Beberapa
hari ini kita dikejutkan dengan pemberitaan mengenai percobaan kudeta di Turki
yang dilakukan oleh militer Turki dengan tujuan menggulingkan pemerintahan
Presiden Recep Tayyip Erdogan. Kudeta ini gagal. Bukan digagalkan oleh Erdogan
dan pemerintahannya, tetapi oleh rakyat Turki sendiri. Mereka beramai-ramai
turun ke jalan menghalangi tank-tank militer Turki yang ingin lewat. Satu hal
yang perlu dicatat, mereka turun ke jalan bukan untuk membela Erdogan, mereka
turun ke jalan untuk membela kebebasan, untuk membela demokrasi. Sebenarnya apa
dan seberapa penting demokrasi ini, sehingga rakyat Turki mau mempertaruhkan
nyawa untuk membelanya.
Demokrasi,
secara harfiah, berarti pemerintahan yang dilakukan dengan menjadikan rakyat (demos) sebagai pemegang kekuasaan (kratos) tertinggi. Dalam arti ini,
secara formal, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tentu saja, di dalam negara-negara berpenduduk
kecil, demokrasi bisa berjalan secara langsung, di mana rakyat secara langsung
menentukan apa yang baik untuk dirinya sendiri melalui mekanisme diskusi
publik. Namun, di negara-negara berpenduduk besar, seperti Indonesia, rakyat
diwakili oleh orang-orang yang duduk di dalam perwakilan rakyat, dan mereka inilah
yang memastikan, bahwa seluruh kerja pemerintahan mengacu pada kepentingan
rakyat, setidaknya begitulah teorinya.
Lalu
kapan suatu kondisi bisa disebut demokratis? Setidaknya ada satu indikator
penting dalam demokrasi yang sering dilupakan yaitu diakuinya harkat martabat
manusia. Diakuinya harkat martabat manusia disini maksudnya adalah, setiap dari
kita menyadari bahwa setiap manusia itu terlahir ke dunia ini dalam kondisi
yang setara dan mempunyai hak yang sama untuk hidup, untuk berpendapat, untuk update status Line atau upload foto di Instagram, untuk menjadi
fans Chelsea FC seperti saya, untuk main Pokemon
Go, untuk masuk organisasi bahkan Akatsuki sekalipun, untuk mengkritik
orang lain dan yang paling penting untuk menentukan jalan ninjanya eh maksud
saya jalan hidupnya sendiri-sendiri. Singkatnya kondisi demokratis menurut saya
adalah ketika setiap manusia menjadi
aktor utama dalam hidupnya masing-masing dan setiap keputusannya adalah buah pikirnya sendiri bukan merupakan
instruksi dari siapapun dan bukan juga hasil dari dogmatisasi dan indoktrinasi.
Artinya demokrasi mengakui dan memperbolehkan adanya ketidaksepakatan atau
perbedaan pendapat.
Sistem
politik dan pemerintahan manapun di
dunia ini baik itu republik, kerajaan, kesultanan, keemiran, kekaisaran, bahkan
yang ada di dunia fiksi seperti ke-hokage-an selalu berusaha mengelola segala
urusan dalam hidup bersama antar manusia, termasuk ketidaksepakatan. Namun harus kita akui bahwa
hanya demokrasi yang memberikan pengakuan bahwa ketidaksepakatan itu adalah
bagian integral dalam hidup bermasyarakat yang tidak boleh dimusnahkan atau
ditiadakan tetapi harus dijamin keberadaannya. Dari sini saya berasumsi bahwa
rakyat Turki berani mempertaruhkan nyawa untuk membela demokrasi karena bagi
mereka hidup tanpa kebebasan dibawah militer tidak ada artinya.
