnis semata. “rating menjadi
penting karena adanya penguasa modal yang meninginkan profit” ujar Ade. Salah satu tips yang diberikan ade bahwa
wartawan itu harus meninggalkan konsep “bad
news is good news” dalam peliputan. “Jadilah wartawan perdamaian, bukan
wartawan yang mengabarkan konflik saja,” jawabnya. Ade mencontohkan bahwa
wartawan pasti akan meliput jika ada konflik atau ada demonstrasi ‘bakar-bakaran’
saja. kadang kala orang-orang kecil yang tidak memiliki power seringkali tidak
disorot oleh media. Mereka sangat rentan diskriminasi dari orang –orang yang
memiliki power. Oleh sebab itu ade juga meminta selain berpihak pada kebenaran,
wartawan juga harus berpihak pada kaum-kaum yang lemah ini.
Acara workshop yang diikuti 25
perwakilan pers mahasiswa yang berasal dari Yogyakarta, Palembang, Makassar,
Salatiga, Malang, Cirebon dan lainnya ini
memiliki kesempatan untuk berkunjung ke Pondok Pesantren khusus waria
yang berada di daerah Notoyudan Yogyakarta. Waktu menunjukan pukul tiga sore. Hujan
rintik-rintik mulai menemani kunjungan ke pondok pesantren yang diberi nama ‘Al-Fatah
Senin-Kamis’ itu. Kami
dibagi menjadi lima kelompok untuk latihan meliput di pondok pesantren tersebut
dan menulisaknnya dalam bentuk Feature.
Berawal dari kesulitan kelompok
waria, gay, dan
lesbian memiliki tempat ibadah, Bunda
Maryani berusaha mendirikan pondok pesantren khusus waria sejak tahun 2008
silam. “saya mendirikan untuk bekal nanti di akhirat mas” jawab Maryani. Ia memiliki
rambut
panjang
tertutup kerudung cantik
berwarna
merah dengan hidung
yang mancung. Meski sudah muncul keriput di sana-sini, Maryani masih terlihat energik dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
oleh peserta. Pondok pesantren ini memiliki kegiatan seperti pengajian, belajar
Al-Qur’an, belajar sholat dan bakti sosial rutin diselenggarakan. Menjadi
seorang waria jelas tidak dikehendaki setiap orang. Seringkali kaum transgender mendapat perlakuan
diskriminatif dari berbagai pihak. Maryani mengatakan masih dipandang sebelah
mata oleh pemerintah dan belum diakui secara penuh keberadaannya.
Setelah itu, malamnya para partisipan memiliki
kesempatan untuk menulis berita yang telah didapat saat berkunjung ke Pondok
Pesantren Waria. Dengan menggunakan gaya penulisan feature dan diampu oleh Ahmad Junaidi. Penulisan jenis ini menurut
Bang Jun seperti menulis narasi yang memberikan informasi. Aku sendiri memang
sedang giat-giatnya belatih gaya tulisan feature
ini. beruntung dalam acara ini bisa dilatih oleh jurnalis sekelas Ahmad Junaidi
yang mau berbagi teknik-teknik penulisannya.
Ah, tak terasa sudah hari Minggu saja. Jam
sudah menunjukan jam 12 siang. Sebentar
lagi acara akan berakhir dan pertemuan ini harus diakhiri. Cukup banyak
pelajaran, perspektif, dan pengalaman dari orang-orang hebat di bidang media
dan aktivis keberagaman datang ke kepalaku. Belum lagi partisipan yang sudah
banyak ku kenal dekat. Kita memang tidak minta untuk dipertemukan, namun takdir
sudah mempertemukan kita dan menjadi keluarga baru. Itulah pertemuan, meski
singkat, namun berbekas dan terus terkenang.
Pesan
yang bisa ditarik dari kegiatan luar biasa selama tiga hari ini bahwa peranan
wartawan khususnya pers kampus dalam meliput segala berita tentang
kelompok-kelompok minoritas seperti gay, lesbian, homoseksual, waria,
Ahmadiyah, GKI Yasmin dan lainnya harus memiliki keberpihakan terhadapnya. Mereka
harus didengar suaranya karena mereka adalah manusia sama seperti kita.
manusiakanlah manusia sebagaimana mestinya, jangan ada pembeda diantara kita.
Karena kita adalah sama. Sama-sama makhluk Tuhan Yang Maha Esa [Ramadhan Rizki Saputra].