Ditulis oleh Sri Bintang Pamungkas (Mahasiswa DPP Fisipol UGM 2014)
Abstract
It’s still abstract if we talk about whast is the meaning of civil society, there’s nothing a real definition about it. Hegel had his own paradigm when judging and educating about civil society. Then in contemporary context, is civil society become a pre-terms for a democracy grown? Is civil society gives a good constribution for democracy? And is democracy become one and only good concept in stability of its state? Or indeed brings a destroy for a state? It is still become a big question for all of us. In this writing, the writer tries to reflect the civil society from Hegelian’s paradigm and the role of state when solve it. Keyword : civil society, democratization, Hegelian’s Paradigm
Pengantar
Salah satu konsep yang sangat menarik perhatian dalam diskursus mengenai bingkai politik dan konsep good governance dalam suatu negara adalah mengenai konsep civil society. Memang, didalam konsep good governance pemerintah bukanlah satu-satunya aktor tunggal dalam penyelenggaraan kegiatan negara yang berkaitan dengan urusan publik. Didalam good governance secara sederhanaya terbagi kedalam relasi tiga aktor yang meliputi negara, pasar dan civil society itu sendiri. namun dalam tulisan ini saya hanya menjelaskan relasi civil society dan negara sebagai pemegang otoritas. terjemahan istilah civil society ke dalam bahasa Indonesia masih sangat abstrak seperti: masyarakat madani, masyarakat sipil, masyarakat berbudaya, masyarakat kewargaan, dsb. Tetapi, pada dasarnya sudah ada satu kesepakatan bahwa civil society adalah wilayah kehidupan sosial yang terletak di antara ‘negara’ dan ‘komunitas lokal’ tempat terhimpunnya kekuatan masyarakat untuk mempertahankan kebebasan, keanekaragaman, serta kemandirian masyarakat terhadap kekuasaan negara dan pemerintah.[1]
Dalam konteks kontemporer, di era modernisasi dan demokrasi, termasuk di Indonesia civil society mengalami transformasi penguatan yang signifikan sebagai kekuatan otonom dari negara dan telah menjadi salah satu aktor yang cukup penting dalam berpartisipasi penyelenggaraan bernegara. Apakah dengan partisipasi civil society menguatkan budaya demokrasi? Atau justru membuat kontestasi antar civil society demi kepentinganya yang bersifat partikular. Lalu, masih relevankah konsep pandangan Hegel mengenai civil society dalam konteks sekarang ini jika diterapakan di Indonesia?
Pembahasan Konsep Civil Society
Civil society bagi Hegel digambarkan sebagai masyarakat pasca Revolusi Perancis yaitu masyarakat yang telah diwarnai dengan kebebasan, terbebas dari belenggu feodalisme.[2] Dalam penggambaran Hegel ini, Civil Society adalah sebuah bentuk masyarakat dimana orang-orang di dalamnya bisa memilih hidup apa saja yang mereka suka dan memenuhi keinginan mereka sejauh mereka mampu. Negara tidak memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada anggota Civil Society seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal karena negara dan civil society terpisahkan.
Civil society terdiri dari individu-individu yang masing-masing berdiri sendiri atau dengan istilah Hegel bersifat atomis.[3] Akibatnya, anggota dalam civil society tidak mampu mengobyektifkan kehendak dan kebebasan mereka. Kehendak dan kebebasan mereka bersifat subyektif-partikular. Meskipun demikian, masing-masing anggota dalam mengejar pemenuhan kebutuhannya saling berhubungan satu sama lain.[4] Civil society menjadi tempat pergulatan pemenuhan aneka kebutuhan dan kepentingan manusia yang menjadi anggotanya. Dalam kerangka penggambaran ini, civil society adalah masyarakat yang bekerja. Karena kegiatan civil society tidak dibatasi oleh negara, maka dalam civil society terjadilah usaha penumpukan kekayaan yang intensif.
