Senin, 18 Juli 2016

Tentang Turki dan Demokrasi

BY HMI Komisariat Fisipol UGM IN , , , No comments


Beberapa hari ini kita dikejutkan dengan pemberitaan mengenai percobaan kudeta di Turki yang dilakukan oleh militer Turki dengan tujuan menggulingkan pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Kudeta ini gagal. Bukan digagalkan oleh Erdogan dan pemerintahannya, tetapi oleh rakyat Turki sendiri. Mereka beramai-ramai turun ke jalan menghalangi tank-tank militer Turki yang ingin lewat. Satu hal yang perlu dicatat, mereka turun ke jalan bukan untuk membela Erdogan, mereka turun ke jalan untuk membela kebebasan, untuk membela demokrasi. Sebenarnya apa dan seberapa penting demokrasi ini, sehingga rakyat Turki mau mempertaruhkan nyawa untuk membelanya.
Demokrasi, secara harfiah, berarti pemerintahan yang dilakukan dengan menjadikan rakyat (demos) sebagai pemegang kekuasaan (kratos) tertinggi. Dalam arti ini, secara formal, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tentu saja, di dalam negara-negara berpenduduk kecil, demokrasi bisa berjalan secara langsung, di mana rakyat secara langsung menentukan apa yang baik untuk dirinya sendiri melalui mekanisme diskusi publik. Namun, di negara-negara berpenduduk besar, seperti Indonesia, rakyat diwakili oleh orang-orang yang duduk di dalam perwakilan rakyat, dan mereka inilah yang memastikan, bahwa seluruh kerja pemerintahan mengacu pada kepentingan rakyat, setidaknya begitulah teorinya.
Lalu kapan suatu kondisi bisa disebut demokratis? Setidaknya ada satu indikator penting dalam demokrasi yang sering dilupakan yaitu diakuinya harkat martabat manusia. Diakuinya harkat martabat manusia disini maksudnya adalah, setiap dari kita menyadari bahwa setiap manusia itu terlahir ke dunia ini dalam kondisi yang setara dan mempunyai hak yang sama untuk hidup, untuk berpendapat, untuk update status Line atau upload foto di Instagram, untuk menjadi fans Chelsea FC seperti saya, untuk main Pokemon Go, untuk masuk organisasi bahkan Akatsuki sekalipun, untuk mengkritik orang lain dan yang paling penting untuk menentukan jalan ninjanya eh maksud saya jalan hidupnya sendiri-sendiri. Singkatnya kondisi demokratis menurut saya adalah ketika setiap manusia menjadi aktor utama dalam hidupnya masing-masing dan setiap keputusannya adalah buah pikirnya sendiri bukan merupakan instruksi dari siapapun dan bukan juga hasil dari dogmatisasi dan indoktrinasi. Artinya demokrasi mengakui dan memperbolehkan adanya ketidaksepakatan atau perbedaan pendapat.
Sistem politik dan pemerintahan  manapun di dunia ini baik itu republik, kerajaan, kesultanan, keemiran, kekaisaran, bahkan yang ada di dunia fiksi seperti ke-hokage-an selalu berusaha mengelola segala urusan dalam hidup bersama antar manusia, termasuk  ketidaksepakatan. Namun harus kita akui bahwa hanya demokrasi yang memberikan pengakuan bahwa ketidaksepakatan itu adalah bagian integral dalam hidup bermasyarakat yang tidak boleh dimusnahkan atau ditiadakan tetapi harus dijamin keberadaannya. Dari sini saya berasumsi bahwa rakyat Turki berani mempertaruhkan nyawa untuk membela demokrasi karena bagi mereka hidup tanpa kebebasan dibawah militer tidak ada artinya.
