Tanpa kita sadari, era digital telah banyak mengubah peran diri yang lebih suka menjadi produsen informasi, ketimbang sebagai penerima informasi. Hal ini terjadi lantaran setiap orang memiliki hak yang sama dalam memproduksi wacana, sehingga menyebabkan kecepatan dari stimulus informasi itu lebih cepat dari respon manusia terhadap informasi itu sendiri.
Situasi demikian akan sangat rawan terhadap fenomena ‘tragedi buta’, yaitu suatu kondisi dimana seolah-olah seseorang tidak lagi memiliki kesempatan untuk menyaring informasi. Begitu informasi tersebar secara sporadis, saat itu juga orang tidak lagi memiliki kesempatan untuk mengklarifikasi informasi ditengah mobilitas yang padat. Hasilnya hanya informasi parsial yang didapat. Kalau sudah begini bisa dibayangkan bukan, dengan informasi yang parsial, bagaimanakah validitas informasi yang di produce selanjutnya? Inilah yang kemudian disebut sebagai tragedi fatalisme dalam masyarakat digital.
Jika kita tidak berhati-hati, ‘postingan status’ yang awalnya difungsikan guna mereproduksi wacana sekaligus memberikan semacam hak atas eksistensi manusia, seketika justru membuat diri kita weakness, akibat perilaku kita sendiri yang berlebihan menggunakan kesempatan itu untuk ‘produce’. Kita tidak sadar, setiap orang memang dibebaskan menggunakan peluang, tetapi ingat, bahwa setiap kebebasan selalu berbatasan dengan kebebasan orang lain. Apalagi diruang publik. Kita harus menghargai dan ‘mensedekahkan’ kesempatan untuk orang lain eksis, apalagi media kini yang selau berbasis pada time line. Dengan begitu, reproduksi wacana dapat berdialektis, dan tidak berkutat pada informasi tunggal.
Parahnya fenomena overproduce informasi ini ternyata cukup merusak momentum hari raya idul fitri ini. Banyak diantara kita kini sudah merasa ‘minta maaf’ cukup dengan copas sana-sini, share ke group chat, semua dianggap beres. Satu, dua, tiga, dan semua anggota grup melakukan hal serupa dalam satu grup. Sekilas terlihat efisien dan hemat: hemat waktu, hemat energi, hemat pulsa. Namun kita tidak menyadari komunikasi tersebut sebenarnya hanya bersifat monolog, dan tidak terjadi dialog yang berarti. Sehingga melunturkan tanggung jawab moral interpresonal sebagai manusia. Kita menjadi sangat pelit untuk berbagi ditengah keluangan. Perkara meminta maaf dan memaafkan, yang sebetulnya merupakan kewajiban bagi setiap manusia untuk melakukannya, akan tetapi kini, itu tak lebih dilakukan dari sekedar ‘menggugurkan kewajiban’ –lebih tepatnya, menggugurkan kewajiban sebagai manusia yang memiliki eksistensi diri dalam arena pergaulan sehari-hari.
Saya sendiri percaya, suatu tindakan yang dilakukan hanya karena motif menggugurkan kewajiban, pencapaiannya yang didapat pun juga tidak lebih dari standar minimal. Berbeda halnya kalau kita menyadarinya sebagai sebuah amanah (kewajiban yang harus dilakukan), tentu saja kita akan dengan senang hati melakukannya sebaik mungkin, sedapat mungkin melampaui jauh batas minimal. Sehingga akan sangat aneh, jika esensi maaf dan memaafkan ini nilainya disamaratakan sebatas grup chat.
Bukannya saya anti pada kemajuan teknologi, tapi saya hanya ingin merefleksikan ulang pentingnya makna dari sebuah tanggung jawab moral interpersonal, yang perlahan mulai memudar. Mungkin sebagian dari kita masih teringat arti dari sebuah hubungan emosional taatkala handphone masih menjadi barang mahal. Sehingga satu-satunya media untuk menjalin silaturahmi bersama keluarga dan kerabat yang paling mudah saat itu hanyalah surat.
Menulis surat mengajarkan kita untuk menghargai sebuah momentum dan membangun hubungan interpersonal yang begitu intim. Percaya atau tidak, proses membuat surat itu membutuhkan pengorbanan. Kita butuh waktu sendiri dan berfikir ketika menulis suratnya, selanjutnya mengemasnya dengan kertas surat yang sudah ditempeli perangko, lalu berjalan ke kantor pos, dan menunggu balasan dari orang yang kita kirimi surat. Selama rentang waktu itu, kita akan terus mengingat orang yang kita kirimi surat sampai terkadang mencemaskannya, karena tidak dapat memastikan apakah surat tersebut benar-benar sampai ketangan orang yang kita tuju. Pun membutuhkan waktu yang relatif lama agar surat yang kita kirimkan sampai ke tujuan. Belum lagi tambah ongkos yang jauh lebih boros ketimbang mengirim pesan via SMS apalagi media sosial seperti WA, BBM dan Line. Keterbatasan itulah mendorong kita untuk menuliskannya “lebih niat”, dan pastinya syarat makna
Hal itu tidak akan pernah kita rasakan ketika mengirim pesan elektronik, pesan singkat, dan sejenisnya lantaran memastikan pesan tersampaikan sangatlah mudah. Tinggal lihat saja tandanya, kalau D (delivered) artinya pesan kita sudah terkirim, tetapi belum dibaca, dan R (read) artinya selain pesan kita sudah tersampaikan dan juga telah dibaca oleh yang bersangkutan. Sudah begitu akan sangat mudah pesan kita di ralat dalam waktu cepat, berbeda halnya dengan surat konvensional, sekali kirim, yasudah, akan sangat sulit untuk diralat.
Dari sini kita akan belajar bagaimana caranya memanusiakan manusia, menghargai keberadaan manusia dengan memberi mereka (keluarga dan kerabat) tempat di alam bawah sadar untuk kita ingat pedulikan eksistensi dan perasaannya.
Memang kegiatan menulis surat di zaman dahulu dilakukan karena tidak ada cara lain selain menulis surat. Kendatipun begitu, apakah kewajiban kita untuk memanusiakan manusia harus berakhir seiring dengan munculnya teknologi berbasis digital? Tentu jawaban tidak. Semakin banyak orang berbondong-bondong mulai beralih ke smartphone, semestinya lebih memungkinkan kita untuk dapat lebih leluasa mengucap kata maaf secara personal, bukan sebaliknya. Toh juga lebih hemat, tinggal buka Whatsapp, line, BBM, Beres. Tinggal kita mau atau tidak.
Tulisan dimuat dalam https://indonesiana.tempo.co/read/80631/2016/07/07/tauchid.komara.y/antara-kewajiban-dan-menggugurkan-kewajiban
Tulisan dimuat dalam https://indonesiana.tempo.co/read/80631/2016/07/07/tauchid.komara.y/antara-kewajiban-dan-menggugurkan-kewajiban
Oleh : Tauchid Komara Yuda (Mahasiswa PSdK Fisipol UGM, Kadep Litbang HMI Komisariat Fisipol 2015/2016)
0 komentar:
Posting Komentar