Berkaitan dengan ciri kerja itu, civil society ditandai dengan pembagian kelas sosial yang didasari pada pembagian kerja yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas birokrat atau pejabat publik (public servants).Kelas petani mengolah tanah dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga-keluarga.Kelas bisnis terdiri dari pengrajin, pengusaha manufaktur dan pedagang.Kelas pelayan publik bertugas memelihara kepentingan umum komunitas civil society.[5] Kelas pejabat publik ini bila ditinjau dari gaji yang diperoleh merupakan kelas dalam civil society, tetapi bila ditinjau dari tugasnya, ia termasuk kelas eksekutif dalam negara. Jadi, kelas birokrat atau pejabat publik ini dalam pemikiran Hegel merupakan jembatan dari civil society ke negara.
Filsuf Jerman Hegel (1770-1831) barangkali merupakan orang pertama yang secara tegas membedakan konsep ‘negara’ dan civil society (Sassoon 1983). Menurut Hegel, civil society adalah suatu ‘wilayah’ (sphere) perantara di antara wilayah ‘keluarga’ dan wilayah ‘negara’. Menurutnya, kaum borjuis yang mulai bermunculan di Eropa abad ke-17, melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan negara feudal maupun keluarga, sehingga menciptakan wilayah sosial baru yang ditandai oleh berbagai persaingan ekonomi dalam bentuk kerja, produksi, pertukaran jasa dan barang, serta perolehan harta. Wilayah sosial demikian oleh Hegel disebut civil society atau burgerliche Gesellchaft. Tetapi, Hegel lebih lanjut menyatakan bahwa karena civil society merupakan arena persaingan ekonomi, maka ia mengandung potensi perpecahan, sehingga pada akhirnya negara, sebagai kekuasaan politik yang mengurus kepentingan umum, harus mengontrol civil society agar tidak mengalami disintegrasi.[6]
Maka dari itu civil society harus dididik dan diorganisir dengan baik dari aspek pendidikan maupun institusinya, karena civil society hanya memikirkan dirinya sendiri (particular) dan hanya sibuk mengurusi urusan sehari-hari yang sempit. Jadi civil society tidak diperkenankan untuk menantang negara karena negara adalah entitas yang sempurna dan bersifat universalis dalam menangani individu.
Democratization
Dalam konteks yang kontemporer banyak diskursus mengenai civi society yang semakin masif. Dibanyak negara civil society dianggap sebagai aktor yang sakral dalam proses “demokrasi gelombang jketiga” sebagaimana yang telah dijabarkan oleh Huntington.[7] Lahirnya demokratisasi dipahami sebagai diagnosis berbagai macam “penyakit” akibat krisis kepercayaan terhadap parlemen, kecenderungan para politisi berperilaku curang, hilangnya ideologi orsospol, dan sebagainya. Akhirnya civil society seolah-olah menjadi arena panggung yang sakral dalam analisa politik. Banbyak pakar sepakat bahwa civil society gagasan yang terpenting dalam abad ini. [8] Maka tidak mengherankan jika civil society menjadi aktor yang penting dalam menjatuhkan rezim-rezim yang diktaktor dan mengghantinya dengan wajah demokrasi
Selain itu Putnam juga berpendapat bahwa civil society dipahami sebagai segala bentuk kehidupan sosial yang terorgansir dan terbuka bagi semua kalangan. Menganut prinsip yang otonom, mandiri, partisipatif dan sukarela, hal ini merupakan bagian dari prinsip-prinsip demokrasi.tanpa civil society maka demokrasi tidak dapat dipertahankan. Baginya, civil society merupakan tempat perbedaan kepentingan dinegosiasikan sehingga kehadiranya dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam merepresentasikan kepentingan dan sekaligus memperluas partisipasi politik.[9] Pada tahap “transisi” civil society dapat memprovokasi kejatuhan rezim-rezim yang otoriter melalui protes, demonstrasi, dan berbagai aksi lainya. Sedangkan tahap “konsolidasi” civil society dianggap berperan dalam upaya pembentukan pemerintahan yang transparan, reformis, akuntabel dan bertanggung jawab kepada rakyat (good governance). Serta memastikian bahwa demokrasi merupakan satu-satunya aturan main yang berlaku (the only game in town).[10] Lalu dalam konteks yang kontemporer apakah civil society merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi? Benarkan civil society memberikan kontribusi yang baik bagi demokrasi itu sendiri? dan apakah demokrasi demokrasi menjadi satu-satunya konsep yang baik dalam stabilitas negara? Atau justru membawa destabilitas dalam sebuah negara? Hal ini masih menjadi pertanyaan besar bagi kita semua.