Kebalikan dengan demokrasi, tirani dengan latar belakang ideologi apapun yang mendasarinya apakah itu Komunisme, Fasisme, Orbaisme, dan lain-lain tidak memberikan pengakuan terhadap ketidaksepakatan itu. Dalam sistem tersebut berbeda adalah dosa besar apalagi ketidaksepakatan. Di Jerman zaman Nazi, siapapun yang tidak mau mengucap dan memberi salam “Heil Hitler” adalah bukan orang “kita”, melainkan “mereka”, “liyan”, “the other” begitu pula yang berlaku untuk orang-orang Tiongkok yang tidak pandai mengutip Mao, orang-orang Rusia yang tidak sejalan dengan Stalin, dan orang-orang Indonesia yang menentang Soeharto dan Orde Barunya. Sebuah “Neraka Dunia” sudah disiapkan khusus untuk mereka yang berbeda, contohnya Gulag di Rusia dibawah rezim Stalin, Kamp Konsentrasi Nazi dibawah rezim Hitler, dan Pulau Buru dibawah Rezim Soeharto.
Ada satu hal unik yang saya temukan soal hubungan sistem demokrasi dengan tirani ini. Ada semacam keterhubungan antara keduanya, dan ini berkaitan soal ketidaksepakatan. Saya akan mengambarkannya dengan beberapa cerita dari film kartun, film layar lebar, dan sejarah. Kita mulai dari cerita tentang Raja Sozin dari negara Api yang juga sahabat Avatar Roku dalam film kartun Avatar The Last Airbender yang pernah tayang sampai tamat di Indonesia. Raja Sozin ini menilai bahwa perbedaan pendapat yang terjadi diantara Kerajaan Bumi, Pengembara Udara, Suku Air, dan Negara Api adalah sebuah ancaman oleh karena itu perbedaan pendapat itu harus dihilangkan. Keempat negara itu harus disatukan (dibawah kekuasaan Negara Api tentu saja), singkat cerita dimulailah invasi Negara Api ke seluruh penjuru dunia untuk menghapus perbedaan pendapat ini. Kita lanjut ke cerita dari film layar lebar laris karya George Lucas, Star Wars. Di film Star Wars Episode III: Revenge of The Sith, Anakin Skywalker yang memang sejak kecil merasa perbedaan pendapat di Senat Republik Galaktik tidak membawa manfaat apa-apa apalagi bagi dirinya yang berasal dari planet kecil dan lebih menyukai keteraturan, makin dihasut oleh Kanselir Palpatine bahwa demokrasi lah yang memungkinkan perbedaan pendapat di Senat, dan hal itu pula lah yang mengakibatkan perang, ketimpangan ekonomi, serta penderitaan di planet-planet kecil seperti Tatooine tempat tinggal Anakin dan Ibunya yang kemudian meninggal dunia karena disiksa Tusken Raiders. Anakin kemudian percaya pada Palpatine bahwa demokrasi lah penyebab segala penderitaanya, dan oleh sebab itu maka demokrasi di seluruh galaksi harus dihapuskan. Dia kemudian menjadi pendukung utama Palpatine atau Darth Sidious yang kemudian mengubah Republik Galatik menjadi Kekaisaran Galaktik yang dalam perubahan bentuk pemerintahan dari yang tadinya demokratis menjadi tirani otoriter itu ironisnya diiringi ribuan tepuk tangan di Senat yang terekam dalam kutipan memorable Senator Padme Amidala (istri Anakin) "So this is how liberty dies...with thunderous applause", dan sejak itu Anakin lebih dikenal sebagai Darth Vader.