Kebalikan
dengan demokrasi, tirani dengan latar belakang ideologi apapun yang
mendasarinya apakah itu Komunisme, Fasisme, Orbaisme, dan lain-lain tidak
memberikan pengakuan terhadap ketidaksepakatan itu. Dalam sistem tersebut
berbeda adalah dosa besar apalagi ketidaksepakatan. Di Jerman zaman Nazi,
siapapun yang tidak mau mengucap dan memberi salam “Heil Hitler” adalah bukan
orang “kita”, melainkan “mereka”, “liyan”,
“the other” begitu pula yang berlaku
untuk orang-orang Tiongkok yang tidak pandai mengutip Mao, orang-orang Rusia
yang tidak sejalan dengan Stalin, dan orang-orang Indonesia yang menentang
Soeharto dan Orde Barunya. Sebuah “Neraka Dunia” sudah disiapkan khusus untuk
mereka yang berbeda, contohnya Gulag di Rusia dibawah rezim Stalin, Kamp
Konsentrasi Nazi dibawah rezim Hitler, dan Pulau Buru dibawah Rezim Soeharto.
Ada
satu hal unik yang saya temukan soal hubungan sistem demokrasi dengan tirani
ini. Ada semacam keterhubungan antara keduanya, dan ini berkaitan soal
ketidaksepakatan. Saya akan mengambarkannya dengan beberapa cerita dari film
kartun, film layar lebar, dan sejarah. Kita mulai dari cerita tentang Raja
Sozin dari negara Api yang juga sahabat Avatar Roku dalam film kartun Avatar
The Last Airbender yang pernah tayang sampai tamat di Indonesia. Raja Sozin ini
menilai bahwa perbedaan pendapat yang terjadi diantara Kerajaan Bumi,
Pengembara Udara, Suku Air, dan Negara Api adalah sebuah ancaman oleh karena
itu perbedaan pendapat itu harus dihilangkan. Keempat negara itu harus
disatukan (dibawah kekuasaan Negara Api tentu saja), singkat cerita dimulailah
invasi Negara Api ke seluruh penjuru dunia untuk menghapus perbedaan pendapat
ini. Kita lanjut ke cerita dari film layar lebar laris karya George Lucas, Star
Wars. Di film Star Wars Episode III: Revenge of The Sith, Anakin Skywalker yang
memang sejak kecil merasa perbedaan pendapat di Senat Republik Galaktik tidak
membawa manfaat apa-apa apalagi bagi dirinya yang berasal dari planet kecil dan
lebih menyukai keteraturan, makin dihasut oleh Kanselir Palpatine bahwa
demokrasi lah yang memungkinkan perbedaan pendapat di Senat, dan hal itu pula
lah yang mengakibatkan perang, ketimpangan ekonomi, serta penderitaan di
planet-planet kecil seperti Tatooine tempat tinggal Anakin dan Ibunya yang
kemudian meninggal dunia karena disiksa Tusken Raiders. Anakin kemudian percaya
pada Palpatine bahwa demokrasi lah penyebab segala penderitaanya, dan oleh
sebab itu maka demokrasi di seluruh galaksi harus dihapuskan. Dia kemudian
menjadi pendukung utama Palpatine atau Darth Sidious yang kemudian mengubah
Republik Galatik menjadi Kekaisaran Galaktik yang dalam perubahan bentuk
pemerintahan dari yang tadinya demokratis menjadi tirani otoriter itu ironisnya
diiringi ribuan tepuk tangan di Senat yang terekam dalam kutipan memorable Senator Padme Amidala (istri
Anakin) "So this is how liberty
dies...with thunderous applause", dan sejak itu Anakin lebih dikenal
sebagai Darth Vader.
