Tauchid Komara Yuda
tauchid.komara.y@mail.ugm.ac.id
[Ketua Bidang Litbang HMI Komisariat FISIPOL UGM]
Perihal
keharusan berilmu sebelum beriman, sebenarnya telah disarikan dalam peristiwa turunnya
ayat-ayat dalam Al-Quran yang secara berangsur-angsur. Tentu kita akan
bertanya, mengapa kata Iqra (arti:
bacalah) menjadi kata pertama dalam surat Al-Alaq, yang juga merupakan surat
yang pertama kali dikenalkan dalam peristiwa penurunan Al-Quran?
Jawabannya
tidak lain karena, hanya melalui membacalah kita dapat mengetahui bagaimana
cara ber-Islam secara baik dan benar. Membaca tidak harus diidentikan dengan
indera pengelihatan, membaca dapat diartikan secara luas termasuk dengan cara
mendengar, sebagaimana Nabi Muhamad SAW dalam menerima wahyu Allah.
Selain
membaca, Al-Quran juga diperintahkan untuk dipahami dengan berfikir (QS. Yusuf:
2 dan QS. Jaatsyiah: 13), berfikir dengan akal (QS. Al-Baqarah: 164), dan
berakal dengan Ilmu (QS. Ali Imran; 18).
Namun,
yang terjadi hari ini, Al-Quran hanya dibaca sebatas rutinitas tanpa memahami
intisari Al-Quran secara komprehensif. Sama halnya ketika kita membaca tulisan
berbahasa Inggris, terdengar fasih dalam melafalkan, tetapi tidak mengerti apa
yang diucapkannya.
Kondisi
demikian, membuat umat Islam menjadi kian rentan terhadap berbagai pengaruh oknum
yang sengaja menggunakan label Islam, sebagai kaliber berpolitik melalui dogma
yang sebenarnya menjurus kepada pemikiran tertentu. Terjebaknya umat Muslim
terhadap pemikiran tertentu inilah yang disebut sebagai taklid buta. Taklid buta berpotensi
memicu perselisihan, bahkan perpecahan antar umat Muslim.
Perkara
larangan bersifat taklid, telah Allah
singgung dalam Q.S Ar-Rum ayat 31-32, “Dan
janganlah kalian seperti orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu
orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka.”
Taklid, hanyalah satu
dari sekian permasalahan umat Muslim kontemporer sebagai akibat dari enggannya
umat Muslim berihtijad dengan ilmu.
Ilmu adalah komponen penting dalam memahami Al-Quran sebagai acuan beriman dan
beramal bagi seorang Muslim. Sehingga, ini menjadi refleksi bagi umat Muslim untuk
merintis kembali Islam sebagai agama profetik, sekaligus tanpa apologi.
*) Tulisan ini pernah dimuat pada, Rubik
Pembaca Menulis, Republika, 29 Maret
2015
0 komentar:
Posting Komentar