Pertama, izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada teman saya, Nias Phydra, karena atas diskusi dengannya lahirlah tulisan ini. Kedua, saya ingin mengingatkan kepada anda semua bahwa saya bukanlah muslim yang taat, masih banyak ajaran Islam yang belum saya amalkan dengan baik dan pemahaman saya tentang Islam masih belum bisa disebut baik sehingga apa yang saya tulis disini sangat mungkin untuk salah dan anda jelas boleh untuk tidak bersepakat dengan saya. Seperti yang saya tulis di awal, tulisan ini lahir karena diskusi saya dengan teman saya Nias Phydra berkaitan dengan kata “Islami”. Diskusi itu bermula ketika Maarif Institute merilis hasil penelitiannya tentang Indeks Kota Islami. Hasil penelitian Maarif Institute yang dirilis 17 Mei 2016 tersebut menuai polemik karena menempatkan kota yang penduduknya mayoritas bukan Muslim, Denpasar, sebagai salah satu kota paling ”Islami”. Indikator yang digunakan oleh Maarif Institute dalam mengukur seberapa Islami sebuah kota adalah seberapa Aman, Sejahtera, dan Bahagia sebuah kota tersebut.
Diskusi saya dengan teman saya pun berlanjut, pertanyaan yang muncul kemudian adalah jika memang yang diukur untuk mengukur seberapa Islami sebuah kota adalah kebijakan pemerintah kota tersebut untuk mencapai indikator Aman, Sejahtera, dan Bahagia apakah jika pemerintah kota tersebut menghalalkan Khamr, perjudian, dan prostitusi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta menggunakan sistem perekonomian kapitalistik yang didalamnya terdapat penghisapan dan penindasan kelas majikan kepada kelas pekerja yang menurut kami berdua sama sekali tidak Islami tersebut lalu masyarakat di dalam kota tersebut merasa Aman, Sejahtera, dan Bahagia maka kota tersebut pantas disebut sebagai kota yang Islami?
Islami: Antara Simbolik dan Substantif, Antara Ritual dan Kesalehan Sosial
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan Islami? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Islami berarti bersifat keislaman. Lalu apa yang disebut dengan sifat keislaman? Apakah sifat keislaman itu artinya melakukan ritual-ritual rutin dalam agama Islam seperti Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji serta memakai pakaian “Islami” yang sedang populer seperti hijab ala model-model cantik? Ataukah sifat keislaman itu adalah sifat-sifat universal Islam yang bisa saja dimiliki oleh seseorang yang bukan muslim bahkan tidak mengenal Islam sama sekali seperti menjaga kebersihan, sopan santun, memuliakan orang lain, dan lain-lain. Dari situ kita bisa mengambil kesimpulan bahwa selama ini makna “Islami” adalah makna yang diperdebatkan. Makna Islami terbagi menjadi dua yaitu Islami secara simbolik dan Islami secara substantif. Membicarakan masalah Islami secara simbolik dan masalah islami secara substantif, alangkah lebih baiknya kita berbicara terlebih dahulu mengenai definisi dari keduanya. Apa itu substansi dan apa itu simbolik. Simbolik berakar dari kata simbol, yang kemudian mendapatkan imbuhan -ik yang artinya adalah hanyalah sekedar simbol/tanda saja tidak lebih. Sedangkan makna dari substansi itu sendiri adalah esensi, atau inti dari suatu hal ikhwal itu sendiri.
Islami secara simbolik dapat ditemukan secara mudah di layar televisi ketika bulan Ramadhan tiba. Jika anda punya waktu luang cobalah perhatikan, pakaian apa saja yang digunakan oleh para artis saat bulan Ramadhan, kemudian kostum apa yang mereka gunakan sebelum dan sesudahnya. Jika diamati, maka kostum yang dipakai para seleb tersebut akan berbeda antara "musim puasa" dengan "musim non-puasa". Saat "musim puasa," para seleb lelaki lebih sering menggunakan baju koko, sorban melilit di leher sebagai pengganti syal dan terkadang berpeci segala. Sedangkan seleb wanita akan lebih cenderung mengenakan kerudung ala kadarnya yang sekedar menempel di kepala dengan tetap memperlihatkan jambul depannya, ditambah pakaian yang lumayan panjang meskipun terkadang masih eksplisit untuk menerjemahkan "bahasa tubuh". Islami secara simbolik ini juga bisa anda lihat pada perilaku ormas-ormas yang bisa dengan mudah memukul saudaranya sesama muslim sambil meneriakan takbir.
Dalam menjalankan perintah-perintah dalam agama Islam kita tidak boleh hanya menitikberatkan pada aspek simbolis saja, jangan sampai perintah-perintah dalam agama Islam seperti yang sejatinya mengajak kepada kebaikan malah menjauhkan orang lain dari kebaikan. Saya rasa banyak orang yang tadinya ingin mengenal Islam berbalik tidak peduli dengan Islam bahkan memusuhi Islam karena sikap para penganutnya yang hanya mementingkan simbol belaka, contohnya ingin mendirikan negara Islam namun dengan cara-cara yang bisa disebut tidak Islami sama sekali seperti terorisme, pembunuhan, pemerasan, perampokan, dan lain-lain. Ungkapan Muhammad Abduh (salah satu tokoh yang menginspirasi KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah) bahwa“al-Islamu mahjubun bil muslimin”yang artinya kebesaran Islam malah terturup oleh perilaku umat muslim sendiri sepertinya dapat kita saksikan sekarang.