Hal yang mirip dengan dua kisah tadi bisa kita temukan dalam sejarah peradaban manusia. Kita mulai dengan cerita singkat pembubaran Republik Romawi dan Perubahannya menjadi Kekaisaran Romawi oleh Julius Caesar yang menurut saya menginspirasi George Lucas dalam pembuatan naskah cerita Star Wars. Penaklukan Gaul membuat Caesar –yang memang sudah menjadi pemuka politik– seorang pahlawan tatkala kembali ke Roma. Dan di mata lawan-lawan politiknya malahan terlampau populer dan terlampau kuat. Ketika kendali komando militernya berakhir, dia diperintahkan oleh Senat Romawi kembali ke Roma dan menjadi penduduk biasa. Caesar khawatir, Oleh sebab itu, di malam tanggal 10-11 Januari 49 SM, dalam perlawanan terbuka terhadap Senat, Caesar memimpin pasukannya menyeberangi Sungai Rubicon di belahan utara Italia dan menuju Roma. Ini merupakan langkah melanggar aturan dan tak lain daripada suatu pemula perang saudara antara pasukan Caesar di satu pihak melawan pasukan yang setia kepada Senat di lain pihak. Pertempuran berkecamuk tak kurang dari empat tahun lamanya yang akhirnya dimenangkan oleh Caesar. Caesar berkesimpulan bahwa despotisme yang efisien yang diperlukan Romawi hanyalah dia yang bisa melakukannya bukan senat dengan segala embel-embel demokrasi dan hak berbeda pendapatnya itu.
Ketakutan akan perbedaan pendapat juga pernah menghinggapi pemimpin-pemimpin di Indonesia. Berdiri di atas podium di teras Istana Merdeka, Minggu, 5 Juli 1959, mata Presiden Sukarno tampak lelah. Tapi, pada sore hari itu, suaranya tetap lantang: “Dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan menyelamatkan Negara Proklamasi!” Sebagian besar rakyat yang mendengar pembacaan dekrit presiden itu menyambutnya dengan gemuruh pekik dan tepuk tangan. Padahal, bagi para politisi, keputusan Sukarno bagaikan lonceng kematian. Dengan dekritnya, Presiden membubarkan konstituante-parlemen sah hasil pemilu yang menurutnya terlalu banyak perdebatan di dalamnya. Inilah awal periode Demokrasi Terpimpin, yang sudah dipromosikannya sejak 1957 tapi ditolak oleh Muhammad Natsir (Masyumi), Sutan Sjahrir (Partai Sosialis Indonesia), dan I.J. Kasimo (Partai Katolik). Menurut para pengkritiknya, Demokrasi Terpimpin adalah sistem pemerintahan otoriter. Kritik yang sama dilontarkan oleh Mohammad Hatta. Tapi Sukarno tidak menyerah. Dengan dukungan partai besar seperti PKI, PNI, dan NU, Sukarno akhirnya bisa mendesakkan gagasannya menjadi kenyataan. Cerita tentang ketakutan akan perbedaan pendapat yang dialami oleh pengganti Soekarno, Soeharto, saya kira kita semua sudah mengetahuinya.
Dari cerita-cerita tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa ketakutan akan perbedaan pendapat adalah awal runtuhnya demokrasi dan berdirinya tirani. Satu hal yang harus diingat, demokrasi kadang mati karena panik, panik dengan perbedaan pendapat. Hitler dalam keadaan panik dan takut kekuasaannya diganggu ketika mendirikan Third Reich dan membubarkan pemerintahan demokratis Republik Weimar. Begitu juga dengan Sozin, Anakin, Palpatine, Caesar, Stalin, Soekarno, dan Soeharto. Hal yang ironis sekarang sedang terjadi di Turki. Erdogan yang pemerintahannya terselamatkan karena demokrasi sekarang mulai menangkapi lawan-lawan politiknya dengan dalih untuk menyelamatkan demokrasi. Kalau dengan alasan itu Erdogan mulai bertindak keterlaluan maka sudah saatnya rakyat Turki berteriak lantang kepada Erdogan dengan ucapan yang pernah diucapkan oleh Obi Wan-Kenobi (Guru Anakin dalam film Star Wars) “Anakin, my allegiance is to the Republic, to Democracy!” atau jika disesuaikan dengan kondisi Turki sekarang “Erdogan, kesetiaan kami untuk Republik, untuk Demokrasi bukan untukmu”.


Ditulis oleh Dendy Raditya Atmosuwito (Kader HMI Komisariat Fisipol, Mahasiswa MKP Fisipol 2014)



0 komentar:

Posting Komentar