Pengalaman dari beberapa negara-negara di Afrika seperti: Liberia, Kongo bahkan Nigeria justru civil society berperan menghancurkan demokrasi dengan cara penculikan, penyikasaan bahkan pembunuhan dan menjadi ajang aktivitas politik yang mengerikan. [11] Di Eropa Timurpun seperti : Yugoslavia, eks-Uni Soviet dan Macedonia memberikan gambaran civil society justru memperkeruh demokrasi itu sendiri dengan adanya elemen-elemen ekstremisme yang berkembang.[12] Dalam tulisan ini menjelaskan bahwa civil society bukan hanya menjadi solusi,melainkan juga menjadi masalah bagi demokrasi itu sendiri.
Jika menerangkan civil society pada masyarakat negara berkembang, tempat liberalisme bukanlah tradisi dari Masyarakat tersebut. Maka civil society tidak dapat diasosiasikan maupun dikonsolidasikan dengan demokrasi itu sendiri. sama halnya ketika kita melihat civil society di India, Gurpreet Mahajan menyatakan bahwa civil society di India sarat akan ikatan primordial, seperti : kasta, suku, agama, budaya dan ras. Jadi civil society dalam konteks demokrasi tidak cocok diterapkan jika dibandingkan dengan masyarakat barat pada umumnya. [13] Jika kita berbicara mengenai civil society di Indonesia, alangkah lebih baik jika kita berkaca melihat sejarah tahun 1998. Banyak diantara mereka terlalu mengaggung-agungkan kelompok mahasiswa, NGO dan figur politik yang secara mendadak disematkan menjadi “pahlawan reformasi”. Pada saat yang sama mereka juga melupakan “revolusi Mei 1998” yang diwarnai kekerasan, kerusuhan anti-china, pengrusakan, penjarahan, penyiksaan, pemerkosaan bahkan pembunuhan dan merupakan salah satu tragedi yang kelam, dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Itu semua telah menjadi noda yang mencoreng wajah Indonesia menegnai civil society itu sendiri, suka tidak suka momen “kemenangan civil society” yang telah diagung-agungkan atas jatuhnya rezim Soeharto ternyata telah terkontaminasi dengan kekerasan dan pemaksaan atas lahirnya demokrasi itu sendiri. [14]
Apakah demokrasi paska reformasi itu menunjukan hal yang baik? Jika kita melihat paska reformasi justru adanya penguatan rasa primordial dan etnosentrisme tiap-tiap daerah yang semakin kental, hal ini justru berpotensi menghancurkan demokrasi itu sendri. Jack Snyder berpendapat bahwa demokratisasi yang dilakukian secara tiba-tiba didalam masyarakat yang plural justru berpotensi menyulutkan konflik dan kekerasan internal sehingga menciptakan instabilitas politik.[15] Seperti halnya Kalimantan Tengah memiliki sentimen tinggi terhadap anti suku Madura yang tinggi. Hal ini ditengarai oleh suku Madura sebagai pendatang yang memiliki kedudukan strategis dalam mengelola berbagai sektor di Kalimantan Tengah dan diperparah dengan masih banyak dengan termarjinalisasikan suku asli yang ada disana.[16] Bahkan konflik ini kian meruncing hingga sampai pada pertumpahan darah, dimana kurang lebih empat ratus jiwa orang madura tewas terbunuh secara mengenaskan[17]. Inilah salah satu dari sejuta konflik etnis yang melibatkan elemen civil society yang bersifat partikular dan kurangnya pengawasan dan kontrol dari negara terhadap civil society itu sendiri. maka dari itu pentingnnya kehadiran negara ke dalam civil society. Jika terjadi situasi ketimpangan, ketidakadilan, kesenjangan dan ketidaksederajatan, seperti karena adanya dominasi kelas yang satu atas yang lain, dalam masyarakat sehingga sangat perlu adanya peran negara dalam mengatasi itu, karena negara bersifat universal. serta, jika terjadi sesuatu hal yang dapat mengancam kepentingan universal masyarakat sehingga tindakan perlindungan atas kepentingan tersebut sangat dibutuhkan hadirnya peran negara.