Beralih membahas Islami secara substantif saya jadi teringat kembali dengan ungkapan Muhammad Abduh yang lain yaitu “Saya menemukan Islam di Paris, meski tidak ada orang Islam di sana. Dan saya tidak menemukan Islam di Mesir, meski banyak orang Islam di sini.” Dalam perspektif Islami secara substantif ini makna Islami didefinisikan lebih kepada kesalehan sosial seperti mengasihi orang lain, menjaga kebersihan, membebaskan orang lain dari belenggu ketertindasan, dan lain-lain. Ada definisi Islami yang menurut saya cukup menarik dari Intelektual Muslim asal India Ashgar Ali Engginer, dalam bukunya yang berjudul Islam and Liberation Theology beliau mengatakan bahwa “Any society which perpetuates exploitation of the weak and the oppressed cannot be termed as an Islamic Society, even if other Islamic rituals are enforced”. Masyarakat apapun yang didalamnya masih terdapat eksploitasi kepada kaum yang lemah dan tertindas tidak bisa disebut Islami walaupun ritual-ritual Islam dijalankan bahkan diformalkan sebagai hukum. Definisi ini bisa dibilang sangat sosialistik dan menurut saya definisi ini berakar dari surat Al Ma’un.
Sejarah umat manusia adalah sejarah penindasan dan perbudakan. Menurut Ali Syari`ati, simbol-simbol peradaban manusia sesungguhnya dibangun atas nyawa dan darah jutaan orang. Dibalik kemegahan Piramid, simbol peradaban Mesir kuno, tersimpan cerita memillukan tentang sebuah rezim penindasan dan perbudakan. Dibutuhkan 800 juta keping batu yang harus di bawa sejauh 980 km dari Aswan menuju Mesir hanya untuk membangun kuburan para terkutuk itu. Jutaan nyawa budak manusia adalah harga yang harus dibayar demi ambisi Firaun, sang penindas. Dalam surat al Ma’un dijelaskan bahwa pengingkar Tuhan bisa datang dari orang yang beribadah namun tidak memiliki kepekaan sosial. Dalam tafsirnya, Al Maraghi mengatakan bahwa pengingkar Tuhan adalah orang yang rajin beribadah tetapi riya. Penanda keriyaan itu adalah ketidakpedulian kepada kaum mustadh’afin (kaum yang tertindas). Al Quran, melalui ayat ini, dan pada banyak ayat yang lain, menegaskan kritiknya kepada perilaku kapitalistik.
Jika agama hanya dipahami sebagai hubungan mesra antara seseorang dan Tuhan-Nya, maka tidaklah berlebihan kiranya tuduhan Karl Marx bahwa agama hanyalah candu. Agama hanya membuat manusia “terlena” dengan kenikmatan ritual tanpa peduli dengan realitas disekelilingnya. Menurut Asghar Ali Engginer, konsep tauhid bukan sekedar bermakna keesaan Tuhan tapi juga bermakna kesatuan manusia. Tauhid adalah jalan untuk pembebasan kemanusiaan. Untuk itu, penanaman tauhid yang kokoh mestilah diikuti dengan komitmen kemanusiaan yang kokoh pula. Menurut Hasan Hanafi, pada dasarnya Islam memiliki perangkat yang cukup untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan. Selama ini, kita sering menjadikan ritual-ritual sebagai tujuan. Padahal, ikrar kita bahwa tiada Tuhan selain Allah berarti ikrar bahwa setiap penindasan harus dihancurkan. Karena penindasan adalah bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan Tuhan. Definisi Islami Asghar Ali Engginer ini bukan tanpa kritik, teman saya mengkritik definisi tersebut dengan mengatakan bagaimana jika ada seorang Marxis yang kebetulan atheis ikut berjuang melawan penindasan apakah dia bisa disebut Islami juga?
Washatiyah Jawabannya
Lalu bagaimana kita sebagai muslim menyikapi perbedaan makna dan definisi “Islami” ini? Diskusi kami berdua sendiri belum sampai pada tahap ini, namun saya mencoba mnewarkan solusi untuk menyikapi kontestasi makna “Islami” ini. Menurut saya pribadi, Washatiyah atau moderasi adalah solusi dari polemik ini. Secara bahasa, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah. Wasathiyah juga bisa didefinisikan dengan sikap yang tidak ghuluw (berlebihan) dan apa yang dibatasi oleh Allah, dan tidak pula muqashshsir (kurang) sehingga mengurangi dari sesuatu yang telah dibatasi oleh Allah. Wasathiyah dalam agama adalah berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah SAW, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi.
Dalam sebuah hadis dikisahkan, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya. Apa komentar Nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Kata Nabi. Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial. Dalam hadis lain diceritakan, bahwa seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi. Nabi bertanya, “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?” tanya Nabi. Sahabat itu menjawab, “Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa.” “Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?” tanya Nabi lagi. “Kakaknya,” sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi, “Kakaknya itulah yang layak disebut saleh.” Sahabat itu diam. Disisi lain kesalehan sosial yang kita harus kita miliki tersebut juga jangan sampai membuat kita lalai akan aspek kesalehan pribadi dan ibadah-ibadah yang diwajibkan dalam Islam seperti Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji.
Di akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan definisi saya tentang apa itu “Islami”. Bagi saya pribadi seseorang bisa disebut “Islami” ketika dia berhasil menjadi seorang muslim yang menjalankan ibadah wajib dan sunnah dengan baik serta membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada masyarakatnya. Untuk masalah definisi pemerintahan yang Islami, saya jujur mengakui saya perlu lebih banyak diskusi lagi. Semoga Ramadhan tahun ini membuat kita menjadi pribadi muslim yang lebih baik. Aamiin Ya Rabbal Alamin. Wallahu A'lam Bishawab
Oleh Dendy Raditya Atmosuwito (Kader HMI Komisariat Fisipol, Mahasiwa MKP Fisipol 2014)