Berawal dari ketidaksengajaan saya membeli dan membaca Tempo edisi 10-16 Oktober : Gie dan surat-surat yang tersembunyi. Sembari membacanya di bus Transjogja saya melamunkan sosok Gie ini. Melamunkan sesuatu yang sepi dan lebih reflektif diantara hiruk pikuk Pilkada DKI.
Pikiran saya melayang tentang buku catatan seorang demonstran. Emm.. bukan karena itu buku pemberian seseorang, tapi ceritanya dan sosok Gie ini begitu membekas di hati saya, apalagi ditambah dengan menonton filmnya. Yap, saya jadi bisa memvisualisasi sosok Gie sebagai role model aktivis mahasiswa yang sampai saat ini masih bisa kita telusuri jalan pemikirannya.
Tapi bagaimana kalau sejarah bisa diputar balik. Seandainya dulu Gie tidak jadi berangkat ke Semeru dan tidak pernah ada tragedi gas beracun di kawah mahameru? Tentu ceritanya akan lain. Bisa jadi Soe Hok Gie bukanlah tokoh yang masih dipuja-puja sebagai aktivis eksponen angkatan 66 yang begitu legendaris seperti sekarang. Bisa jadi sama nasibnya seperti eksponen angkatan 66 yang lain, seperti Sofian Wanandi, Cosmas Batubara, Mar’ie Muhammad yang berada di pusaran kekuasaan. Yah, mungkin bisa juga tidak, melihat kecenderungan dari Gie untuk berkiprah di dunia akademik seperti kakaknya.
Benar kata sebagian orang bahwa “orang baik itu mati muda” namun bukan dalam artian sebab karena baik lalu bisa membuat mati muda. Dalam sejarah tokoh Indonesia kita mengenal orang-orang yang menokoh karena mati muda, Soe Hok Gie di umur nyaris 27 tahun, Chairil anwar juga di usia 27 tahun, Ahmad Wahib di usianya yang ke-30 dan R.A. Kartini 25 tahun.
Perginya jasad duniawi dalam usia yang singkat ternyata tidak serta merta mengakhiri usia kesejarahannya. Beruntung Gie adalah seorang yang produktif menulis sejak usia 15 tahun, memang buah tidak jauh dari pohonnya, karena ayahnya Gie juga merupakan seorang penulis roman. Sehingga dengan berbekal peninggalan tulisan-tulisannya itu kita bisa ‘merasakan’ kehadiran sosoknya saat ini.
Selubung mitos kematian Gie yang cepat itu membuat dirinya diselimuti kabut mitos. Pengamat politik Eep Saefulloh Fatah pernah menulis tentang budaya mitos tahun 1999. Beliau menceritakan bagaimana budaya mitos masih berkembang dan cenderung berbahaya di Indonesia. Maka disini saya meminjam istilah mitos dan historis dari Pak Eep.
Mengenali Gie dari tulisan-tulisannya membuat kita berimajinasi tentang sosok yang sangat personal. Setidaknya itulah yang saya bayangkan dulu ketika membaca tulisan-tulisannya. Dalam majalah ini diceritakan produser film Gie, Mira Lesmana yang begitu tergila-gila pada sosok Soe Hok Gie sejak membaca catatan seorang demonstran. Buku yang telah dibacanya berulang kali sejak usianya 21 tahun itu membentuk fantasinya tentang sosok Soe Hok Gie yang dingin dan tidak banyak omong. Ia membayangkan Gie adalah sosok yang gampang membuat perempuan ‘meleleh’ dengan puisi cinta dan buku hariannya. Imajinasi inilah yang ditampilkan dalam sosok Rangga. Namun ketika melakukan riset untuk mengetahui sosok Soe Hok Gie secara utuh ternyata membuyarkan fantasinya tentang sosok Gie, ternyata Gie adalah anak yang gaul dan suka bercanda.
Itu adalah gambaran kecil betapa selabut mitos itu bisa menokohkan sosok Gie dan menyelamatkannya dari realitas historis kehidupan. Tabir mitos menutupi sosok Gie sehingga kita tidak mengenalnya banyak secara historis kecuali melalui kerabat, sahabat dan catatannya. Dari catatan hariannya-lah imajinasi tentang Sosok gie kita kenal dari mengesankan bahwa dia adalah orang yang idealis dan konsisten di zamannya.
Mitologisasi
Contoh mitologisasi lain adalah Soekarno. Dalam catatan harian Gie betapa jelasnya konteks sejarah Indonesia yang berada dalam titik nadir. Kondisi dimana kesulitan ekonomi dan orang-orang kelaparan ada dimana-mana. Bahkan dalam catatannya Gie menulis “siang tadi aku bertemu dengan seseoarang tengah memakan kulit mangga.. dua kilometer dari sini ‘paduka’ kta mungkin sedang tertawa dan makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik”.
Bagi orang-orang yang hidup pada zamannya Soekarno adalah seorang tokoh historis dengan segala kebesaran dan ke-otoriterannya. Adnan Buyung Nasution melalui desertasi doktoralnya mendokumentasikan sosok historis Soekarno sebagai pemotong demokrasi konstitusional dan pendiri otoritarianisme bermerek demokrasi terpimpin (Fatah, 1999) . Akan tetapi di mata anak-anak generasi millennial yang baru melek politik Soekarno dikenal dari sosok mitologisnya. Seokarno menjadi bapak demokrasi dan Ia membesar dengan selimut mitos yang membungkusnya.
Mitos itu bisa jadi diperlukan bisa juga menjadi sangat berbahaya. Diperlukan contohnya ketika mitos bisa menjadi acuan ideal atau role model . Tapi mitos bisa menjadi berbahaya ketika sosok begitu dikultuskan dan dijadikan aset politik.
Pemimpin yang terbaik menurut pribadi penulis adalah yang paling kita kenal secara historis. Bahasa lain daripada ini adalah track record-nya. Memilih pemimpin tidak seperti memilih kucing didalam karung. Apalagi menggunakan justifikasi mitos tertentu. Membangun sisi historis yang terbaik dan ideal membutuhkan waktu dan konsistensi yang panjang, Karena tidak semua orang bisa melalui hal tersebut maka itu menjadi standar tertentu dari pemimpin. So, selamat memilih-milih pemimpin.
Terakhir semoga Almarhum tenang di alam sana.
Gejayan, 13 Oktober 2016
Ditulis oleh Faizal Akbar (Ketua HMI Fisipol UGM 2015/2016)