Negara dalam Pandangan Hegel
Negara merupakan badan universal dimana keluarga dan masyarakat sipil dipersatukan. Sebagai badan universal, negara mencerminkan kehendak dari kehendak partikular rakyatnya. Keuniversalan kehendak negara sebenarnya telah ada secara implisit dalam kehendak individu masyarakat sipil yaitu ketika mereka mengejar pemenuhan kebutuhan pribadi sekaligus juga memenuhi kebutuhan individu-individu lain dalam masyarakat sipil.[18] Negara mempersatukan segala tuntutan dan harapan sosial masyarakat sipil dan keluarga.
Dalam kedudukannya yang tertinggi, negara mengatur sistem kebutuhan masyarakat sipil dan keluarga dengan memberikan jaminan stabilitas hak milik pribadi, kelas-kelas sosial dan pembagian kerja. Pengaturan negara itu dilakukan melalui hukum. Melalui hukum itu, negara berfungsi untuk memperkembangkan agregat tindakan rasional sebab pembatasan yang dilakukan oleh hukum negara merupakan pembatasan rasional yang diperlukan bagi keberadaan individu-individu lainnya. Kebebasan individu ditentukan oleh rasionalitas manusia. Hukum negara menjadi instrumen untuk mengingatkan manusia agar tidak bertindak irrasional.
Bagi Hegel, negara adalah kesatuan mutlak. Oleh karena itu, Hegel menolak pembagian kekuasaan di dalam negara.[19] Di dalam negara, tidak ada pembagian kekuasaan tetapi yang ada adalah pembagian pekerjaan untuk masalah-masalah universal. Negara yang digambarkan Hegel sebagai ideal dari konsep kesatuannya adalah negara monarki konstitusional yang tersusun dalam Legislatif, Eksekutif dan Raja. Raja merupakan kekuasaan pemersatu dan sekaligus yang tertinggi dari semuanya. Eksekutif merupakan kelompok birokrasi yang pejabatnya diangkat berdasarkan keahlian dan digaji tetapi pekerjaannya menyangkut masalah-masalah universal dan harus bebas dari pengaruh-pengaruh subyektif. Legislatif bergerak di bidang pembuatan hukum dan konstitusi serta menangani masalah-masalah dalam negeri yang dalam hal ini diduduki oleh Perwakilan (Estate) yang terdiri dari kelas bawah yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas tuan tanah. Perwakilan (Estate) dalam legislatif bertugas agar Raja tidak bertindak sewenang-wenang dan mencegah agar kepentingan-kepentingan partikular dari individu, masyarakat dan korporasi jangan sampai melahirkan kelompok oposisi terhadap negara.[20] Dalam hubungannya dengan Raja, Perwakilan ini juga menjadi penasehat Raja. Bagi Hegel, negara monarki konstitusional merupakan bentuk negara modern yang rasional karena monarki konstitusional merupakan hasil pemikiran yang bersifat evaluatif atas monarki lama.[21]
Kesimpulan
