Rabu, 30 Maret 2016
Minggu, 20 Maret 2016
EVALUASI ATAU BUBARKAN DENSUS 88
BY HMI Komisariat Fisipol UGM No comments
Poster diskusi HMI Komisariat Fisipol UGM di Kampus |
EVALUASI ATAU BUBARKAN DENSUS 88
Kasus tewasnya
Siyono (34 Tahun), Warga Klaten, jawa Tengah, oleh Detasemen khusus 88
antiteror (Densus 88) menyita perhatian publik. Kronologinya sebelum tewas
Siyono dijemput oleh tiga petugas densus 88 pada selasa (8/3), esoknya (9/3)
densus 88 menggeledah tempat tinggal siyono yang juga merupakan lokasi TK
Roudhatul Athfal Terpadu Amanah Ummah saat jam pelajaran, hal tersebut
menyebabkan kepanikan dari murid-murid TK yang masih dibawah umur. Polisi
meminta Siyono menunjukkan lokasi tempat penyimpanan senjata api yang ternyata
tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Kemudian Siyono dibawa pergi dan
dikembalikan keadaan sudah meninggal. Kabarnya karena Siyono melakukan
perlawanan di dalam mobil sehingga terjadi perkelahian yang menyebabkan ia
tewas.
Keluarga Siyono
meminta polisi melakukan otopsi forensik karena berdasarkan pengamatan dari
kuasa hukum keluarga Siyono, Sri Kalono, pihaknya menemukan banyak kejanggalan
pada kondisi jenazah Almarhum Siyono. Bahkan Sri Kalono menungkapkan hingga pemakaman
Almarhum pada ahad (13/3) dini hari, keluarganya belum menerima surat
keterangan kematian dari institusi yang bersangkutan.
Menanggapi isu
yang berkembang di masyarakat, menurut berita yang dilansir Republika pada (15/3) pihak mabes Polri mengakui ada kelalaian petugas yang berujung pada
kematian Siyono. Bukan kali ini saja Densus 88 melakukan proses penangkapan dan
tindakan yang melanggar HAM. Data yang
dilansir oleh Kontras menyatakan bahwa sejak awal pendiriannya densus 88 telah
melakukan banyak pelanggaran hukum.
Kontras mencatatnya dalam rilis “Potret Buram Densus 88”. Beberapa
dugaan pelanggaran hukum dan HAM yang kerap dilakukan oleh kesatuan ini antara
lain, Satu, penggunaan kekuatan berlebih (excessive Use Force) yang
mengakibatkan tewasnya si tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman dan
tenang di masyarakat. kedua, penembakan salah sasaran (shooting innocent
civillians). Ketiga, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
Keempat, penangkapan dan penahanan paksa serta salah tangkap.
Pada tahun 2013 saja Kontras mencatat telah terjadi 93 peristiwa
kekerasan dalam memberantas tindak terorisme oleh anggota densus 88, pada
agustus 2013 densus 88 sudah mengakibatkan 201 orang tewas tanpa pernah diadili.
Data dari Komnas HAM sudah ada 118 Orang terduga teroris yang tewas sampai hari
ini tanpa pernah disidangkan.
Tuntutan
Semua pihak menuntut kepada pemerintah untuk segera dilakukan
evaluasi terhadap densus 88, tidak hanya itu, anggarannya pun harus di audit
total. Hal ini menjadi kontra prestasi terhadap tuntutan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan
Luhut Binsar Panjaitan yang meminta dukungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk penambahan sarana prasarana dan anggaran bagi Densus 88 antiteror
(antaranews.com).
Analisa secara yuridis, pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan
oleh densus 88, diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya, tidak ada
mekanisme evaluasi terhadap standar operasional prosedur (SOP) yang memberi kewenangan
terhadap densus 88 dalam melakukan kontak senjata.
Kedua, terdapat kelemahan mendasar dalam UU tentang terorisme Nomor
15 tahun 2003, dimana definisi terorisme sangat luas (lihat pasal 6 dan 7)
menjadi ancaman terhadap kebebasan sipil dan politik (pasal 26) ancaman terhadap
kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat dimuka umum (pasal 20) dan
keterlibatan aktor intelejen dalam proses hukum.
