Sabtu, 16 Juli 2016

Secuil Catatan Kecil untuk Kejadian di Yogyakarta

BY HMI Komisariat Fisipol UGM No comments


Sebagai seorang insan manusia kita dituntut selalu bersyukur atas segala anugerah dan nikmat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Menyuarakan pendapat adalah salah satu bentuk mensyukuri karunia Tuhan berupa akal dan pengetahuan. Dengan berpendapat kita berfikir, mengolah pengetahuan untuk menyuarakan pemikiran, menentukan sikap dan membela yang menjadi hak kita. Maka sejauh pemikiran disampaikan dengan bertanggungjawab, tidak boleh ada paksaan untuk menghalangi atau memberangus pendapat seseorang.
Dalam pandangan Islam, seorang manusia memiliki hak dan bahkan harus berpikir dan berpendapat terhadap apa yang dialaminya. Pada kebanyakan ayat-ayat Al-Qur'an menyeru manusia untuk berinteleksi, berpikir, berpendapat dan berkontemplasi tentang penciptaan semesta.
Selain itu, tugas seorang insan juga terletak pada sikap adil pada sesama. Kedudukan manusia terhadap sesamanya tidak ada yang lebih tinggi drajatnya, tidak juga dibedakan warna kulit, harta, golongan, atau suku. Negara Indonesia berlandaskan Pancasila, menjunjung tinggi demokrasi dan kemanusiaan yang adil & beradab. Seluruh warga negara harus diperlakukan adil di berbagai bidang. Pemerintah bertanggung jawab melindungi hak menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin pada Pasal 28 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap individu yang bisa dipandang dari beberapa urusan, baik yang umum maupun khusus. Pendapat dan apa yang didengar dari pihak lain, merupakan hak setiap individu dalam menghormati pemikiran serta perasaan.
Tindakan yang telah terjadi di Yogyakarta akhir-akhir ini, yaitu tindakan pembubaran aksi dan pengepungan asrama mahasiswa Papua yang dilakukan oleh aparat polisi dan ormas reaksioner, merupakan bentuk penyangkalan dari kebebasan berpendapat yang dijunjung oleh manusia Indonesia.
Dari informasi yang beredar pembubaran aksi dan pengepungan sudah beberapakali terjadi, terakhir hari Jum’at, 15 Juli 2016. Aparat mengatakan ini adalah bentuk pengamanan, tetapi justru membuat mahasiswa Papua tidak merasa aman, juga tidak bisa keluar masuk dengan bebas dari asrama. Hal ini merupakan salah satu bentuk kekeliruan. Bagaimana tidak Indonesia yang sering mengagung-agungkan demokrasi dan kebebasan berpendapat namun demokrasi dan kebebasan itu sendiri di kekang oleh negara? Hal ini merupakan salah satu bentuk miskonsepsi demokrasi jika ada beberapa aktor yang melakukan tindakan represif.
Bentuk penyampaian aspirasi secara damai oleh masyarakat Papua semestinya disikapi dengan bijak. Negara dan oknum ormas tidak perlu berlebihan, kebakaran jenggot, dengan melakukan tindakan represif. Aksi pengepungan adalah berlebihan dan justru menambah keresahan di Yogyakarta. Menciptakan ruang demokrasi yang sebenarnya sangat tidak bijak jika sebagian kelompok membatasi kelompok lain yang tidak sesuai dengan wacana mayoritas. Hal ini merupakan kritik bagi Indonesia yang butuh perlindungan terhadap kebebasan demokrasi.
Kemudian, reaksi berupa tindakan rasis dan diskriminatif sama sekali tidak bisa dibenarkan. Tindakan yang demikian sungguh telah mencoreng nilai kemanusiaan yang adil dan beradab juga menciderai kebhinekaan yang kita junjung bersama. Ingat, “Papua itu adalah kita”. Begitu lah kata-kata yang kita sering dengar. Masyarakat Papua juga bagian dari Indonesia. Kedudukannya setara dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Negara wajib memenuhi segala haknya dan kebutuhan seluruh rakyat dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lini kehidupan lainnya.
Yang perlu dilakukan Pemerintah adalah mendekatkan diri terhadap permasalahan yang telah terjadi. Tentunya aspirasi teman-teman Papua tersebut menjadi lampu peringatan bagi Pemerintah bahwa ada yang salah dengan kebijakan pemerintah di bumi Papua. Pemerintah sebaiknya bijak bersikap dalam menghadapi segala bentuk aksi setiap elemen masyarakat. Dan tidak memperkeruh keadaan apalagi membuka ruang bagi provokasi di tengah masyarakat.
Pada akhirnya, selain menutup hak kebebasan berpendapat mahasiswa Papua, tindakan berlebihan justru akan menghadirkan potensi efek domino yaitu stigma dan diskriminasi bagi mahasiswa-mahasiswa Papua. Sikap dan pendekatan aparat terhadap mahasiswa Papua semakin memperburuk peran negara sebagai pelindung warganya. Pendekatan yang mengarah pada tindak represif dan kekerasan harus disudahi.
Cara demokratis yang perlu dikedepankan. Kehidupan bernegara tidak boleh dibangun di atas penindasan oleh anak bangsa terhadap sesama anak bangsa lainnya. Seluruh elemen masyarakat hendaknya saling menjaga perdamaian. Tidak terbakar oleh provokasi oknum-oknum reaksioner yang menyulut tindak rasialisme, diskriminasi dan kekerasan.


Ditulis oleh Pinto Buana Putra (Ketua HMI Fisipol UGM 2016/2017)

0 komentar:

Posting Komentar