Dalam tulisan ini telah dijelaskan beberapa makna dan fenomena terkait dengan civil society itu sendiri. dalam tulisan ini pula penulis mencoba merefleksikan bahwa civil society tidak serta merta adalah elemen yang mampu mendukung dan memperkuat konsolidasi demokrasi. Suatu hal yang tidak benar jika kita terlalu mengagung-agungkan civil society sebagai episentrum dalam kehidupan berdemokratisasi, justru di beberapa fenomena kasus yang telah dipaparkan dalam tulisan ini memperlihatkan fenomena civil society merupakan elemen yang dapat merusak dan menjatuhkan demokrasi itu sendiri. Suka tidak suka civil society adalah bagian dari demokrasi, dan demokrasi adalah bagian dari penyelenggaraan negara. sudah seharusnya negara sebagai pemegang otoritas yang sah mendidik civil society baik dari aspek pendidikan maupun institusionalnya agar tidak terjadi ketimpangan, ketidakadilan, kesenjangan dan ketidaksederajatan yang berimbas pada konflik horintal maupun vertikal bahkan jangan sampai berujung pada pertumpahan darah yang melibatkan civil society itu sendiri.
Civil society bagi Hegel merupakan arena persaingan ekonomi, maka ia mengandung potensi perpecahan, sehingga pada akhirnya negara, sebagai kekuasaan politik yang mengurus kepentingan umum, harus mengontrol civil society agar tidak mengalami disintegrasi. Sedangkan Indonesia adalah negara yang plural, yang terdiri atas beragamnya suku, agama, ras dan budaya butuh adanya kesatuan dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong demi kestabilan suatu negara dan menjadikan bangsa ini mampu berdiri diatas kaki sendiri bukan atas intervensi bangsa lain
Bagi penulis konsep pemikiran Hegel mengenai civil society dan negara cocok diterapkan di Indonesia dalam konteks kontemporer dengan catatan adanya sistem check and balances yang baik, transparan, akuntabel serta bertanggung jawab agar tidak mengulang tragedi sejarah kelam bangsa Indonesia di bawah rezim Orde Baru yang dipelintir oleh penguasa dalam praktik-praktik pemerintahannya
Daftar Pustaka :
jurnal
- International Crisis Group (ICG)(2002). Communal Violence in Indonesia. Lessons from Kalimantan. Jakarta dan Brussels : ICG Asia Report No. 18 - Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol. XXIII, no. 60, 1999
-Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 9, No. 1, Juli 2005
Buku
-Aspinall, Edward (2004). ‘Indonesia: Transformation of Civil Society and Democratic Breaktrough’ dalam Muthiah Alagappa (ed). Civil Society and Political Change in Asia. Expanding and Contracting Democratic Space. Stanford : Stanford University Press
-G.W.F Hegel (1981). Hegel’s Philosophy of Right. Transl. T.M. Knox. Reprint. London : Oxford University Press
-Hikam, M.A.S. (1990). Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. - Kopecky, Petr dan Cas Mudde(2003). ‘Rethinking Civil Society’. Democratization. Vol . 10, No. 3
- Mahajan, Gurpreet (2003). ‘Civil Society and its Avtars’ dalam C. M. Elliot (ed). Civil Society and Democracy : a Reader. Oxford : Oxford University Presss
-McLellan, David (1981). “Marx, Engels and Lenin on Party and State.” The Withering Away of State?Party State under Communism, ed. Leslie Holmes. London : SAGE Publications Ltd.