Ketiga, mengakibatkan seseorang
meninggal dunia tanpa proses hukum merupakan pelanggaran terhadap hak untuk
hidup sebagaimana amanat Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Keempat sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Kapolri 23 tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana
Terorisme Bab IV ayat 3 yang berbunyi: penindakan yang menyebabkan
matinya Seseorang/Tersangka harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Dari berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Densus 88 maka wajarlah
berkembang opini di masyarakat bahwa Densus 88 telah menjadi suatu bentuk
terror yang baru.
Maka kami mewakili masyarakat dari unsur
mahasiswa mendesak pemerintah melakukan evaluasi dan pengawasan yang sangat
ketat terhadap densus 88. Jika tuntutan supervisi maupun evaluasi terhadap
kinerja Densus 88 selalu diabaikan sehingga ada kesan tidak terkontrol dan
semena-mena maka pilihannya tinggal satu, dibubarkan.
Faizal Akbar, Ketua HMI Komisariat Fisipol UGM
Cabang Bulaksumur Sleman
Selasa, 15 Maret 2016
Islam Agama Perlawanan
BY HMI Komisariat Fisipol UGM No comments
Galih Kartika Ade Saputra |
Diskursus Islam sebagai agama perlawanan bukanlah diskursus baru. Pun bukanlah diskursus yang hendak meng-kiri-kan Islam. Pada dasarnya, tanpa harus diberi label apapun, Islam datang untuk melawan kezaliman, ketidakadilan, serta penindasan. Wacana ini diangkat sebagai respon terhadap kondisi umat Islam saat ini, khususnya kaum mudanya. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, orientasi perjuangan umat Islam saat ini terjebak pada ritus-ritus keagaman, tetapi abai terhadap dimensi profetiknya. Orientasi perjuangan umat Islam oleh beberapa orang atau golongan mengalami penyempitan, misal semangat amar ma’ruf nahi munkar hanya sebatas pada penggrebekan tempat tempat maksiat (khususnya saat mendekati Ramadhan saja), pemboikotan aliran baru yang dianggap sesat, dan berbagai fatwa yang dimaksudkan untuk menjaga kemurnian Islam yang semuanya hampir selalu dilakukan dengan jalan kekerasan. Namun, di sisi lain semangat amar ma’ruf nahi munkar ini seolah sirna ketika dihadapkan pada ketidakadilan di bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Kehidupan beragama juga cenderung timpang sebelah, ibadah yang bersifat hablumminallah begitu kuat namun, sering menutup mata terhadap permasalahan ekonomi, sosial dan politik (hablumminannas) di sekitarnya. Kepedulian terhadap kaum miskin tertindas sering dikesampingkan, padahal dalam banyak ajaran dan kisah dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, menyeru untuk peduli terhadap kaum miskin dan melawan segala bentuk penindasan, keserakahan dan ketidakadilan. Oleh karena itu menggali kembali nilai perlawanan dari ajaran Islam penting bagi penyadaran umat Islam dan khususnya bagi pergerakan mahasiswa Islam dalam berjuang.
Berawal dari Tauhid, Abadi dalam Qur’an
Darimana sebenarnya risalah perlawanan berawal? Risalah perlawanan justru berawal dari inti ajaran Islam yaitu tauhid. Tauhid sebagai misi utama Islam pada dasarnya berisi kepercayaan dan ketunduk-patuhan hanya kepada Allah dan menolak belenggu kepercayaan dan ketundukan kepada segala sesuatu selain Allah. Seperti yang dikatakan Joko Arizal dalam tulisan Rekonstruksi Islam sebagai Ideologi Pembebasan, kepercayaan dan ketundukan hanya kepada Allah berarti membebaskan manusia dari segala pengekangan, penindasan,ketidakadilan, kepercayaan palsu dan semua yang menghambat manusia untuk hidup sesuai dengan fitrahnya. Dengan dasar itulah berarti manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, posisinya setara. Jika ada penindasan manusia yang satu kepada manusia yang lain harus ditolak sebab segala bentuk penindasan berlawanan dengan keyakinan manusia terhadap ke-Esa-an Allah. Ini berlaku juga ketika ada rezim yang zalim dan menindas rakyatnya. Kezaliman itu bertentangan dengan pokok ajaran Islam, maka sebagai umat yang meyakini ke-Esa-an Allah, umat Islam tidak boleh tinggal diam.