Hal
yang mirip dengan dua kisah tadi bisa kita temukan dalam sejarah peradaban
manusia. Kita mulai dengan cerita
singkat pembubaran Republik Romawi dan Perubahannya menjadi Kekaisaran Romawi
oleh Julius Caesar yang menurut saya menginspirasi George Lucas dalam pembuatan
naskah cerita Star Wars. Penaklukan Gaul membuat Caesar –yang memang sudah
menjadi pemuka politik– seorang pahlawan tatkala kembali ke Roma. Dan di mata
lawan-lawan politiknya malahan terlampau populer dan terlampau kuat. Ketika
kendali komando militernya berakhir, dia diperintahkan oleh Senat Romawi
kembali ke Roma dan menjadi penduduk biasa. Caesar khawatir, Oleh sebab itu, di
malam tanggal 10-11 Januari 49 SM, dalam perlawanan terbuka terhadap Senat,
Caesar memimpin pasukannya menyeberangi Sungai Rubicon di belahan utara Italia
dan menuju Roma. Ini merupakan langkah melanggar aturan dan tak lain daripada
suatu pemula perang saudara antara pasukan Caesar di satu pihak melawan pasukan
yang setia kepada Senat di lain pihak. Pertempuran berkecamuk tak kurang dari
empat tahun lamanya yang akhirnya dimenangkan oleh Caesar. Caesar berkesimpulan
bahwa despotisme yang efisien yang diperlukan Romawi hanyalah dia yang bisa
melakukannya bukan senat dengan segala embel-embel demokrasi dan hak berbeda
pendapatnya itu.
Ketakutan akan perbedaan pendapat juga pernah
menghinggapi pemimpin-pemimpin di Indonesia. Berdiri di atas podium di teras
Istana Merdeka, Minggu, 5 Juli 1959, mata Presiden Sukarno tampak lelah.
Tapi, pada sore hari itu, suaranya tetap lantang: “Dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong keyakinan
kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan menyelamatkan Negara
Proklamasi!” Sebagian besar rakyat yang mendengar pembacaan
dekrit presiden itu menyambutnya dengan gemuruh pekik dan tepuk tangan.
Padahal, bagi para politisi, keputusan Sukarno bagaikan lonceng kematian.
Dengan dekritnya, Presiden membubarkan konstituante-parlemen sah hasil pemilu
yang menurutnya terlalu banyak perdebatan di dalamnya. Inilah awal periode
Demokrasi Terpimpin, yang sudah dipromosikannya sejak 1957 tapi ditolak oleh
Muhammad Natsir (Masyumi), Sutan Sjahrir (Partai Sosialis Indonesia), dan I.J.
Kasimo (Partai Katolik). Menurut para pengkritiknya, Demokrasi Terpimpin adalah
sistem pemerintahan otoriter. Kritik yang sama dilontarkan oleh Mohammad Hatta.
Tapi Sukarno tidak menyerah. Dengan dukungan partai besar seperti PKI, PNI, dan
NU, Sukarno akhirnya bisa mendesakkan gagasannya menjadi kenyataan. Cerita
tentang ketakutan akan perbedaan pendapat yang dialami oleh pengganti Soekarno,
Soeharto, saya kira kita semua sudah mengetahuinya.
Dari cerita-cerita tersebut, dapat kita tarik sebuah
kesimpulan bahwa ketakutan akan perbedaan pendapat adalah awal runtuhnya
demokrasi dan berdirinya tirani. Satu hal yang harus diingat, demokrasi kadang
mati karena panik, panik dengan perbedaan pendapat. Hitler dalam keadaan panik
dan takut kekuasaannya diganggu ketika mendirikan Third Reich dan membubarkan
pemerintahan demokratis Republik Weimar. Begitu juga dengan Sozin, Anakin,
Palpatine, Caesar, Stalin, Soekarno, dan Soeharto. Hal yang ironis sekarang
sedang terjadi di Turki. Erdogan yang pemerintahannya terselamatkan karena
demokrasi sekarang mulai menangkapi lawan-lawan politiknya dengan dalih untuk
menyelamatkan demokrasi. Kalau dengan alasan itu Erdogan mulai bertindak
keterlaluan maka sudah saatnya rakyat Turki berteriak lantang kepada Erdogan
dengan ucapan yang pernah diucapkan oleh Obi Wan-Kenobi (Guru Anakin dalam film
Star Wars) “Anakin, my allegiance is to
the Republic, to Democracy!” atau jika disesuaikan dengan kondisi Turki
sekarang “Erdogan, kesetiaan kami untuk Republik, untuk Demokrasi bukan
untukmu”.
Ditulis oleh Dendy Raditya Atmosuwito (Kader HMI Komisariat Fisipol, Mahasiswa MKP Fisipol 2014)
0 komentar:
Posting Komentar