-McClelland (1996). J.S. History of Western Political Thought. London : Routledge. - Reno, William (2005). ‘The Politics and Violent Opposition in Collapsing State’. Government and Opposition, Vol. 40, No. 2 -Samuel P. Huntington (1991). The Third Wave : Democratization in the Late Twetieth Century. London. University of Oklahoma Press -Sassoon, A.S. (1983). ‘Civil Society’, dalam T. Bottmore, dkk. (peny.) A Dictionary of Marxist Thought. Cambridge: Harvard University Press. - Snyder, Jack (2000). From Voting to Violence : Democratization and Nationalist. New York : w. W. Norton
-Stumpf, Samuel Enoch (1994). Philosophy History and Problems. Fifth edition. New York : McGraw Hill Inc -Sunil Khilanani (2001). The Development of Civil Society. Dalam S. Khilanani dan S. Kaviraj (eds). civil society: Histories and possibillities. Cambridge : Cambridge University Press
-Suseno, Franz Magnis (1991). Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta:Gramedia
[1] Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yang sama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol. XXIII, no. 60, 1999, hlm. 3–10
[2] J.S. McClelland, A History of Western Political Thought (Fifth Ed.: London, 1996), hal. 531.
[3] Bdk. Hegel’s Philosophy of Right, transl. T.M. Knox (Reprint: London, 1981) No.255 dan No. 238
[4] Ibid. No.189 – 195. Lihat juga Andrew Calabrese, “The Promise of Civil Society: A Global Movement for Comunication Rights,” Continuum : Journal of Media dan Cultural Studies, 3 (September 2004), hal. 319.
[5] Ibid. No.202-243.
[6] Perbedaan konsep ‘negara’ dan civil society adalah pendapat yang diterima secara umum, namun peneliti masalah civil society seperti John Keane (1988a:62- 63) membantah pendapat demikian. Menurutnya, sebelum Hegel sudah ada banyak penulis Inggris, Perancis dan Jerman yang membahas hubungan antara civil society dan negara.
[7] Bahasan lebih mendalam tentang demokrasi gelombang ketiga dapat dilihat dalam Samuel P. Huntington (1991) The Third Wave : Democratization in the Late Twetieth Century. London. University of Oklahoma Press
[8] Sunil Khilanani (2001). The Development of Civil Society. Dalam S. Khilanani dan S. Kaviraj (eds). civil society: Histories and possibillities. Cambridge : Cambridge University Press
[9] Robert Putnam (1996). ‘Bowling Alone : America’s Dedining Social Capital’ dalam Larry Diamond dan Marc Platner (eds). The Global Resurgency of Democracy. Baltimore : The Johns Hopkins University Press
[10] Linz, Juan dan Alfred Stephan (1996). Problem of Democratic Transition and Consolidation: South Europe, South America, and Post Communist Europe. Baltimore : The Johns Hopkins University Press
[11] Lihat William Reno (2005). ‘The Politics and Violent Opposition in Collapsing State’. Government and Opposition, Vol. 40, No. 2
[12] Lihat Petr Kopecky dan Cas Mudde(2003). ‘Rethinking Civil Society’. Democratization. Vol . 10, No. 3
[13] Gurpreet Mahajan (2003). ‘Civil Society and its Avtars’ dalam C. M. Elliot (ed). Civil Society and Democracy : a Reader. Oxford : Oxford University Presss, hal. 188
[14] Lihat Aspinall, Edward (2004). ‘Indonesia: Transformation of Civil Society and Democratic Breaktrough’ dalam Muthiah Alagappa (ed). Civil Society and Political Change in Asia. Expanding and Contracting Democratic Space. Stanford : Stanford University Press
[15] Lihat Jack Snyder (2000). From Voting to Violence : Democratization and Nationalist. New York : w. W. Norton
[16] International Crisis Group (ICG)(2002). Communal Violence in Indonesia. Lessons from Kalimantan. Jakarta dan Brussels : ICG Asia Report No. 18, hal. 18
[17] Lbid hal. 5
[18] Lihat Samuel Enoch Stumpf, Op.Cit, hal. 338. Lihat juga Franz Magnis-Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta:1991), hal. 247-250 [19] Lihat Hegel’s Philosophy of Right No. 272
[20] Ibid No.302
[21] Lihat J.S. McClelland, Op.Cit, hal. 532-533.