Namun, makna perlawanan tak lantas diartikan identik dengan kekerasan. Seperti yang ditulis Eko Prasetyo dalam bukunya Kisah-Kisah Pembebasan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an mengabadikan kisah-kisah yang memberi pelajaran mengenai bentuk-bentuk perlawanan. Tidak semua berbentuk perlawanan fisik. Bahkan perlawanan tidak selalu ada dua aktor yang saling bertentangan. Bisa saja perlawanan itu berbentuk usaha memperbaiki kondisi masyarakat, bisa juga perlawanan itu berupa pergolakan yang berlangsung di dalam batin. Misalkan kisah Nabi Ibrahim ketika mengalami pergolakan batin saat mencari Tuhan, kemudian kisah Nabi Musa melawan rezim zalim Fir’aun, kisah Nabi Muhammad membebaskan masyarakat dari kejahiliyahan, menghapus perbedaan ras dan kelas. Kisah-kisah Al-Qur’an telah banyak mencontohkan bagaimana utusan Allah melawan kezaliman. Meminjam kalimat Eko Prasetyo, ia percaya tiap utusan Tuhan hadir untuk memprotes kezaliman.
Hal lain yang patut dicatat, ketika kita membaca kehidupan bernegara seperti kisah Nabi Muhammad, Umar bin Khatab, atau Umar bin Abdul Aziz; di dalamnya selalu ada poin penekanan bahwa jangan pernah main-main ketika berurusan dengan orang miskin. Kepedulian terhadap mereka yang paling tidak beruntung dalam masyarakat sangat diutamakan. Keputusan yang diambil selalu mengutamakan mereka yang lemah dan bukan sebaliknya. Ini juga menjadi pelajaran bahwa setiap kebijakan tidak boleh dengan semena-mena mengorbankan mereka yang lemah.
Perlawanan juga sama sekali tidak bertentangan dengan islam sebagai rahmatan lil alamin. Bahkan Said Tuhuleley mengatakan bukankah sebagai rahmatan lil alamin, kita juga memikul amanat amar ma’ruf nahi munkar? Perlawanan adalah salah satu kunci penting dalam konteks nahi munkar . Nilai perlawanan yang diajarkan dalam Al-Qur’an seperti inilah yang perlu diangkat.
Harapan
Upaya menggali kembali nilai-nilai perlawanan dalam ajaran Islam bermaksud mengingatkan kembali disamping kewajibannya menegakkan keimanan dan ketaqwaan (habluminallah) terdapat tugas untuk peduli kepada sesama, membela mereka yang lemah dan melawan segala bentuk ketidakadilan serta penindasan. Wacana ini sangat relevan bagi kita --mahasiswa-- untuk mengingat kembali tanggungjawabnya sosialnya, yakni mengamalkan (kembali) ilmu untuk memperjuangkan nasib rakyat.
Wallahu ‘alam bissawab
Beriman, Berilmu, Beramal! Yakin, Usaha, Sampai!
Oleh : Galih Kartika
(Kader HMI Komisariat Fisipol UGM, Mahasiswa Departemen Politik & Pemerintahan Fisipol UGM, 2014)
Referensi
Eko Prasetyo. 2012. Kisah-Kisah Pembebasan dalam Al-Qur’a. Yogyakarta : Resist Book
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fisipol UGM. 2015. Buku Saku Kader HMI. Yogyakarta : HMI Komisariat Fisipol UGM
Joko Arizal. Rekonstruksi Islam sebagai Ideologi Pembebasan diakses melalui http://indoprogress.com/2016/02/rekonstruksi-islam-sebagai-ideologi-pembebasan/
|
Langganan:
Postingan (Atom)